Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik & Advokat
Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2025 menargetkan penerimaan perpajakan Rp 2.490.9 Triliun. Untuk merealisasikan target penerimaan pajak diperlukan berbagai langkah strategis sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. Optimalisasi penerimaan pajak memerlukan dukungan sistem perpajakan yang tertib, salah satunya tertib administrasi, khususnya pembukuan berupa pelaporan keuangan yang akuntabel.
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung sendiri pajak yang terutang, dengan demikian Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan pembukuan atau pencatatan mengenai transaksi yang telah dilakukannya dalam suatu tahun pajak. Pembukuan atau pencatatan merupakan fungsi yang amat penting demi tertibnya Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya dan sekaligus memberi kemudahan otoritas pajak untuk melakukan pengujian melalui pemeriksaan pajak atas kepatuhan Wajib Pajak.
Kewajiban Pembukuan
Pasal 28 Ayat 1 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menegaskan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia. Lebih lanjut Pasal 1 angka 29 UU KUP menegaskan pengertian pembukuan yaitu :
Berdasarkan definisi tersebut, fungsi pembukuan adalah
Wujud dari pembukuan tersebut berupa laporan keuangan yang wajib dilampirkan dalam pelaporan pajak tahunan badan. Dengan demikian kualitas laporan keuangan sangat menentukan kualitas laporan pajak (SPT) Wajib Pajak, terutama Wajib Pajak Badan.
Ekosistem Pelaporan Keuangan
Akuntansi sebagai suatu proses yang menghasilkan laporan keuangan merupakan suatu ekosistem pelaporan keuangan, yakni suatu sistem yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari persiapan, proses penyusunan, persetujuan, audit, analisis dan penggunaan laporan keuangan. Pengguna adalah pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya Otoritas Perpajakan.
Setiap organ dalam ekosistem berperan penting dan unik sebagai kontributor dalam menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas tinggi. Masing-masing pihak merupakan bagian yang integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan saling terhubung. Setiap pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Tujuan dari ekosistem pelaporan keuangan adalah untuk melayani kepentingan publik, khususnya dalam industri pasar modal dan perpajakan dengan memungkinkan pengungkapan keuangan perusahaan yang lengkap (Full Disclosure), akurat dan transparan. Berbagai pihak yang terlibat, antara lain manajemen perusahaan, Komite Audit, Komisaris (sebagai organ pengawas dan memberi nasehat), Auditor, regulator dan para pengguna laporan keuangan, khususnya otoritas perpajakan. Upaya peningkatan kualitas laporan keuangan harus dimulai dari hulu dalam suatu mata rantai.
Demi kejelasan, kepastian sekaligus keadilan dan kemanfaatan laporan keuangan dalam perekonomian nasional sudah saatnya dilandasi Undang-undang, yakni Undang-undang Pelaporan Keuangan (UU PK).
Esensi persoalan laporan keuangan sudah diatur dalam Pasal 66 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa Direksi bersama Dewan Komisaris bertanggung jawab atas isi laporan keuangan untuk disampaikan kepada RUPS, bahkan bagi perseroan yang wajib diaudit, laporan keuangan wajib disampaikan kepada otoritas atau Menteri yang menjadi bidang tugasnya. Ironisnya UU Perpajakan justru tidak mewajibkan audit atas laporan keuangan, meskipun nilai aset atau peredaran usaha perusahaan Wajib Pajak telah mencapai Rp 50.000.000.000. padahal tertib hukum merupakan bagian penting dari tertib pajak. Dengan adanya UU PK yang sejalan dengan UU PT, maka Komisaris akan bekerja lebih efektif sesuai dengan fungsi mengawasi dan memberi arahan/nasehat dalam tata kelola perusahaan, khususnya terkait dengan transparansi laporan keuangan, agar tercipta checks and balances sesuai dengan makna yang terkandung dalam Good Corporate Governance.
Stigma manipulatif data dalam laporan keuangan merupakan concern utama dalam UU PK. Keterkaitan dengan UU lain seperti KUH Perdata, UU PT, UU Perpajakan, UU Pasar Modal, UU Asuransi, UU Perbankan dan UU lainnya perlu dipertegas supaya terdapat kepastian hukum demi tertib hukum dan sekaligus menjamin tertib pajak.
Kedepan demi kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan, optimalisasi pajak yang berintegritas merupakan suatu keharusan sesuai dengan arah kebijakan strategis pemerintah baru dengan diwujudkannya pengelolaan penerimaan negara satu pintu dalam satu institusi yakni, Badan Penerimaan Negara sesuai dengan program kerja Presiden Prabowo kedepan. Hal ini dapat terwujud jika tertib hukum, tertib pajak dapat direalisasikan, dengan demikian pertanggung jawaban atas pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
UU PK merupakan wujud keseimbangan kepentingan dalam hukum seperti dikatakan oleh Pound, hukum tidak dibiarkan dalam tataran konsep logis analitis atau ungkapan teknis yuridis. Hukum mesti didaratkan dalam dunia sosial penuh sesak dengan kepentingan saling bersaing (Bernard L. Tanya, 2010:154). Penyusunan UU PK merupakan pembenahan hulu, budaya perusahaan, nilai-nilai kejujuran penerapan nyata tata kelola perusahaan yang baik menjadi norma hukum yang memberi kepastian hukum dalam dunia bisnis, sehingga merupakan sumbangan bermakna tinggi dalam mengurangi risiko bisnis dan upaya transparansi perpajakan.
Beberapa tahun yang lalu rancangan UU Pelaporan Keuangan (UU PK) sudah sempat dibahas, tetapi sampai saat ini tidak kunjung tuntas. Penyusunan UUPK tentu memberi sinyal positif bagi kepentingan pemerintah dan tertib hukum bagi pemangku kepentingan lainnya dan publik. Sekaligus penting bagi dunia bisnis mewujudkan tata kelola yang baik.
Kalau begitu, tertib hukum mengatur pelaporan keuangan dalam UU adalah tertib hukum untuk sekaligus juga bertujuan kepastian dan kemanfaatan (utilitis). Rumusan harus jelas, termasuk penjelasan harus jelas. Cukup jelas yang kerap kali kita temui dalam suatu UU agar dihindari dalam UU PK nanti.
Simpulan
Kebutuhan akan UUPK tidak terelakan lagi khususnya dalam menyongsong era baru perpajakan dibawah Presiden Prabowo dengan menjadikan pajak sebagai gerakan nasional. Karenanya pandangan Geiger masih dapat dipahami jika dalam masyarakat modern pertimbangan moral kurang berdasar dalam hidup bersama di masyarakat (1982:218). Itu penanda, positivisme masih tetap diperlukan bagi kepentingan tertib hukum, khususnya dalam penyusunan laporan keuangan serta laporan pajak.
Oleh : Alva Raksa, Pemerhati Media Digital Menjelang Pilkada serentak 2024, hoaks dan informasi palsu sering kali…
Oleh: Jefri Muskaro, Pengamat UMKM Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan fondasi penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi UMKM dalam…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta Kasus impor gula di Indonesia menjadi sorotan tajam…
Oleh : Alva Raksa, Pemerhati Media Digital Menjelang Pilkada serentak 2024, hoaks dan informasi palsu sering kali…
Oleh: Jefri Muskaro, Pengamat UMKM Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan fondasi penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi UMKM dalam…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta Kasus impor gula di Indonesia menjadi sorotan tajam…