Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
Republik ini memang sedang lucu-lucunya di akhir 2024. Betapa tidak, belum lama publik mendapatkan tontonan dagelan peradilan karena vonis hakim kepada terdakwa korupsi kasus di PT Timah, Tbk yang merugikan negara Rp300 triliun. Ironisnya, dengan angka kerugian yang sangat fantastis itu ternyata hakim hanya menjatuhkan vonis 6,5 tahun di balik dalih terdakwa sopan dan sudah berkeluarga. Atas dasar apa sehingga dalih sopan dan berkeluarga mereduksi beratnya vonis penjara dan denda? Setali tiga uang dari fakta dagelan peradilan yang dipertontonkan nampaknya republik ini sedang bersahabat manis dengan koruptor dan calon koruptor.
Betapa tidak, Presiden Prabowo belum lama pernah juga melontarkan usulan agar koruptor dimaafkan asalkan mengembalikan kerugiannya. Ironis sekali pernyataan itu terlontar terutama berkaitan dengan keseriusan republik ini untuk melawan koruptor. Bahkan, penegasan itu seolah mengaburkan dan menguburkan tekad kampanyenya ketika lantang berperang melawan koruptor untuk dikejar sampai antartika. Sayangnya, belum genap 100 hari kerja justru melontarkan sebaliknya.
Blunder dibalik pernyataan bukan hanya terkait memaafkan koruptor tapi juga agenda makan siang gratis yang besaran nominalnya terus menurun dan terakhir ada isu bahwa tempat buat makannya harus dibeli seharga tertentu yang lebih mahal dibanding besaran nominal makan siang gratisnya. Bahkan yang juga runyam ternyata anggaran makan itu akan didapat dari pengenaan kenaikan PPN 12%.
Artinya si anak mendapat makan siang gratis tetapi orang tuanya dikenai PPN 12%. Jadi, ini sama juga si orang tua yang justru memberi makan siang gratis. Bisa jadi, ini akal-akalan yang tidak masuk akal dan tentu semakin memberatkan masyarakat. Bahkan, ancaman jumlah kemiskinan, pengangguran dan PHK massal akan semakin meningkat. Apakah ini strategi menuju 2029 sehingga di saat pilpres nanti 2029 penggunaan bansos akan bisa kembali mendulang suara?
Kontroversi di balik vonis HM menjadi sentimen negatif terhadap buruknya peradilan di republik ini. Padahal, belum lama publik juga dikejutkan tertangkapnya tiga hakim dari PN Surabaya atas dugaan kasus suap vonis bebas RT yang membunuh pacarnya. Ironisnya, kasus ini juga melibatkan salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung yaitu ZR karena membantu kasus vonis bebas RT. Fakta dibalik kasus ini maka benar adanya jika publik kemudian menyebut adanya mafia peradilan dan ternyata mafia peradilan memang benar adanya.
Bahkan, sebutan makelar kasus juga ada dan terbukti. Jadi, benar adanya apabila sejumlah pengamat mengkritik buat apa belajar tentang mata kuliah demokrasi jika fakta yang ada menegaskan bahwa demokrasi bisa diobrak-abrik aturannya? Buat apa belajar dan kuliah hukum jika faktanya hukum sekedar dagelan peradilan? Buat apa menyebut negara ini negara hukum jika faktanya aparat hukum justru mencederai regulasi hukum?
Sentimen negatif dari hukum yang terjadi di republik ini maka benar adanya jika publik kemudian berbondong-bondong juga ingin bisa menjadi koruptor senilai ratusan triliun karena nantinya di persidangan bisa bersikap sopan, dan mengaku berkeluarga untuk bisa mendapatkan vonis ringan dari majelis hakim. Selain itu, pengembalian denda dan juga subsidernya yang sangat ringan sudah dipastikan masih memberikan keuntungan sangat besar dibanding kerugian negara yang dialami. Betapa tidak dengan nilai korupsi Rp300 triliun dan pengembalian denda hanya ratusan miliar maka hitungan dengan kalkulator merek apapun dijamin pasti masih tetap untung. Yang justru menjadi pertanyaan apakah para hakim yang menjatuhkan vonis tersebut tidak berpikir jernih dibalik angka kerugian yang sangat besar? Bagaimana logika berpikirnya? Apakah akan terjadi seperti kasus di PN Surabaya?
Publik tentu bisa dibenarkan jika kemudian muncul kecurigaan dari vonis yang sangat ringan dan dalih sopan juga sudah berkeluarga yang disampaikan hakim itu. Jika dagelan peradilan terus saja dipertontonkan maka hancurnya republik ini hanyalah tinggal menunggu waktu. Kritik no viral no justice ternyata ada benarnya di republik ini. Jadi jangan salahkan publik jika tidak lagi percaya dengan peradilan di republik ini dan tunggu waktu bangkitnya peradilan rimba dan peradilan jalanan yang sepertinya lebih dirasa bisa memberikan keadilan dan kemanusiaan.
Oleh: Ratna Soemirat, Peneliti Sosial Budaya Fenomena judi online (judol) telah menjadi masalah serius di Indonesia, dengan dampak yang…
Oleh: Satria Wicaksono, Pengamat Perpajakan Kebijakan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencerminkan upaya strategis pemerintah untuk mendukung…
Oleh: Lazuardi Widyanto Pratama, Penyuluh Pajak KPP Pratama Pasuruan Pajak merupakan pungutan yang sifatnya wajib dibayarkan oleh rakyat…
Oleh: Ratna Soemirat, Peneliti Sosial Budaya Fenomena judi online (judol) telah menjadi masalah serius di Indonesia, dengan dampak yang…
Oleh: Satria Wicaksono, Pengamat Perpajakan Kebijakan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencerminkan upaya strategis pemerintah untuk mendukung…
Oleh: Lazuardi Widyanto Pratama, Penyuluh Pajak KPP Pratama Pasuruan Pajak merupakan pungutan yang sifatnya wajib dibayarkan oleh rakyat…