World Plastics Council dan Global Plastics Alliance Serukan KePemerintah Bersama Akhiri Polusi Plastik

World Plastics Council dan Global Plastics Alliance Serukan KePemerintah Bersama Akhiri Polusi Plastik
Jakarta – Menjelang putaran final negosiasi yang dijadwalkan untuk perjanjian internasional guna mengakhiri polusi plastik, World Plastics Council (WPC) dan anggota Global Plastics Alliance (GPA) menyerukan kepada pemerintah nasional untuk menyepakati perjanjian yang ambisius dan dapat diimplementasikan, yang secara signifikan meningkatkan pengelolaan sampah dan daur ulang.
Pada sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee/INC5) yang akan dimulai pada Senin, 25 November, di Busan, Korea Selatan, para negosiator dari pemerintah nasional diharapkan mencapai kesepakatan terkait sejumlah topik penting, termasuk model yang akan digunakan instrumen hukum internasional yang mengikat (Internationally Legally Binding Instrument/ILBI) untuk membantu negara-negara mengatasi sampah plastik. Dalam konteks ini, WPC dan GPA menyerukan agar para negosiator mencapai kesepakatan yang menghormati kebutuhan setiap negara sekaligus menetapkan kerangka kerja bersama untuk mengakhiri polusi plastik pada tahun 2040.
Benny Mermans, Ketua WPC, menyatakan: "Setiap negara menghadapi tantangan yang sangat berbeda dan membutuhkan solusi yang berbeda pula. Pendekatan global yang seragam terhadap kebijakan dan regulasi tidak akan berhasil. Oleh karena itu, perjanjian ini harus memberikan fleksibilitas bagi setiap negara dan wilayah untuk mencapai tujuan perjanjian dengan cara yang paling sesuai untuk mereka."
Kesepakatan akhir harus mencapai keseimbangan yang tepat antara kewajiban global dan langkah-langkah nasional. Perjanjian ini harus mewajibkan negara-negara untuk mengembangkan rencana aksi nasional sehingga mereka dapat menerapkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi mereka secara efektif. Misalnya, target kandungan daur ulang wajib untuk sektor-sektor yang menggunakan plastik di tingkat nasional akan meningkatkan nilai sampah plastik sebagai bahan baku sirkular dengan meningkatkan permintaan untuk bahan mentah plastik sirkular. Rencana tersebut harus memiliki elemen-elemen umum dan persyaratan pelaporan yang memastikan akuntabilitas negara dalam melacak kemajuan serta menciptakan sinyal permintaan untuk mendorong investasi dalam pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang.
Edi Rivai – Wakil Ketua Umum INAPLAS – Perwakilan Indonesia di Global Plastics Alliance mengatakan:
"Bertransisi ke sistem plastik sirkular, di mana semua aplikasi plastik digunakan kembali, didaur ulang, dan dikelola secara bertanggung jawab alih-alih dibuang, merupakan kunci untuk mengatasi masalah sampah plastik. Transisi menuju ekonomi sirkular akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), meningkatkan efisiensi sumber daya, mendorong perkembangan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja, terutama di negara-negara dengan infrastruktur pengelolaan sampah dan daur ulang yang kurang berkembang."
Edi Rivai – Wakil Ketua Umum INAPLAS – Perwakilan Indonesia di Global Plastics Alliance melanjutkan: “Membangun sirkularitas dalam seluruh siklus hidup plastik—mulai dari desain, daur ulang, hingga pengelolaan akhir masa pakai yang bertanggung jawab—dan mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang sesuai dengan kebutuhan harus menjadi landasan utama perjanjian ini. Cara paling efektif untuk mencapai tujuan perjanjian, sambil tetap mempertahankan manfaat plastik bagi masyarakat, adalah menjadikan sampah plastik sebagai komoditas yang memiliki nilai nyata.”
Plastik memungkinkan penggunaan tenaga angin dan surya, meningkatkan efisiensi bangunan dan transportasi, menjaga ketahanan pangan, memperbaiki infrastruktur, serta mendukung layanan kesehatan modern. Oleh karena itu, perjanjian ini harus mengakui bahwa plastik diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan penanganan perubahan iklim. Perjanjian ini juga harus mengakui bahwa sampah yang tidak terkelola adalah penyebab utama polusi, serta memprioritaskan penyediaan pengelolaan sampah yang memadai bagi sekitar 2,7 miliar orang yang belum mendapatkannya.
Benny Mermans menambahkan: "Di World Plastics Council, kami telah menghabiskan 18 bulan terakhir untuk menyatukan berbagai pemangku kepentingan guna membahas cara terbaik mengatasi salah satu tantangan terbesar di masa kita – mengakhiri polusi plastik. Diskusi ini difokuskan pada mengidentifikasi kesamaan dan solusi yang ambisius, dapat diimplementasikan secara praktis, serta memungkinkan masyarakat di seluruh negara di dunia untuk terus mendapatkan manfaat dari plastik bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Diskusi ini juga menegaskan bahwa dengan fokus, rasa urgensi, dan kompromi, hasil yang sukses dari negosiasi dapat tercapai."
Rekomendasi Tambahan:
-      Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan: Menggalang dan memfasilitasi akses terhadap pembiayaan yang diperlukan sangatlah penting, terutama bagi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kami mendukung pembentukan mekanisme pembiayaan berkelanjutan untuk membuka peluang investasi besar-besaran—baik dari sektor publik maupun swasta—yang dibutuhkan untuk transisi ini. Sebagai contoh, skema tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility - EPR) yang dirancang dengan baik dapat digunakan untuk mendanai pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang material. 
-      Pendekatan Berbasis Aplikasi: Kami mendukung penerapan global kerangka kerja penilaian decision tree yang diterapkan secara lokal untuk mengidentifikasi dan mencegah produk plastik dengan potensi kebocoran tinggi menjadi polusi. Berbeda dengan larangan atau pembatasan yang cenderung bersifat kaku dan kontraproduktif, pendekatan ini mempertimbangkan nilai sosial suatu produk plastik di suatu negara dan memungkinkan solusi yang disesuaikan untuk mencegah produk tersebut menjadi polusi.
 
