Oleh : Bernard Haloho, Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri)
“Capital does not need workers, so how do workers get capital?” Mostaque.
Kebijakan super agresif Trump terkait tarif membuat sebagian besar pemimpin dan masyarakat dunia dibuat menjadi histeria. Blanket policy yang dikeluarkannya tidak hanya tertuju kepada negara pesaing terbesar dan terdekat AS, yakni China dan Meksiko, namun mencakup negara-negara miskin dengan upah buruh sangat murah, seperti Laos, Kamboja, Bangladesh, dan Afrika yang mesin manufakturnya relatif sederhana memproduksi pakaian.
Bahkan sektor perdagangan yang bahan bakunya tidak ada di AS pun, seperti kopi dikenai tarif. Sehingga, pasca pengumuman 2 April lalu menciptakan kekacauan pasar modal, keuangan, komoditi, dan perdagangan dunia yang teramat mengejutkan yang membuat badai resesi dunia semakin dekat akibat perlambatan ekonomi, ketidakpastian, dan ketidakstabilan dunia. Walau ada penundaan selama 90 hari penambahan tarif, kecuali China tidak mengurangi ancaman resesi. Di AS sendiri potensi resesi semakin besar menembus 50% menurut Fitch Solutions.
Bila mengkaji strategi histeria blanket tariffs policy-nya Trump, sepertinya ada agenda jauh lebih strategis selain ekonomi. Demi mewujudkannya itu, Trump rela mengorbankan para pemilihnya yang percaya bahwa ia dapat mengendalikan masalah inflasi AS.
Awalnya, tujuan normatif kebijakan tarif mengurangi defisit perdagangan, re-industrialisasi dan pekerja AS, serta memaksa negara-negara mitra dagang membuka pasar mereka bagi produk AS, kenyataannya ada sesuatu yang sangat jauh dari itu. Mengutip yang disampaikan Sri Mulyani, kebijakan Trump membuat teori ekonomi yang dipelajari para ekonom menjadi usang dan tidak berlaku.
Menurut penulis, hidden agenda strategis Trump bertujuan :
1. Menciptakan tatanan ekonomi baru (Neo-merkantilisme bilateral) mengakhiri dominasi global lembaga-lembaga ekonomi seperti WTO, IMF, WB dll yang menurutnya melemahkan kedaulatan AS.
2. Memecah aliansi China dengan Global South.
3. Mengeksploitasi ketakutan global untuk keuntungan politik AS.
4. Mengamankan aliansi strategis teknologi dan AI dengan blok terpilih (Barat, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan).
Untuk mewujudkan agenda strategis tersebut, tidak heran bila lingkaran strategis Trump sedang berupaya merumuskan siasat strategi agar Trump dapat kembali menjadi Presiden AS di 2029, walau bertentangan dengan konstitusi. Karena menurut mereka dan Trump, perjuangan membuka roadmap agenda strategis tersebut membutuhkan satu dekade kepemimpinan yang kuat dan utuh dengan pola menciptakan histeria global terus-menerus sampai terjadi konvergensi antara visi Trump dengan ekosistem AGI dimana para oligarki teknologi global tersebut ada di kubu nya.
Ucapan Emad Mostaque viral di media sosial, terdengar sederhana, namun mengguncang fondasi relasi ekonomi modern. Pernyataan ini menyentuh inti persoalan kontemporer: ketika modal tak lagi membutuhkan pekerja untuk menghasilkan nilai, maka kelas pekerja kehilangan upah untuk bertahan hidup.
