Pemerintah Diminta Wajibkan Tarik Biaya untuk Pengendalian Polusi

Pemerintah Diminta Wajibkan Tarik Biaya untuk Pengendalian Polusi
NERACA
Jakarta - Centre for Research Energy and Clear Air (CREA) menyebut pemerintah perlu memberlakukan polluter pays atau kewajiban membayar biaya pengendalian polusi bagi pelaku usaha terkait dengan polusi udara yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Jawa Barat dan Banten.
Analis CREA Katherine Hasan mengatakan, pemerintah atau negara mempunyai kuasa untuk mencegah pelepasan polusi berbahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat. "Pemerintah bisa memberlakukan prinsip polluter pays di mana pelaku harus membayar biaya pengendalian polusi serta dampak yang disebabkan oleh polusi yang dilepaskan," ujar Katherine melalui keterangan di Jakarta, Kamis.
CREA menyebut, beban ekonomi terkait polusi udara dari pengoperasian tiga PLTU berbasis batu bara di Jawa Barat dan Banten mencapai Rp13,1 triliun per tahun. Adapun ketiga PLTU tersebut yakni Cirebon 1, Pelabuhan Ratu 1-3, dan Suralaya 1-4.
Menurut CREA, biaya tersebut muncul akibat meningkatnya risiko dan insiden penyakit pernapasan, serta menurunnya produktivitas ekonomi. Sementara itu, dari sisi kematian, pengoperasian ketiga PLTU tersebut menyebabkan hingga 1.263 kematian setiap tahun.
Katherine memaparkan, beban ekonomi dari PLTU Cirebon 1 mencapai Rp4,57 triliun, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 Rp4,35 triliun, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 senilai Rp4,22 triliun. Dari sisi kematian, emisi polutan udara dari PLTU Cirebon 1 menyebabkan 441 kematian, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 mengakibatkan 421 kematian, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 menimbulkan 401 kematian.
Menurut Katherine, seiring berkembangnya perekonomian, suatu negara secara teori akan mampu menyediakan layanan kesehatan esensial yang memadai bagi warganya.
Dalam hal dampak kesehatan terkait polusi udara dari sumber emisi apapun, termasuk pembangkit listrik berbasis batu bara, dapat dikatakan semua dampak negatif terhadap kesehatan pada akhirnya membebani pembayar pajak. "Beban ini termasuk biaya yang harus dibayarkan negara dan individu, dari biaya kesehatan, penurunan produktivitas, serta risiko kematian dini," kata Katherine.

 


NERACA

Jakarta - Centre for Research Energy and Clear Air (CREA) menyebut pemerintah perlu memberlakukan polluter pays atau kewajiban membayar biaya pengendalian polusi bagi pelaku usaha terkait dengan polusi udara yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Jawa Barat dan Banten.

Analis CREA Katherine Hasan mengatakan, pemerintah atau negara mempunyai kuasa untuk mencegah pelepasan polusi berbahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat. "Pemerintah bisa memberlakukan prinsip polluter pays di mana pelaku harus membayar biaya pengendalian polusi serta dampak yang disebabkan oleh polusi yang dilepaskan," ujar Katherine melalui keterangan di Jakarta, Kamis.

CREA menyebut, beban ekonomi terkait polusi udara dari pengoperasian tiga PLTU berbasis batu bara di Jawa Barat dan Banten mencapai Rp13,1 triliun per tahun. Adapun ketiga PLTU tersebut yakni Cirebon 1, Pelabuhan Ratu 1-3, dan Suralaya 1-4.

Menurut CREA, biaya tersebut muncul akibat meningkatnya risiko dan insiden penyakit pernapasan, serta menurunnya produktivitas ekonomi. Sementara itu, dari sisi kematian, pengoperasian ketiga PLTU tersebut menyebabkan hingga 1.263 kematian setiap tahun.

Katherine memaparkan, beban ekonomi dari PLTU Cirebon 1 mencapai Rp4,57 triliun, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 Rp4,35 triliun, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 senilai Rp4,22 triliun. Dari sisi kematian, emisi polutan udara dari PLTU Cirebon 1 menyebabkan 441 kematian, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 mengakibatkan 421 kematian, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 menimbulkan 401 kematian.

Menurut Katherine, seiring berkembangnya perekonomian, suatu negara secara teori akan mampu menyediakan layanan kesehatan esensial yang memadai bagi warganya.

Dalam hal dampak kesehatan terkait polusi udara dari sumber emisi apapun, termasuk pembangkit listrik berbasis batu bara, dapat dikatakan semua dampak negatif terhadap kesehatan pada akhirnya membebani pembayar pajak. "Beban ini termasuk biaya yang harus dibayarkan negara dan individu, dari biaya kesehatan, penurunan produktivitas, serta risiko kematian dini," kata Katherine.

BERITA TERKAIT

HUT ke 70, Phapros Komitmen Tingkatkan Kolaborasi untuk Kesehatan Masyarakat

HUT ke 70, Phapros Komitmen Tingkatkan Kolaborasi untuk Kesehatan Masyarakat  NERACA Jakarta - PT Phapros Tbk yang merupakan bagian dari…

Polbangtan Malang dan Bupati Banyuwangi Komitmen Dampingi Petani Muda

NERACA Banyuwangi - Kementerian Pertanian RI khususnya Badan Penyuluhan dan Pengambangan SDM Pertanian (BPPSDMP) saat ini mendorong terbentuknya petani sebanyak…

Laporan Brand Footprint Indonesia 2024, Kantar Indonesia Ungkap Merek FMCG yang Paling Dipilih Konsumen

Laporan Brand Footprint Indonesia 2024, Kantar Indonesia Ungkap Merek FMCG yang Paling Dipilih Konsumen NERACA Jakarta - Kantar Indonesia, Divisi…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

HUT ke 70, Phapros Komitmen Tingkatkan Kolaborasi untuk Kesehatan Masyarakat

HUT ke 70, Phapros Komitmen Tingkatkan Kolaborasi untuk Kesehatan Masyarakat  NERACA Jakarta - PT Phapros Tbk yang merupakan bagian dari…

Polbangtan Malang dan Bupati Banyuwangi Komitmen Dampingi Petani Muda

NERACA Banyuwangi - Kementerian Pertanian RI khususnya Badan Penyuluhan dan Pengambangan SDM Pertanian (BPPSDMP) saat ini mendorong terbentuknya petani sebanyak…

Laporan Brand Footprint Indonesia 2024, Kantar Indonesia Ungkap Merek FMCG yang Paling Dipilih Konsumen

Laporan Brand Footprint Indonesia 2024, Kantar Indonesia Ungkap Merek FMCG yang Paling Dipilih Konsumen NERACA Jakarta - Kantar Indonesia, Divisi…