-      Perdagangan: Perjanjian ini memastikan sampah plastik hanya dipindahkan antar negara maju yang telah memiliki infrastruktur daur ulang dengan sistem pengelolaan sampah yang baik saja, sesuai regulasi yang telah diatur dalam Konvensi Basel. Hal ini akan mendorong pengelolaan sampah bertanggung jawab dan meningkatkan sirkularitas ekonomi, serta mencegah polusi sampah plastik yang berasal dari negara besar dan maju.
-      Desain produk: Jika kita menginginkan plastik yang lebih mudah digunakan kembali, didaur ulang, diperbaiki, dan tahan lama, maka kita harus memulainya dengan merancangnya sedemikian rupa. Oleh karena itu, perjanjian ini harus memberikan panduan tentang desain produk yang mengacu pada prinsip dan standar desain internasional yang sudah ada maupun yang sedang berkembang. Ini berarti menetapkan standar untuk ketahanan, mendorong target daur ulang nasional, dan memberdayakan masyarakat untuk mengubah sampah menjadi sumber daya. 
-      Sektor informal: Kita juga harus mengakui pentingnya sektor plastik informal yang saat ini bertanggung jawab atas pengelolaan 60% pengumpulan sampah plastik global. Perjanjian ini harus mengakui kontribusi signifikan dari sektor ini. Membangun kemitraan antara sektor informal, industri, pemerintah, dan akademia adalah kunci untuk mengembangkan solusi yang berkelanjutan dan secara ekonomi layak, yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua pemangku kepentingan serta mendorong saling menghormati

NERACA

Jakarta – Menjelang putaran final negosiasi yang dijadwalkan untuk perjanjian internasional guna mengakhiri polusi plastik, World Plastics Council (WPC) dan anggota Global Plastics Alliance (GPA) menyerukan kepada pemerintah nasional untuk menyepakati perjanjian yang ambisius dan dapat diimplementasikan, yang secara signifikan meningkatkan pengelolaan sampah dan daur ulang.