Selama berabad-abad, kapitalisme bertumpu pada kontradiksi antara buruh dan modal. Karl Marx menulis bahwa modal adalah hubungan kekuasaan, di mana pemilik modal menguasai tenaga kerja orang lain demi memperkaya dirinya. Modal adalah hasil dari kerja tak dibayar dari surplus value yang diambil dari buruh melalui eksploitasi waktu kerja mereka. Dalam struktur ini, pekerja menjual tenaga kerja kepada pemilik modal, dan sebagai gantinya memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Namun, di era otomasi dan kecerdasan buatan (AI), hubungan ini mengalami mutasi radikal. Modal kini tidak hanya dalam bentuk pabrik dan mesin, tetapi juga dalam bentuk kode, algoritma, dan data entitas digital yang mampu menciptakan nilai secara nyaris otonom. Chatbot seperti ChatGPT, Meta, Google, sistem rekomendasi Netflix, atau lini produksi otomasi Tesla tidak membutuhkan pekerja manusia dalam jumlah besar untuk tetap beroperasi dan menghasilkan keuntungan masif.
Dari AI ke AGI dan AIS: Perubahan Peradaban di tengah Persimpangan Otomasi Total
Perkembangan AI tidak berhenti pada kecerdasan sempit (narrow AI), yang terbatas pada satu tugas spesifik. Saat ini dengan hukum percepatan, perkembangan AI yang dobel eksponensial (Mo Gawdat, 2025) tren global saat ini menurutnya sudah mengarah memasuki era pengembangan AGI (Artificial General Intelligence) dimana kemampuan AI dari tools menjadi agen hingga entitas otonom kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan berpikir, belajar, dan memecahkan masalah setara (atau bahkan melampaui) manusia.
Maka, mantan CEO Google Eric Schmidt memprediksi kedepan pemenang Nobel nantinya mungkin AI, seperti yang terjadi pada Demis Hannabis peraih Nobel kimia 2024 yang berkolaborasi dengan AI — AlphaFold2.
Menurut prediksi futuris seperti Ray Kurzweil pada 1999, AGI akan muncul pada tahun 2029. Saat ia memprediksi, hampir 80 persen ilmuwan komputer ternama meragukannya saat itu, berbeda dengan saat ini, ia dianggap konservatif oleh Elon Musk yang yakin AGI terjadi di 2026.
Dengan tibanya ekosistem AGI, membentang jalan luas menuju AIS (Artificial Intelligence Super), bertepatan dengan Singularity — momen di mana kecerdasan buatan melampaui kemampuan kolektif umat manusia pada tahun 2045.
Dengan dimulainya memasuki era AGI, di mana sistem AI tidak lagi berdiri sendiri, tetapi terhubung secara menyeluruh, saling belajar, dan bertindak secara kolektif dalam skala planet. Ini bukan lagi soal satu robot menggantikan satu pekerja, melainkan tentang seluruh infrastruktur produksi dan sosial yang dijalankan oleh sistem non-manusia.
Ambisi ini sudah terlihat dalam rencana perusahaan seperti Figure AI, yang didirikan oleh Brett Adcock. Dalam sebuah wawancara, Adcock menyatakan setelah sukses melakukan kontrak dengan pabrik besar BMW, Figure AI pada Maret 2025 akan melakukan kontrak dengan 50 perusahaan yang masuk di Fortune 100 (Adcock, 2025). Ia memprediksi bahwa pada 2040, akan ada sekitar 10 miliar humanoid di seluruh dunia — jumlah yang bahkan melampaui populasi manusia. Robot-robot ini dirancang untuk menjadi pekerja universal: merakit, memasak, mengajar, bahkan merawat orang tua. Korporasi akan menggantikan seluruh spektrum kerja manusia dalam sistem kapitalistik yang ultra-otomasi.
Metamorfosa Kelas Pekerja: Dari Produsen ke Penonton
AGI dan robotika menjadi relasi baru dalam industri otomasi. Ia berkembang dalam konteks kapitalisme global yang berorientasi pada efisiensi, akumulasi, dan profit. Alih-alih membebaskan manusia dari kerja keras, AGI justru untuk mengurangi bahkan menghilangkan peran pekerja, memangkas biaya produksi, dan memperbesar margin laba.
Jika AGI dan humanoid mengambil alih fungsi kerja manusia, maka kelas pekerja kehilangan posisi sentralnya dalam sistem produksi. Tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan akses terhadap sumber daya yang hanya bisa diperoleh melalui kerja — yakni upah, jaminan sosial, dan modal.
