Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu, Indonesia dinilai akan semakin bergantung dengan China dari segi perdagangan, investasi, dan utang.
NERACA
Menurut Faisal, penurunan permintaan pasar global, hambatan perdagangan, dan kebijakan internasional yang berubah menjadi faktor utama yang dapat mengganggu kinerja ekspor dan industri domestik.
Dia menyoroti bahwa salah satu hambatan terbesar pada 2025 adalah peningkatan tarif perdagangan yang diberlakukan oleh mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat dan China. Kondisi ini diprediksi akan mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. |
“Penetrasi ekspor ke mitra dagang utama kita terkendala oleh peningkatan hambatan perdagangan dan melemahnya permintaan global,” ujar Faisal dalam acara Gambir Trade Talk di Jakarta, pekan ini.
Selain itu, pengurangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika Serikat menjadi ancaman serius bagi industri manufaktur Indonesia, khususnya tekstil dan produk tekstil. Fasilitas ini sebelumnya memberikan keuntungan berupa akses pasar dengan tarif rendah.
“Potensi pengenaan tarif yang lebih tinggi dan pengurangan fasilitas GSP untuk produk manufaktur seperti tekstil akan semakin menekan kinerja industri ini,” tambahnya.
Industri tekstil Indonesia saat ini sudah menghadapi tekanan akibat melemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan internasional hanya akan memperburuk situasi ini. Pasar domestik yang lemah tidak mampu menopang industri, sementara ekspor menjadi satu-satunya andalan.
“Industri tekstil kita sudah berdarah-darah karena lemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan global akan semakin memperparah situasi ini,” jelas Faisal.
Faisal juga mengingatkan bahwa fenomena trade diversion atau pengalihan perdagangan menjadi tantangan lain bagi Indonesia. Negara-negara seperti China, yang mengalami kelebihan pasokan (oversupply) akibat penurunan permintaan internasional, kemungkinan besar akan mencari pasar baru, termasuk Indonesia.
Peningkatan impor produk dari negara-negara dengan harga lebih kompetitif ini dapat menekan pasar domestik Indonesia, terutama di sektor industri padat karya. Kondisi ini semakin memperburuk daya saing produk lokal.
“Ketika tarif impor Amerika terhadap produk China meningkat, produk-produk dari China kemungkinan besar akan diarahkan ke pasar lain, termasuk Indonesia. Ini dapat menambah tekanan pada industri lokal,” kata Faisal.
Melihat tantangan yang dihadapi, diperlukan kebijakan strategis untuk melindungi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing ekspor. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal, pengembangan pasar alternatif, dan peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ekonomi di tahun 2025.
Ketergantungan pada China
Di sisi lain, Indonesia dinilai akan semakin bergantung dengan China dari segi perdagangan, investasi, dan utang. Sebaliknya, posisi Indonesia bagi China dianggap cukup penting tetapi tidak terlalu signifikan untuk menjadi penentu kondisi perekonomiannya.
Hal itu diungkapkan oleh ekonom senior lembaga riset ekonomi Bright Institute, Awalil Rizky pada webinar yang digelar pada pekan ini. "Dari sisi risiko, Indonesia memiliki risiko lebih tinggi karena China merupakan mitra ekonomi yang terpenting dengan porsi yang amat besar. Sedangkan bagi China, Indonesia hanya cukup penting, namun tidak akan menentukan kondisi perekonomiannya,” ujarnya.
Awalil menuturkan, dari sisi perdagangan, China merupakan negara tujuan ekspor tertinggi yang porsinya mencapai 25,09 persen dari seluruh total ekspor pada 2023. Porsi ini jauh lebih tinggi dari negara di posisi kedua yakni Amerika Serikat yang hanya 8,98 persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Di sisi lain, meskipun mengimpor 28,34 persen dari seluruh total impor batang China, RI hanya berkontribusi tak lebih dari 3,2 persen bagi seluruh impor China.
"Dan kalau kita lihat dari karakteristik barang yang diekspor, hampir seluruh barang yang Indonesia ekspor ke China adalah barang yang tak terbarukan seperti feronikel dan batu bara. Sedangkan barang yang diekspor dari China sangat beragam dan terdiversifikasi, dari smartphone hingga bawang putih,” ujar Awalil.