Pada sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee/INC5) yang akan dimulai pada Senin, 25 November, di Busan, Korea Selatan, para negosiator dari pemerintah nasional diharapkan mencapai kesepakatan terkait sejumlah topik penting, termasuk model yang akan digunakan instrumen hukum internasional yang mengikat (Internationally Legally Binding Instrument/ILBI) untuk membantu negara-negara mengatasi sampah plastik. Dalam konteks ini, WPC dan GPA menyerukan agar para negosiator mencapai kesepakatan yang menghormati kebutuhan setiap negara sekaligus menetapkan kerangka kerja bersama untuk mengakhiri polusi plastik pada tahun 2040.

Benny Mermans, Ketua WPC, menyatakan, "setiap negara menghadapi tantangan yang sangat berbeda dan membutuhkan solusi yang berbeda pula. Pendekatan global yang seragam terhadap kebijakan dan regulasi tidak akan berhasil. Oleh karena itu, perjanjian ini harus memberikan fleksibilitas bagi setiap negara dan wilayah untuk mencapai tujuan perjanjian dengan cara yang paling sesuai untuk mereka."

Kesepakatan akhir harus mencapai keseimbangan yang tepat antara kewajiban global dan langkah-langkah nasional. Perjanjian ini harus mewajibkan negara-negara untuk mengembangkan rencana aksi nasional sehingga mereka dapat menerapkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi mereka secara efektif. Misalnya, target kandungan daur ulang wajib untuk sektor-sektor yang menggunakan plastik di tingkat nasional akan meningkatkan nilai sampah plastik sebagai bahan baku sirkular dengan meningkatkan permintaan untuk bahan mentah plastik sirkular. Rencana tersebut harus memiliki elemen-elemen umum dan persyaratan pelaporan yang memastikan akuntabilitas negara dalam melacak kemajuan serta menciptakan sinyal permintaan untuk mendorong investasi dalam pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang.

Edi Rivai, Wakil Ketua Umum INAPLAS – Perwakilan Indonesia di Global Plastics Alliance mengatakan, "bertransisi ke sistem plastik sirkular, di mana semua aplikasi plastik digunakan kembali, didaur ulang, dan dikelola secara bertanggung jawab alih-alih dibuang, merupakan kunci untuk mengatasi masalah sampah plastik. Transisi menuju ekonomi sirkular akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), meningkatkan efisiensi sumber daya, mendorong perkembangan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja, terutama di negara-negara dengan infrastruktur pengelolaan sampah dan daur ulang yang kurang berkembang."

Edi menjelaskan, membangun sirkularitas dalam seluruh siklus hidup plastik mulai dari desain, daur ulang, hingga pengelolaan akhir masa pakai yang bertanggung jawab dan mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang sesuai dengan kebutuhan harus menjadi landasan utama perjanjian ini. "Cara paling efektif untuk mencapai tujuan perjanjian, sambil tetap mempertahankan manfaat plastik bagi masyarakat, adalah menjadikan sampah plastik sebagai komoditas yang memiliki nilai nyata,” jelas Edi.

Plastik memungkinkan penggunaan tenaga angin dan surya, meningkatkan efisiensi bangunan dan transportasi, menjaga ketahanan pangan, memperbaiki infrastruktur, serta mendukung layanan kesehatan modern. Oleh karena itu, perjanjian ini harus mengakui bahwa plastik diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan penanganan perubahan iklim. Perjanjian ini juga harus mengakui bahwa sampah yang tidak terkelola adalah penyebab utama polusi, serta memprioritaskan penyediaan pengelolaan sampah yang memadai bagi sekitar 2,7 miliar orang yang belum mendapatkannya.

Benny Mermans ketua WPCmenambahkan, "Di World Plastics Council, kami telah menghabiskan 18 bulan terakhir untuk menyatukan berbagai pemangku kepentingan guna membahas cara terbaik mengatasi salah satu tantangan terbesar di masa kita – mengakhiri polusi plastik. Diskusi ini difokuskan pada mengidentifikasi kesamaan dan solusi yang ambisius, dapat diimplementasikan secara praktis, serta memungkinkan masyarakat di seluruh negara di dunia untuk terus mendapatkan manfaat dari plastik bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Diskusi ini juga menegaskan bahwa dengan fokus, rasa urgensi, dan kompromi, hasil yang sukses dari negosiasi dapat tercapai."