Lebih buruk lagi, kepemilikan atas teknologi AI dan robotika tidak dimiliki secara kolektif, melainkan terkonsentrasi di tangan korporasi big tech. Di sinilah muncul bentuk baru dari teknofeodalisme — fase baru pasca-kapitalisme.
Modal, AGI, UBI, dan Politik Teknologi Arus Bawah : Mencegah Fase Dystopia
Di tengah utang global yang menggunung dengan pertumbuhan GDP dunia terbatas, sulit negara-negara besar dapat mengatasi persoalan tersebut hanya dengan pendekatan normal dan konvensional. Dibutuhkan terobosan yang radikal agar dapat mendongkrak signifikan pertumbuhan GDP dunia. Banyak kalangan, termasuk Nouriel Roubini yang optimis kemajuan AI menjadi solusi dari persoalan tersebut. Karena kemampuan AI/AGI akan meningkatkan berlipat-lipat pendapatan korporasi. Kemajuan AGI juga akan menciptakan banyak inovasi termasuk di sektor energi — fase AGI menjadi abundance era.
Namun, bayangkan dalam prosesnya itu dilakukan, bagaimana reaksi masyarakat dunia menghadapi rencana utopia korporasi big tech yang waktunya tidak lama lagi. Bila kebijakan tarif Trump saja sudah menciptakan tsunami di pasar global, tentunya roadmap utopia korporasi akan jauh lebih dahsyat mengerikan dampaknya sebelum menjadi sempurna.
Sementara wacana solusi seperti Universal Basic Income (UBI)/Bantuan Sosial di semua negara di dunia atau robot tax sering muncul sebagai respons terhadap ancaman AI dikalangan terbatas para pemimpin dunia. Namun solusi tersebut tetap berada dalam kerangka teknofeodalisme — membiarkan para oligarki mengatur ulang distribusi hasilnya.
Dari perspektif kiri, yang dibutuhkan bukan sekadar redistribusi pasca-produksi, tetapi reklaim atas produksi itu sendiri. Namun untuk menghadapi tantangan skala AGI dan 10 miliar humanoid, dibutuhkan politik teknologi yang jauh lebih radikal dan kepemimpinan politik yang kuat, tangguh, berwawasan, kreatif dan keberpihakan kepada rakyatnya —- dalam sistem teknofeodalisme, kepemimpinan politik yang mampu menempatkan manusia — bukan laba — sebagai pusat peradaban.
Penutup
Ketidakpastian dan ketidakstabilan dunia akan terus berlangsung dan eskalatif yang disertai dengan histeria global untuk menuju pada titik sejarah baru manusia. Perang konvensional dan perang dagang menjadi salah dua trigger keras dan cepat memancing hiper reaksi global, sedangkan kemajuan teknologi tinggi dengan kecepatan dobel eksponensial seperti AI tidak terelakan merubah peradaban.
Memang perubahan yang dibuat oleh AI berjalan smooth dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sepertinya menyenangkan, namun bila tidak diantisipasi dengan bijak oleh Para Pemimpin Negara, maka sekali lagi AI/AGI seperti Juggernaut di abad 21 bila mengutip metafora Anthony Giddens, ia akan merubah total dan radikal landskap dunia menuju peradaban baru.
Neraca, Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menegaskan komitmennya dalam mendorong pemberdayaan perempuan,…
Keterangan Foto : VP General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan bahwa pendekatan kolaboratif terintegrasi melalui skema PJL (Pembayaran…
Pengunjung menyaksikan penampilan tari Ratoh Jaroe saat berwisata di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, pada libur panjang Jumat Agung-Paskah,…
Neraca, Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menegaskan komitmennya dalam mendorong pemberdayaan perempuan,…
Keterangan Foto : VP General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan bahwa pendekatan kolaboratif terintegrasi melalui skema PJL (Pembayaran…
Pengunjung menyaksikan penampilan tari Ratoh Jaroe saat berwisata di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, pada libur panjang Jumat Agung-Paskah,…