Pengentasan Kemiskinan

Kita berharap proses transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi momen penting yang berjalan mulus. Rakyat setidaknya berharap, bahwa upaya pengentasan mereka dari kemiskinan benar-benar dapat dibangun di atas fondasi yang kuat.

Apalagi, Prabowo berulang kali dalam kampanyenya mengatakan bahwa ia berkomitmen untuk mewujudkan kebijakan yang bisa membuat kemiskinan di Indonesia hilang. Bahkan, menurut Prabowo, Indonesia belum sepenuhnya merdeka selama masih ada rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

Konsep Indonesiasentris yang melambangkan pemerataan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, pelaksanaan keadilan. Memasuki tahun terakhir dalam dekade kedelapan usianya, bangsa ini tentu masih terus berupaya menatap masa depan dengan penuh optimisme untuk mewujdkan kemerdekaan sepenuhnya, termasuk kebebasan dari kemiskinan.

Patut diketahui juga Presiden terpilih Prabowo, setiap  tahun jutaan masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami turun kelas. Sebagian turun ke level calon kelas menengah, sebagian lagi anjlok menuju masyarakat rentan miskin. Menurut data BPS, jumlah penduduk kelas menengah turun tajam dalam lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.

Apakah ini bisa dianggap persoalan yang berpotensi disepelekan oleh pemerintahan baru nanti? Jelas tidak. Bagaimana mau dipandang sepele kalau masyarakat kelas menengah yang sesungguhnya punya kontribusi besar terhadap pergerakan ekonomi itu kian hari justru kian terimpit dan terjepit. Masalahnya, bila kelas menengah terus menerus mendapat tekanan dari dua sisi: pendapatan yang melambat dan biaya hidup yang makin tinggi, apakah mereka mampu bertahan hidup?

Saat ini, jika digabung masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah, jumlahnya mencapai 66,35% dari total penduduk Indonesia. Dari mereka, nilai konsumsi pengeluarannya mencakup 81,49% dari total konsumsi nasional. Kelas menengah juga merupakan penopang penerimaan pajak yang besar. Maka, saat proporsi kelas menengah terus mengkerut, perekonomian nasional tentu menjadi kurang resilien terhadap guncangan global.

Menurunnya jumlah kelas menengah sejatinya menjadi indikasi kuat bahwa ada problem serius dalam hal fundamental ekonomi nasional, sekaligus menunjukkan betapa repotnya kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Kelas menengah selalu disebut-sebut sebagai bantalan dari perekonomian nasional, tetapi strategi untuk mengungkit kapasitas mereka tidak pernah tuntas terselesaikan dengan baik.

Tidak hanya itu. Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) kini terus menghantui Indonesia. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 101 ribu pekerja terkena PHK. Jumlah tersebut hanya turun tipis jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023 yang mencapai 111.852 pekerja.

Bahkan Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia memperkirakan fenomena PHK massal masih akan terjadi sampai dengan akhir tahun ini. Kondisi itu jelas sangat ironis mengingat tenaga kerja merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi selain faktor sumber daya alam dan teknologi.

Sebagai salah satu negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia, bahkan digadang-gadang bakal mendapat bonus demografi pada 2030, lonjakan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan itu tidak bisa dianggap seperti angin lalu. Perlu segera dicarikan solusi agar tidak menimbulkan masalah yang ujung-ujungnya mengguncang stabilitas politik dan ekonomi.

Pemerintah tidak boleh menutup mata atas fakta tersebut. Betul, kondisi perekonomian global saat ini memang sedang lesu sehingga berdampak pada penurunan permintaan pasar. Namun, itu tidak bisa sepenuhnya dijadikan alasan. Apalagi, menurut Aspek Indonesia, salah satu penyebab badai PHK ialah Permendag No.8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Masuknya barang-barang dari luar negeri itu, termasuk tekstil dan alas kaki dengan harga miring, telah memukul industri dalam negeri lantaran tidak mampu bersaing sehingga membuat sejumlah perusahaan lokal terjungkal. Itu artinya kesalahan terletak pada kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri, bukan sepenuhnya lantaran kondisi geopolitik atau geoekonomi global.

Kebijakan seperti ini perlu ditinjau kembali karena tidak memihak atau melindungi pengusaha dalam negeri. Seharusnya kementerian terkait mengundang para pemangku kepentingan sebelum membuat sebuah regulasi. Untuk itu, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo mampu mengantisipasi dini persoalan dinamika bangsa untuk menuju kemakmuran bersama di masa depan.

BERITA TERKAIT

Kemiskinan Ekstrem Menurun?

  Indonesia di era kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode telah menghadirkan banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia.…

Daya Saing Indonesia

  Jelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi, pemerintah terus memperkuat komitmennya menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tantangan global. Berbagai indikator…

Bandara Ramah Lingkungan

    Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) terus mengarahkan dan memimpin pesatnya perkembangan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), termasuk…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kemiskinan Ekstrem Menurun?

  Indonesia di era kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode telah menghadirkan banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia.…

Daya Saing Indonesia

  Jelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi, pemerintah terus memperkuat komitmennya menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tantangan global. Berbagai indikator…

Pengentasan Kemiskinan

Kita berharap proses transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi momen penting yang berjalan mulus.…