Aspek Hukum dalam Fraud Terkait POJK No.12/2024

 

 

Oleh:  Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA.,BKP, Advokat dan Akuntan Forensik

 

          Terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12 Tahun 2024 tentang Strategi Anti Fraud bagi lembaga jasa keuangan sesungguhnya tidak mengejutkan. Mengapa ? karena berbagai bentuk fraud yang terjadi dilingkungan BUMN, perusahaan industri dibawah pengawasan OJK sudah berlangsung sejak lama dengan nilai fraud yang sangat fantastis, bahkan dampak buruknya masih dirasakan oleh masyarakat, seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Taspen dan lain-lain.

Padahal jika OJK memiliki sistem yang canggih tentu upaya preventive, detective dan corrective dapat dilakukan sedini mungkin, apalagi OJK memiliki infrastruktur, peralatan dan kewenangan hukum yang diberikan Undang-undang, terakhir terbitnya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang memberikan kewenangan luas bagi OJK, termasuk melakukan penyidikan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat konsumen.

          Akibat fraud yang dilakukan oleh pelaku usaha dan dibarengi oleh kelalaian OJK dalam melakukan pengawasan berupa pencegahan sesungguhnya tidak dapat diterima akal sehat hukum. Fakta empiris membuktikan berbagai kasus fraud terus menerus terjadi. Konstitusi mengamanatkan bahwa negara mempunyai kewajiban melindungi masyarakat (konsumen). Publik pun menilai lemahnya fungsi pengawasan OJK padahal pelaku usaha sudah diwajibkan menyampaikan laporan keuangan secara berkala, bahkan OJK punya kewenangan meminta data, informasi dan keterangan lebih lanjut, jika dari laporan keuangan yang disampaikan masih memerlukan pendalaman.

Mengacu pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terdapat beberapa asas hukum, antara lain asas kepastian hukum, kepentingan hukum, pelajaran yang baik, kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar. Dari asas-asas tersebut harusnya OJK menjalankan fungsi pencegahan agar tidak terjadi dampak yang merugikan masyarakat konsumen. Begitulah hakekat perlindungan terhadap masyarakat konsumen oleh negara.

Strategi Anti Fraud

          Sebagai perusahaan publik yang menyangkut kepentingan publik, seharusnya semua perangkat OJK mampu memastikan bahwa kepentingan publik terjaga, bahkan terjamin. Itulah sesungguhnya fungsi lembaga pemerintahan/negara jika mengacu pada teori kontrak sosial, negara berkewajiban melindungi masyarakat dan masyarakat berkewajiban membayar pajak (asas timbal balik). Hal itulah yang harus dipahami oleh OJK, agar terciptanya public trust terhadap OJK.

Maraknya dugaan fraud yang terjadi pada beberapa perusahaan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan jasa keuangan yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seharusnya menjadi perhatian serius dan segera mengambil langkah kongkrit pembenahan, baik oleh Dewan Komisioner OJK maupun Menteri BUMN. Mengapa ? karena fraud yang terjadi selama ini berimplikasi terhadap kepercayaan publik dan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Konsep Hukum Fraud

Ketika bicara ‘fraud’, makna yang muncul dalam pembicaraan sehari-hari kerap diartikan sebagai penipuan, kecurangan atau penggelapan. Kata ‘curang’ itu sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia dimaknai sebagai tidak jujur, tidak lurus hati, tidak adil. Kalau ada orang berbuat curang, berarti sudah berbuat tidak jujur, menipu, mengakali, dengan kata lain yang sifatnya merugikan pihak lain. Penipuan itu sendiri dapat dimaknai sebagai segala bentuk kecurangan, yang dapat dilakukan oleh orang atau perusahaan.

Dari sisi hukum, patut dipahami bagaimana hukum menilai suatu perbuatan fraud, termasuk segala akibat hukumnya jika fraud dibawa ke ranah hukum. Paling mudah dipahami dari kata ‘fraud’ adalah tindakan yang digolongkan sebagai korupsi (corruption), khususnya terkait dengan perbuatan yang digolongkan sebagai gratifikasi maupun suap yang muncul dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B.

Bahkan, peraturan terkait fraud juga muncul dalam UU lain seperti dalam KUHP yang merumuskan beragam rumusan tindak pidana materiil yang bersinggungan dengan persoalan kecurangan, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 209 terkait penyuapan, Pasal 263 terkait pemalsuan surat, Pasal 362 terkait pencurian, Pasal 368 terkait pemerasan, Pasal 372 terkait penggelapan, Pasal 378 terkait penipuan. Lalu, dalam KUHAP juga muncul ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara mengadili dan menetapkan seseorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP.

Bicara fraud (kecurangan) pada esensinya merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau dari luar organisasi, dengan maksud mendapatkan keuntungan bagi pribadi atau kelompoknya, yang secara langsung merugikan pihak lain. Perbuatan melawan hukum itu tidak melulu terjadi karena melanggar pasal-pasal yang diatur dalam UU melainkan melingkupi setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat (H.Muchsin, 2006).