"Jadi ekspor oleh China jauh lebih sustainable karena China bisa mengekspor hampir seluruh kebutuhan Indonesia, dan jumlahnya terus meningkat. Inilah yang membuat secara risiko, ke depannya Indonesia akan semakin bergantung dengan China namun China tidak akan terlalu membutuhkan Indonesia” ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.
Selain itu, besarnya ekspor pada komoditas hasil tambang tersebut membuat surplus atau defisitnya neraca perdagangan Indonesia terhadap China menjadi sangat bergantung pada kondisi harga komoditas global dibandingkan kapasitas produksi Indonesia. "Jika harga komoditas turun 10% saja, maka surplus bisa langsung berubah menjadi defisit,” tutur Awalil.
Adapun, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengekspor feronikel ke China pemilik dan pemegang sahamnya tidak lain dari China.
"Feronikel merupakan barang yang paling banyak diekspor Indonesia ke China yakni mencapai 23,02 persen dari seluruh ekspor. Feronikel inilah yang paling besar berkontribusi dalam menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia dengan China," ujarnya.
"Namun perlu diingat, hampir seluruh smelter nikel di Indonesia sejatinya dikuasai oleh China. Jadi walaupun secara perhitungan berasal dari Indonesia, namun secara kepemilikan dikuasai oleh pengusaha China,” tutur dia.
Selain itu Bright Institute juga menyoroti peran investasi China ke Indonesia. Kementerian Investasi mencatat, Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar di Indonsia berasal dari Singapura, namun jika PMA dari Hong Kong, yang mana menurut Awalil selama beberapa tahun terakhir semakin terintegrasi dengan Beijing, maka jumlah keduanya mencapai 28% dari total PMA di Indonesia.
"Nilai ini tentu sangat dominan. Dan China juga dikabarkan mulai tertarik berinvestasi di bidang hilirisasi pertanian dan perikanan, seperti dalam rumput laut, perikanan, dan bibit unggul padi. Hal ini yang bisa jadi sangat diinginkan oleh pemerintahan Prabowo ke depan," ujarnya.
Menurut Bright Institute, investasi China selama ini memiliki karakteristik berbeda dengan investasi dari negara lain, baik itu dalam transparansi proyek kerja sama terhadap publik sampai keperluan tenaga kerja asing (TKA).
"Banyaknya keperluan TKA ini sebenarnya bisa dijelaskan dari kebutuhan China sendiri yang juga ingin mengurangi tingkat pengangguran di negaranya,” ujar Awalil.
Selain itu, Bright Institue juga menilai utang Indonesia ke China juga akan semakin membengkak melanjutkan tren yang berlangsung selama pemerintahan Jokowi. "ULN (Utang Luar Negeri) dari China ini hampir seluruhnya adalah ULN kepada swasta, yakni sekitar 94 persen. Hanya sekitar 5 persen merupakan utang kepada pemerintah. Jadi mayoritas berbentuk B2B (business to business). Nilainya tumbuh pesat dari US$6,88 miliar di 2014 menjadi US$21,14 miliar per September 2024,” tutur Awalil.
Namun, perlu diperhatikan ULN swasta ini termasuk utang kepada BUMN dan mayoritas didanai oleh bank BUMN China. "Dan sebagaimana kita lihat kasusnya pada pendanaan proyek kereta cepat, APBN masih bisa diminta untuk menjamin pembayaran utang tersebut walaupun statusnya B2B sekalipun,” ujarnya. bari/mohar/fba
Jakarta-Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana mengubah Perum Bulog menjadi lembaga non-komersial yang tidak lagi berorientasi pada profit. Langkah ini salah…
NERACA Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan prasyarat kunci meningkatkan pendapatan per kapita setara dengan…
NERACA Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan impor susu dalam negeri yang menjadi syarat pengusaha untuk mengimpor susu.…
Jakarta-Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana mengubah Perum Bulog menjadi lembaga non-komersial yang tidak lagi berorientasi pada profit. Langkah ini salah…
NERACA Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan prasyarat kunci meningkatkan pendapatan per kapita setara dengan…
Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…