Oleh: Heru Cahyono, Widyaiswara Ahli Madya BDK Makassar *)
Indonesia dianggap memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Menurut laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) tahun 2023, cadangan nikel Indonesia sebesar 55 juta metrik ton dari 130 juta metrik ton cadangan nikel global pada tahun tersebut, yang menunjukkan bahwa cadangan nikel Indonesia mencapai 42,3% dari total cadangan global. Selain itu, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia menguasai sekitar 40%-45% cadangan nikel global pada tahun 2023.
Sebagai komoditas strategis, nikel dapat membantu pertumbuhan ekonomi, terutama selama transisi ke energi terbarukan. Oleh sebab itu, pemerintah telah memutuskan untuk membangun industri nikel sebagai salah satu komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi dan perjuangan untuk mengatasi kemiskinan.
Ekspor non-migas Indonesia sebagian besar bergantung pada industri nikel. Ekspor produk nikel Indonesia meningkat signifikan dari USD 3,3 miliar pada tahun 2017 menjadi USD 20,8 miliar pada tahun 2021. Lonjakan ini adalah hasil dari kebijakan pemerintah tahun 2020 yang melarang ekspor bijih nikel mentah, mendorong industri hilir seperti pembuatan baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik. Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa investasi di sektor hilir nikel mencapai Rp 300 triliun pada tahun 2022, yang akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah produk nikel.
Hilirisasi industri nikel telah meningkatkan ekonomi nasional. Royalti nikel telah menghasilkan peningkatan delapan kali lipat dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), meningkat dari Rp531 miliar pada tahun 2015 menjadi Rp4,18 triliun pada Mei 2022. Selain itu, pada tahun 2024, Indonesia akan menjadi pemain dominan di pasar global dengan menguasai 61% produksi nikel olahan.
Meskipun nikel memainkan peran besar dalam pendapatan negara, masyarakat belum merasakan manfaatnya secara merata, terutama di wilayah yang menghasilkan nikel. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa kemiskinan masih tinggi di wilayah yang kaya akan nikel dan sumber daya alam lainnya?
Ironi Kemiskinan
Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah penghasil nikel meningkat, meskipun kontribusi ekonomi makro positif. Sebagai contoh, ekonomi Maluku Utara tumbuh lebih dari 20% pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi tertinggi di secara nasional. Namun, jumlah orang miskin meningkat dari 79.870 pada Maret 2022 menjadi 83.800 pada Maret 2023. Demikian pula, tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah meningkat dari 12,30% menjadi 12,41% pada periode yang sama.
Menurut data tahun 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Sulawesi Tenggara mencapai 12,5%, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 9,5%. Misalnya, meskipun ada banyak cadangan nikel di Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara, tingkat kemiskinan masih 15%, meskipun investasi di sektor nikel telah mencapai triliunan rupiah.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya "paradoks sumber daya", terjadi ketika kesejahteraan masyarakat lokal tidak berkorelasi positif dengan ketersediaan sumber daya alam.
Penyebab Paradoks Sumber Daya
Paradoks sumber daya yang terjadi di daerah-daerah penghasil nikel ini disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, ketimpangan dalam distribusi manfaat. Banyak perusahaan tambang dimiliki oleh orang asing, sehingga keuntungan lebih banyak mengalir keluar daripada masuk ke dalam rekening masyarakat lokal. Perusahaan besar mendapatkan lebih banyak keuntungan dari industri nikel, sementara masyarakat lokal hanya menerima sedikit manfaat. Sehingga, hanya sebagian kecil royalti nikel yang kembali ke daerah penghasil. Selain itu, penduduk setempat seringkali tidak memiliki keterampilan khusus yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan, yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara optimal dalam industri ini.
Kedua, rendahnya keterlibatan masyarakat lokal. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal tidak berpartisipasi dalam proses produksi dan pengolahan nikel. Mereka hanya menjadi penonton, sementara orang dari luar daerah dipekerjakan sebagai manajer dan ahli.
Ketiga, kerusakan lingkungan. Pertambangan nikel seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya lahan pertanian. Ini mengurangi kesejahteraan orang-orang di daerah tersebut yang bergantung pada sektor pertanian dan perikanan sebagai sumber kehidupan mereka.