Fraud (kecurangan) yang paling mudah dipahami adalah jika kita amati kejadian yang terjadi pada beberapa BUMN antara lain kasus PT Wijaya Karya, Tbk, PT Waskita Karya, Tbk, PT Garuda Indonesia, Tbk (untuk tahun buku 2018), PT Indofarma, Tbk dan juga pada badan usaha swasta antara lain SNP Finance, PT Tiga Pilar, Tbk, yang disebabkan adanya perbuatan internal perusahaan (Direksi) diketahui melakukan dugaan fraud (kecurangan) pada laporan keuangan atau menyembunyikan, menyamarkan perbuatan fraud tersebut dalam laporan keuangan.

Artinya, data yang tercantum dalam laporan keuangan tidak mencerminkan keadaan senyatanya atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kecurangan dimaksud sengaja dilakukan manajemen untuk memperoleh keuntungan pribadi dan orang lain yang tentu saja akan memberi kerugian bagi investor maupun kreditor. Ironisnya Dewan Komisaris yang berfungsi melakukan pengawasan justru membiarkan atau justru ikut dalam perbuatan melawan hukum tersebut. Ada tiga kemungkinan. Pertama, Anggota Dewan Komisaris tidak mempunyai kompetensi yang handal terkait dengan fraud. Kedua, mempunyai kompetensi, tetapi bersikap pasif, sehingga membiarkan saja. Ketiga, terlibat sebagai peserta dalam perbuatan fraud tersebut.

Begitu luasnya makna perbuatan melawan (melanggar) hukum, maka dalam pergaulan serta tindakan hukum yang dilakukan seseorang hendaknya memperhatikan norma hukum (UU), maupun norma sosial lainnya (kepatutan), supaya terbentuk ketertiban masyarakat sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. 

Itu sebabnya, orang harus menjauhi fraud alias orang harus taat hukum. Mengapa? Karena pembenaran untuk taat (patuh) pada hukum harus dipahami dalam pengertian karena hukum merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat itu sendiri, bukan karena negara yang menghendakinya. Jadi, patuh pada hukum itu karena nilai batinnya yang menjelma di dalam hukum itu (Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, 2001). Bahkan salah satu point penting dalam sistem internal control adalah kepatuhan, taat hukum yang wajib bagi Direksi perusahaan dan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola.

Sedangkan bagi Komisaris sebagai organ pengawasan berkewajiban mengawasinya, dalam arti subtansial dan memastikannya semua berjalan sesuai dengan koridor hukum. Dengan demikian POJK No. 12 Tahun 2024 seharusnya dilengkapi dengan aturan wajib audit hukum (legal audit) sebagai komplementer dari audit laporan keuangan (financial audit) oleh Akuntan Publik, agar efektifitas POJK dapat diwujudkan.

Simpulan

          Fraud merupakan kejahatan yang wajib diberantas dengan memulainya dalam pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris yang kompeten, berintegritas melalui POJK yang mengatur persyaratan kompetensi Komisaris Independen, Kepala Internal Audit dan Reposisi Kepala Internal Audit. Disamping itu perlu memperkuat tata kelola perusahaan dengan kata kuncinya mengangkat perangkat yang bertanggung jawab terhadap tata kelola perusahaan, baik Internal Audit, Komisaris Independen dan Komite Audit.

Kompetensi dibidang audit investigasi, akuntan forensik dan hukum sangat dibutuhkan bagi Komisaris Independen/Ketua Komite Audit. Untuk itulah POJK No.12 Tahun 2024 harusnya dimulai dengan menerbitkan POJK terkait persyaratan kompetensi perangkat tata kelola perusahaan.

BERITA TERKAIT

Komitmen Prabowo-Gibran Menjaga Kelestarian Alam

  Oleh: Elmira R. Kusuma, Pemerhati Lingkungan Hidup   Pemerintahan Indonesia yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming…

Mewujudkan Pilkada 2024 yang Bebas Politik Uang dan SARA

  Oleh: Hardian Sani, Pengamat Sosial Politik     Pilkada 2024 adalah momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin…

Pembaruan Administrasi Perpajakan yang Sederhana dan Akurat

  Oleh: Wahyu Hadi Wibowo, Penyuluh Pajak KPP Pratama Jakarta Pulogadung   Pemberlakuan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau lazim…

BERITA LAINNYA DI Opini

Komitmen Prabowo-Gibran Menjaga Kelestarian Alam

  Oleh: Elmira R. Kusuma, Pemerhati Lingkungan Hidup   Pemerintahan Indonesia yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming…

Mewujudkan Pilkada 2024 yang Bebas Politik Uang dan SARA

  Oleh: Hardian Sani, Pengamat Sosial Politik     Pilkada 2024 adalah momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin…

Aspek Hukum dalam Fraud Terkait POJK No.12/2024

    Oleh:  Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA.,BKP, Advokat dan Akuntan Forensik             Terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)…