dalam hal tersebut direkomendasikan, mekanisme pembiayaan berkelanjutan. Menggalang dan memfasilitasi akses terhadap pembiayaan yang diperlukan sangatlah penting, terutama bagi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kami mendukung pembentukan mekanisme pembiayaan berkelanjutan untuk membuka peluang investasi besar-besaran—baik dari sektor publik maupun swasta—yang dibutuhkan untuk transisi ini. Sebagai contoh, skema tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility - EPR) yang dirancang dengan baik dapat digunakan untuk mendanai pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang material. 

pendekatan berbasis Aplikasi. "Kami mendukung penerapan global kerangka kerja penilaian decision tree yang diterapkan secara lokal untuk mengidentifikasi dan mencegah produk plastik dengan potensi kebocoran tinggi menjadi polusi. Berbeda dengan larangan atau pembatasan yang cenderung bersifat kaku dan kontraproduktif, pendekatan ini mempertimbangkan nilai sosial suatu produk plastik di suatu negara dan memungkinkan solusi yang disesuaikan untuk mencegah produk tersebut menjadi polusi," pungkas Benny.

 

 

 

-      Perdagangan: Perjanjian ini memastikan sampah plastik hanya dipindahkan antar negara maju yang telah memiliki infrastruktur daur ulang dengan sistem pengelolaan sampah yang baik saja, sesuai regulasi yang telah diatur dalam Konvensi Basel. Hal ini akan mendorong pengelolaan sampah bertanggung jawab dan meningkatkan sirkularitas ekonomi, serta mencegah polusi sampah plastik yang berasal dari negara besar dan maju.

 

-      Desain produk: Jika kita menginginkan plastik yang lebih mudah digunakan kembali, didaur ulang, diperbaiki, dan tahan lama, maka kita harus memulainya dengan merancangnya sedemikian rupa. Oleh karena itu, perjanjian ini harus memberikan panduan tentang desain produk yang mengacu pada prinsip dan standar desain internasional yang sudah ada maupun yang sedang berkembang. Ini berarti menetapkan standar untuk ketahanan, mendorong target daur ulang nasional, dan memberdayakan masyarakat untuk mengubah sampah menjadi sumber daya. 

 

-      Sektor informal: Kita juga harus mengakui pentingnya sektor plastik informal yang saat ini bertanggung jawab atas pengelolaan 60% pengumpulan sampah plastik global. Perjanjian ini harus mengakui kontribusi signifikan dari sektor ini. Membangun kemitraan antara sektor informal, industri, pemerintah, dan akademia adalah kunci untuk mengembangkan solusi yang berkelanjutan dan secara ekonomi layak, yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua pemangku kepentingan serta mendorong saling menghormati

BERITA TERKAIT

Per 18 November 2024 Realisasi Anggaran Kemendag Sebesar Rp1,62 Triliun

NERACA Jakarta – Realisasi anggaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) per 18 November 2024 yaitu sebesar  Rp1,62 triliun atau 78,49 persen dari…

Apple Berencana Berinvestasi Sebesar USD100 di Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengonfirmasi sudah menerima proposal rencana investasi Apple sebesar USD100 juta atau sekitar Rp 1,58…

Dua Dekade Terakhir Kontribusi Sawit Mendominasi Kinerja Perekonomian Indonesia

NERACA Jakarta – Kontribusi komoditas kelapa sawit mendominasi kinerja perekonomian Indonesia selama dua dekade terakhir. Minyak sawit telah digunakan untuk…

BERITA LAINNYA DI Industri

World Plastics Council dan Global Plastics Alliance Serukan KePemerintah Bersama Akhiri Polusi Plastik

World Plastics Council dan Global Plastics Alliance Serukan KePemerintah Bersama Akhiri Polusi Plastik Jakarta – Menjelang putaran final negosiasi yang…

Per 18 November 2024 Realisasi Anggaran Kemendag Sebesar Rp1,62 Triliun

NERACA Jakarta – Realisasi anggaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) per 18 November 2024 yaitu sebesar  Rp1,62 triliun atau 78,49 persen dari…

Apple Berencana Berinvestasi Sebesar USD100 di Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengonfirmasi sudah menerima proposal rencana investasi Apple sebesar USD100 juta atau sekitar Rp 1,58…