Jakarta-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Direktorat Jenderal Migas ESDM untuk melakukan pemeriksaan ulang kualitas BBM Pertamina yang beredar di pasaran. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengritik sanggahan PT Pertamina (Persero) soal tidak adanya Pertamax oplosan dalam bahan bakar minyak (BBM) yang mereka jual. Menurut LBH Jakarta, Pertamina belum memberi bukti yang jelas dalam bantahan tersebut.
NERACA
Hal ini diperlukan untuk memastikan ada tidaknya penyimpangan dari standar kualitas BBM yang telah ditetapkan pemerintah, apakah masih on spec atau memang ada masalah dengan produknya.
Pengurus harian YLKI Agus Sujatno mengatakan, pihaknya juga mendesak Dirjen Migas untuk mengumumkan hasil reguler inspeksi pemeriksaan terkait kualitas BBM produk PT Pertamina (Persero). "Terutama yang selama ini dilakukan apakah ada temuan penyimpangan atau sebaliknya. Ini penting agar konsumen mendapatkan informasi yang menyeluruh, akurat, dan konkret," ujar Sujatno seperti dikutip Tribunnews.com, Jumat (28/2).
Dalam konteks ini, menurut dia, konsumen bisa melakukan gugatan class action. Di Undang Undang Perlindungan Konsumen dikenal istilah pembuktian terbalik," tutur Sujatno.
Dengan demikian dalam kasus BBM blending ini, kata Sujatno, PT Pertamina yang harus membuktikan bahwa produk mereka sesuai dengan standar. Dalam proses uji pembuktian diperlukan pihak ketiga independen. "Dampak yang paling bahaya adalah degradasi trust masyarakat. Ini akan sulit dikembalikan tanpa ada pembuktian terhadap standar kualitas dengan melibatkan pihak independen," ujar Sujatno.
Secara terpisah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengritik sanggahan PT Pertamina (Persero) soal tidak adanya Pertamax oplosan dalam bahan bakar minyak (BBM) yang mereka jual. Menurut Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan, Pertamina belum memberi bukti yang jelas dalam bantahan tersebut.
Fadhil mengatakan Pertamina tidak bisa asal menyampaikan klarifikasi atau sanggahan begitu saja. "Keresahan warga semakin besar lantaran pihak Pertamina menyampaikan sanggahan-sanggahan terhadap polemik ini tanpa disertai bukti yang jelas dan akurat," kata Fadhil melalui keterangan tertulisnya, Jumat (28/2).
Fadhil berujar sanggahan tersebut tidak valid tanpa menyertakan bukti atas tidak adanya Pertamax oplosan yang beredar di masyarakat. Pertamina, kata dia, belum cukup transparan menyampaikan proses produksi BBM mereka.
Maka dari itu, Fadhil mendorong agar ada pemeriksaan terhadap praktik produksi BBM yang dilakukan Pertamina. Dia menyebut pemeriksaan itu harus dilakukan tim independen yang terjamin integritasnya.
Tim itu, kata Fadhil, patut diisi oleh para ahli dan melibatkan partisipasi masyarakat. "Dengan pemeriksaan tersebut, harapannya, ditemukan fakta-fakta kredibel yang dapat dipercaya oleh masyarakat," ucap dia.
Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menetapkan 9 (sembilan) tersangka kasus impor minyak. Usai meringkus tiga Direktur Utama Sub Holding PT Pertamina dan empat orang lainnya, Kejagung menetapkan dua bos PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka baru kasus ini. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.
Sementara itu, tersangka dari subholding PT Pertamina mencakup Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Para tersangka korupsi Pertamina ini diduga melakukan blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka diduga membeli RON 90 atau lebih rendah, namun mengaku membeli RON 92. Kemudian RON 90 itu dioplos atau blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.
Pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.
“Baik yang dari luar negeri maupun yang dari dalam negeri, itu kita sudah menerima dalam bentuk RON 92. Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel, artinya belum ada aditif. Jadi Pertamina Patra Niaga itu mengelola dari terminal sampai ke SPBU,” ujar Mars Ega, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (26/2).
Perihal blending Ron 90 (pertalite) menjadi Ron 92 (pertamx) oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN), kejaksaan mengatakan fakta hukum yang mereka temukan adalah blending BBM dilakukan oleh pihak swasta, bukan Badan Usaha Milik Negara. Hal inilah yang disebut menyalahi aturan. “Dari sisi prosesnya, ini masuk ke depo yang seharusnya bukan depo yang melakukan pengolahan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar, Jumat (28/2).
Proses Blending
Temuan penyidik kejaksaan, proses blending itu dilakukan oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten. Perusahaan swasta itu milik tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza. PT OTM berperan menampung dan memblending BBM yang diimpor PT PPN. Padahal proses blending harusnya dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI). Harli juga menegaskan jika PT OTM kapasitasnya hanya sebagai penyimpanan. Soal apakah dalam proses blending diperbolehkan mengubah Ron, Harli mengatakan kejaksaan akan memanggil ahli untuk memberikan kejelasan perihal itu.
Temuan dugaan tindak pidana lainnya adalah dalam proses impor minyak yang dilakukan oleh PT PPN, ditemukan bahwa pemesanan yang dilakukan adalah Ron 92, namun yang datang lebih rendah. “Fakta hukum bahwa PT PPN melakukan pembayaran terhadap RON 92 berdasarkan price list. Sementara barang yang masuk atau minyak yang masuk itu adalah RON 88 atau Ron 90,” ujar Harli.
Kejaksaan telah menetapkan 9 tersangka atas kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023. Dari 9 tersangka, 6 merupakan pejabat di Sub Holding Pertamina, sedangkan 3 lainnya broker dari swasta.
Selain dugaan tindak pidana di atas, kejaksaan juga menemukan adanya kongkalikong antara Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sengaja menghindari proses penawaran minyak mentah. Hal itu menyalahi regulasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018.
Kejaksaan juga menemukan adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Mark up itu dilakukan saat pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang. bari/mohar/fba
Buruh Siap Selamatkan Sektor Riil dari Badai PHK Jakarta – Ribuan buruh dari Jabotabek yang tergabung dalam KSPI dan…
NERACA Bandung - Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menekankan bahwa program Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak…
Jakarta-Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan bahwa rencana aturan plain packaging ini akan menghilangkan semua…
Buruh Siap Selamatkan Sektor Riil dari Badai PHK Jakarta – Ribuan buruh dari Jabotabek yang tergabung dalam KSPI dan…
NERACA Bandung - Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menekankan bahwa program Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak…
Jakarta-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Direktorat Jenderal Migas ESDM untuk melakukan pemeriksaan ulang kualitas BBM Pertamina yang beredar…