NERACA
Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyampaikan keputusan untuk mempertahankan suku bunga BI-Rate sebesar enam persen konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen pada 2024 dan 2025.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Desember 2024 di Jakarta, Rabu (18/12) menambahkan bahwa keputusan tersebut juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah,” kata Perry.
Ke depan, ujar Perry, Bank Indonesia terus mencermati pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta dinamika kondisi ekonomi yang berkembang, dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga kebijakan lanjutan. Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, melalui penguatan strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) mulai Januari 2025, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sementara itu, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky mengharapkan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga di angka enam persen pada bulan ini. "Mengingat besarnya tekanan pada rupiah, kami memandang BI perlu menahan suku bunga acuannya di enam persen dalam rapat Dewan Gubernur bulan ini," ujarnya di Jakarta, Rabu (18/12).
Ia menyampaikan tekanan terhadap rupiah tersebut muncul seiring dengan kekhawatiran atas potensi kenaikan tarif terhadap barang impor ke Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump. Hal tersebut mengakibatkan Indonesia mengalami arus modal keluar sekitar 750 juta dolar AS atau setara Rp12,02 triliun (kurs 1 dolar AS=Rp16.028) sejak pertengahan November.
Angka tersebut terdiri atas arus keluar sebesar 350 juta dolar AS (Rp5,6 triliun) dari aset obligasi pemerintah dan aksi jual bersih asing sekitar 400 dolar AS (Rp6,4 triliun) dari pasar modal domestik. Riefky menuturkan aksi jual bersih investor asing terhadap obligasi pemerintah Indonesia terjadi pada obligasi jangka pendek, seperti yang dicerminkan oleh kenaikan imbal hasilnya.
Imbal hasil obligasi dengan tenor 1 tahun melonjak dari 6,33 persen pada 19 November menjadi 6,74 persen pada 13 Desember, sementara imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun hanya sedikit meningkat dari 6,93 persen menjadi 7,05 persen dalam periode yang sama.
"Meskipun sebagian besar arus modal keluar didorong oleh kekhawatiran atas potensi kebijakan perdagangan AS di masa mendatang, kurva imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang menyempit mungkin juga menunjukkan kekhawatiran investor atas prospek ekonomi Indonesia di jangka pendek," ucapnya.
Riefky mengatakan bahwa aliran arus modal keluar secara masif dari pasar negara berkembang beberapa waktu terakhir telah memicu tekanan depresiasi terhadap mata uang negara-negara berkembang dan menyebabkan kenaikan Indeks dolar AS (DXY) dari 103,42 pada awal November menjadi 106,94 pada pertengahan Desember. Ia menuturkan rupiah terdepresiasi sebesar 1,39 persen month-to-month (mtm) dari Rp15.770 per dolar AS menjadi Rp15.990 per dolar AS dalam 30 hari terakhir.
Meskipun begitu, performa rupiah relatif moderat sepanjang 2024 dibandingkan dengan mata uang lainnya. Dengan tingkat depresiasi sebesar 3,86 persen year-to-date (ytd), rupiah memiliki performa lebih baik daripada peso Filipina, rubel Rusia, lira Turki, real Brasil, dan peso Argentina. Namun, rupiah terdepresiasi lebih dalam dibandingkan yuan Tiongkok, rupee India, baht Thailand, rand Afrika Selatan, dan ringgit Malaysia.
Seiring dengan tekanan terhadap rupiah yang meningkat sejak Oktober, Riefky mengatakan bahwa cadangan devisa Indonesia menurun sekitar 1 miliar dolar AS (Rp16,03 triliun), dari 151,2 miliar dolar AS (Rp2.423,4 triliun) pada Oktober 2024 menjadi 150,2 miliar dolar AS (Rp2.407,4 triliun) pada November 2024.
Ia menyatakan bahwa penurunan cadangan devisa tersebut terjadi karena intervensi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah serta adanya pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia. "Posisi cadangan devisa saat ini setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, di atas standar kecukupan cadangan devisa internasional yaitu sekitar tiga bulan impor," imbuhnya.
NERACA Jakarta – PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re optimis dapat membukukan kinerja positif pada tahun depan…
NERACA Jakarta – Senior Executive Vice President (SEVP) Ultra Mikro BRI M Candra Utama meyakini momentum Natal 2024 dan Tahun…
NERACA Jakarta – PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (SMI), special mission vehicle Kementerian Keuangan dalam pembiayaan pembangunan, menyalurkan 23,3 juta dolar AS…
NERACA Jakarta – PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re optimis dapat membukukan kinerja positif pada tahun depan…
NERACA Jakarta – Senior Executive Vice President (SEVP) Ultra Mikro BRI M Candra Utama meyakini momentum Natal 2024 dan Tahun…
NERACA Jakarta – PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (SMI), special mission vehicle Kementerian Keuangan dalam pembiayaan pembangunan, menyalurkan 23,3 juta dolar AS…