NERACA
Jakarta – Pengamat perbankan & praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo berpendapat kebijakan penghapusan piutang macet UMKM membutuhkan aturan turunan meski telah memiliki payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024. “PP 47/2024 telah menetapkan syarat dan prosedur penghapusan utang. Namun, untuk mengatasi potensi moral hazard, diperlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci dan mekanisme pengawasan yang ketat,” kata Arianto, sebagaimana dikutip, kemarin.
Menurutnya, karena hanya memiliki batas waktu enam bulan sejak PP 47/2024 diterbitkan, maka perlu dukungan dari regulator supaya Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bisa cepat mengimplementasikan kebijakan hapus tagih UMKM. Hal itu untuk memastikan tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Lebih lanjut, Arianto menilai kriteria yang ditetapkan dalam PP tersebut cukup tepat, karena fokus pada debitur yang benar-benar kesulitan melunasi utang lama dan menyasar jumlah utang yang signifikan untuk UKM, yaitu maksimal Rp500 juta. “Syarat utang yang telah dihapus buku lima tahun lalu, memastikan bantuan diberikan kepada mereka yang paling terdampak. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada pengawasan ketat dan verifikasi akurat untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan,” tambahnya.
Agar bisa mempercepat implementasi kebijakan tersebut, dia menyarankan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh perbankan dan juga pemerintah. Untuk perbankan, bisa segera memetakan debitur yang memenuhi kriteria penghapusan utang sesuai dengan PP 47/2024. Kemudian, melakukan penilaian menyeluruh terhadap status kredit debitur untuk memastikan kelayakan penghapusan, serta bekerja sama dengan instansi terkait untuk sinkronisasi data dan prosedur. “Yang perlu dilakukan pemerintah, yaitu membentuk tim verifikasi untuk memastikan data debitur akurat dan mencegah penyalahgunaan,” ujar dia.
Adanya tim verifikasi dari pemerintah juga dapat menjadi pegangan atau bantalan bagi bank pelaksana hapus tagih UMKM di sisi kepastian hukum, sehingga lebih aman di kemudian hari lantaran ada pihak pemerintah yang ikut terlibat verifikasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi informasi mengenai prosedur dan kriteria penghapusan utang kepada masyarakat dan perbankan. Pasalnya, saat ini masih ada yang belum memahami isi dari PP 47/2024, utamanya terkait kriteria dan syarat. Terakhir, pemerintah juga harus memastikan proses berjalan sesuai ketentuan dan mengatasi hambatan yang muncul.
Secara keseluruhan, dia berharap PP 47/2024 dapat mendorong pertumbuhan UMKM dengan memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk memulai kembali tanpa beban utang lama yang menghambat. “Dengan dihapusnya utang, pelaku UKM dapat memperbaiki likuiditas, membuka akses ke pembiayaan baru, dan meningkatkan produktivitas usaha. Hal ini berpotensi menghidupkan kembali usaha-usaha yang sebelumnya terhenti akibat tekanan finansial,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan, dalam PP 47/2024 terdapat sejumlah kriteria yang ditetapkan untuk bisa dihapus tagih oleh bank, antara lain, pada pasal 6 tertulis, kredit UMKM yang merupakan program pemerintah yang sumber dananya dari bank BUMN yang sudah selesai programnya. “Artinya, kredit usaha rakyat (KUR) tidak termasuk kredit yang bisa dihapus tagih, karena merupakan kredit program yang masih berlangsung hingga saat ini,” jelas Mahendra.
Berikutnya, nilai pokok piutang macet paling banyak sebesar Rp500 juta per debitur, telah dihapusbukukan minimal lima tahun lalu pada saat PP ini mulai berlaku, bukan kredit yang dijamin dengan asuransi atau penjaminan kredit dan tidak terdapat agunan kredit namun dalam kondisi tidak memungkinkan untuk dijual atau agunan sudah habis terjual tetapi tidak dapat melunasi pinjaman nasabah.
Kemudian, pada pasal 19 tertulis bahwa kebijakan penghapusan piutang macet pada bank dan/atau lembaga keuangan non bank BUMN dan piutang negara macet kepada UMKM berlaku untuk jangka waktu selama enam bulan, terhitung sejak berlakunya PP ini. Adapun PP terbit pada 5 November 2024, artinya kebijakan ini hanya berlaku hingga 5 Mei 2025.
Lebih lanjut, Mahendra mengatakan bahwa PP tersebut merupakan turunan guna melaksanakan amanat dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Berkaitan dengan hal tersebut, OJK sebagai regulator dan pengawas perbankan memang sudah mengantisipasi hal ini bisa dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Meskipun sebelumnya OJK turut mendorong dan mengkoordinasikan pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun baru bisa tercapai di pemerintahan Prabowo Subianto. Terkait dengan kriteria dan syarat kredit UMKM yang bisa dihapus tagih Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Mahendra mendukung pemerintah yang telah memasukkannya dalam PP 47/2024. “Mengenai kriteria dan syarat yang dipenuhi, secara umum kami sepakat, hal itu dimaksudkan agar tidak terjadinya moral hazard maupun free rider, karena betul-betul yang patut menerima yang dilakukan (hapus tagih),” tutur Mahendra.
NERACA Jakarta – Indonesia Re Institute bersama Divisi Life & Pricing Actuary Indonesia Re menyelenggarakan pelatihan eksekutif bertajuk…
NERACA Jakarta – Keamanan informasi dan data merupakan sebuah prioritas sejalan dengan lonjakan pengguna internet yang masif. Dilansir dari…
NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan para pemangku kepentingan termasuk kementerian atau lembaga terkait…
NERACA Jakarta – Indonesia Re Institute bersama Divisi Life & Pricing Actuary Indonesia Re menyelenggarakan pelatihan eksekutif bertajuk…
NERACA Jakarta – Keamanan informasi dan data merupakan sebuah prioritas sejalan dengan lonjakan pengguna internet yang masif. Dilansir dari…
NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan para pemangku kepentingan termasuk kementerian atau lembaga terkait…