Keempat, kurangnya infrastruktur dan akses pendidikan. Daerah yang menghasilkan nikel seringkali tidak memiliki infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih. Selain itu, terbatasnya akses ke pendidikan membuat masyarakat sulit bersaing di industri yang sangat membutuhkan keterampilan.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan rencana yang komprehensif agar masyarakat lokal mendapatkan keuntungan dari industri nikel secara merata. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif di daerah penghasil nikel antara lain:
Pertama, meningkatkan penerimaan royalti nikel daerah dalam rangka menaikkan kapasitas fiskal daerah. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengusulkan skema khusus Dana Bagi Hasil (DBH) untuk nikel. Berdasarkan undang-undang saat ini, daerah menerima 80% dari PNBP sumber daya alam (SDA). Royalti ini kemudian dibagi lagi antara provinsi (16%), kabupaten/kota penghasil (32%), dan kabupaten/kota lain di provinsi (32%). Untuk DBH nikel prosentase pembagiannya bisa diusulkan untuk dinaikkan, dikecualikan dari proporsi DBH SDA secara umum yang sudah diatur di undang-undang. Selain bergantung pada royalti dan DBH, daerah dapat mengoptimalkan pendapatannya dengan menggunakan instrumen pajak dan retribusi daerah seperti: pajak air permukaan untuk perusahaan tambang; pajak untuk izin usaha; dan pajak untuk perizinan lingkungan dan jasa lainnya yang terkait dengan tambang.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk mendorong kapasitas fiskal daerah adalah dengan mewajibkan perusahaan tambang berbasis di daerah. Banyak perusahaan tambang membayar pajak dan melakukan transaksi keuangan di luar daerah tempat mereka beroperasi. Daerah dapat menerapkan kebijakan agar perusahaan mendaftarkan kantor pusat atau perwakilannya di daerah penghasil, sehingga pajak daerah yang diterima meningkat.
Selanjutnya daerah dapat mengusulkan mekanisme transparansi untuk memantau apakah mereka menerima porsi nikel PNBP yang seharusnya.Pemerintah juga dapat mempromosikan inisiatif transparansi industri tambang (Extractive Industries Transparency Initiative) di Indonesia untuk meningkatkan transparansi penerimaan negara dan daerah dari sektor tambang. Langkah-langkah tersebut adalah upaya untuk memperbesar royalti yang diterima daerah. Harapannya ketimpangan distribusi manfaat tambang nikel bagi daerah penghasil bisa diperbaiki.
Kedua, mendorong keterlibatan masyarakat lokal. Pemerintah dan bisnis harus memprioritaskan pemberdayaan masyarakat lokal melalui program pendidikan dan pelatihan. Misalnya, perusahaan nikel melalui program CSR nya dapat menawarkan program vokasi untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga mereka dapat bekerja di industri tersebut.
Ketiga, pembangunan infrastruktur dasar. Pemerintah perlu mendorong kewajiban sosial perusahaan (CSR) yang lebih besar, untuk membangun infrastruktur di daerah penghasil nikel. Mengoptimalkan program CSR perusahaan tambang untuk membantu pembangunan daerah dengan membangun infrastruktur publik, pendidikan, dan kesehatan. Infrastruktur yang memadai akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Keempat, penerapan green mining. Perusahaan nikel harus menerapkan praktik pertambangan yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem. Selain itu, reklamasi lahan pascatambang harus dilakukan secara serius untuk mengembalikan fungsi lahan bagi masyarakat.
Kelima, pengembangan industri hilir lokal. Pemerintah perlu mendorong pengembangan industri hilir nikel di daerah penghasil. Misalnya, pembangunan pabrik pengolahan nikel skala kecil yang melibatkan masyarakat lokal dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah.
Kesimpulan
Industri nikel Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk membantu masyarakat keluar dari kemiskinan. Ini, bagaimanapun, hanya dapat dicapai jika keuntungan industri tersebut didistribusikan secara merata. Indonesia dapat memastikan bahwa kekayaan nikel akan bermanfaat bagi semua orang, bukan hanya sekelompok orang tertentu, dengan membangun infrastruktur, meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal, dan menerapkan praktik pertambangan yang berkelanjutan. Selain mengurangi kemiskinan, tindakan ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. *) Artikel ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Melati Cahaya Ramadhani, Pemerhati Kebijakan Publik Pemerintah terus berupaya mengatasi dampak banjir yang melanda kawasan Jabodetabek dengan…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah melalui Pertamina terus berkomitmen untuk menjaga…
Oleh: Karina Dzikra, Pengamat Ekonomi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi sektor ekonomi kreatif yang…
Oleh: Melati Cahaya Ramadhani, Pemerhati Kebijakan Publik Pemerintah terus berupaya mengatasi dampak banjir yang melanda kawasan Jabodetabek dengan…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah melalui Pertamina terus berkomitmen untuk menjaga…
Oleh: Karina Dzikra, Pengamat Ekonomi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi sektor ekonomi kreatif yang…