Oleh: Lazuardi Widyanto Pratama, Penyuluh Pajak KPP Pratama Pasuruan
Pajak merupakan pungutan yang sifatnya wajib dibayarkan oleh rakyat kepada negara. Pemungutan pajak ini bertujuan untuk membiayai pengeluaran negara dalam berbagai sektor sehingga bisa dirasakan seluruh masyarakat.
Dari sisi pengusaha, pembayaran pajak merupakan beban yang dapat mengurangi laba bersih dari pengusaha sehingga perlu adanya pengelolaan yang tepat agar pembayaran pajak tidak membebani pengusaha. Dengan adanya pembayaran pajak ini, pengusaha akan berusaha agar tetap bisa melaksanakan kewajiban perpajakannya secara patuh dan melakukan pembayaran pajak yang se-efisien mungkin
Pada dasarnya semua wajib pajak baik UMKM maupun bukan UMKM dikenakan PPh dengan tarif yang berlaku umum serta dihitung dari laba bersih usaha fiskal. Laba bersih usaha tersebut dapat dihitung dengan menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan.
Atas laba bersih usaha yang diterima oleh UMKM akan dikenakan tarif tunggal untuk PPh Badan yaitu 22%. Namun untuk UMKM yang omzetnya masih di bawah 50 juta diberikan diskon tarif senilai 50% sehingga tarif yang dikenakan adalah 11%. Hal ini berbeda dengan UMKM Orang Pribadi terkait tarif PPh yang dikenakan yakni pengenaan tarifnya menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.
Untuk penggunaan tarif tersebut, Wajib Pajak perlu menyelenggarakan pembukuan yang mempertimbangkan 2 hal penting yaitu rekonsiliasi fiskal dalam penghitungan laba bersih usaha fiskal dan kompensasi kerugian
Dalam menyusun laba bersih fiskal, tentu Wajib Pajak perlu memahami ketentuan penyusunan laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku dan memahami ketetnuan penghasilan dan biaya berdasarkan Undang Undang Perpajakan.
Bagi pengusaha yang dirasa sudah mampu menjalankan pembukuan dan administrasi perpajakan dengan baik, pilihan menggunakan tarif pasal 17 UU PPh adalah pilihan yang bijak. Dengan memilih pengenaan tarif Pasal 17 UU PPh, maka pengusaha tidak perlu melakukan pembayaran pajak jika ternyata mengalami kerugian atau mengalami kondisi lebih bayar dalam hal ternyata terdapat kelebihan potong oleh pihak lain.
Ketentuan Tarif PPh Khusus
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2022 menerbitkan ketentuan khusus yang mengatur pembayaran pajak bagi pengusaha UMKM. Aturan khusus tersebut diterbitkan dalam hal pengusaha belum mampu menyusun laporan keuangan fiskal terutama menghitung laba bersih fiskal maka konsekuensi logis PPh-nya dihitung dari peredaran bruto usaha tanpa mempertimbangkan beban usaha serta kerugian usaha. Peredaran bruto adalah seluruh imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi diskon, rabat, dan atau potongan sejenis.
Dalam PP 55 Tahun 2022 dijelaskan bahwa WP Badan UMKM cukup menyetor PPh dengan tarif sebesar 0,5% dari peredaran bruto dan bersifat final karena pengusaha UMKM memilih untuk tidak menyelenggarakan pembukuan dan tidak menggunakan menggunakan tarif umum sehingga berlaku ketentuan PP 55 Tahun 2022. Pilihan tersebut akan membuat pengusaha wajib menyetor pajak sebesar 0,5% dari omzet tanpa melihat kondisi keuangan pengusaha tersebut apakah dalam kondisi untung atau rugi.
Perlu diingat, perhitungan praktis pengenaan pajak sebesar 0,5% dari omzet tak bisa dinikmati selamanya. Peraturan ini memberikan jangka waktu pemanfaatan tarif 0,5% yaitu 7 (tujuh) tahun untuk WP orang pribadi, 4 (empat) tahun untuk WP persekutuan komanditer (CV), firma dan koperasi, dan 3 (tiga) tahun untuk WP badan berbentuk perseroan terbatas (PT). Setelah batas waktu yang ditentukan, wajib pajak diharuskan kembali ke metode penentuan PPh menggunakan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh. Singkatnya, selama menikmati kemudahan perhitungan pajak, pengusaha tetap perlu mempelajari cara pembukuan yang baik dan benar sesuai standar akuntansi yang berlaku dan mempelajari administrasi perpajakan yang baik.
Khusus untuk pengusaha yang berstatus sebagai WP orang pribadi, aturan baru ini tak mewajibkan untuk melakukan pembukuan, jika masih ingin menggunakan opsi penentuan PPh menggunakan Pasal 17 UU PPh. Opsi pencatatan masih terbuka jika omzet masih belum melebihi Rp4,8 M, dengan catatan dalam menentukan dasar penghasilan kena pajak menggunakan norma perhitungan penghasilan neto. Norma yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak ini berwujud tabel yang memuat persentase-persentase yang digunakan untuk menentukan seberapa besar dari keseluruhan penghasilan bruto yang bisa dianggap sebagai penghasilan neto dan akan dikenakan pajak penghasilan.
Oleh : Andi Mahesa, Pengamat Pariwisata Di tengah upaya menumbuhkan ekonomi nasional, sektor pariwisata menjadi salah satu…
Oleh : Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai…
Oleh : Ahmad Febriyanto, Mahasiswa FEB Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Isu pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu pembahasan menarik…
Oleh : Andi Mahesa, Pengamat Pariwisata Di tengah upaya menumbuhkan ekonomi nasional, sektor pariwisata menjadi salah satu…
Oleh : Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai…
Oleh : Ahmad Febriyanto, Mahasiswa FEB Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Isu pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu pembahasan menarik…