Antisipasi Dampak Kemenangan Trump ke Indonesia

Antisipasi Dampak Kemenangan Trump ke Indonesia 
NERACA
Jakarta - Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) diselenggarakan pada hari Selasa (5/11) waktu AS, diikuti dua kandidat, yakni Donald Trump dan Kamala Harris. Trump mendeklarasikan kemenangannya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 pada Rabu (6/11) pagi waktu setempat, seiring proyeksi Fox News yang menyampaikan bahwa Trump meraih 277 suara elektoral (electoral college). Sedikitnya 270 suara elektoral dibutuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan AS.
Meskipun belum ada keputusan resminya, namun Indonesia diminta untuk mengantisipasi dampak dari kemenangan Donald Trumps sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) terhadap keamanan kawasan di Asia Pasifik. Menurut Eks Ketua Komisi I DPR Mahfuz Sidik, Trump memiliki keinginan kuat untuk melemahkan China, tidak hanya sekedar melakukan perang dagang AS-China atau hubungan bilateral kedua negara saja. "Sehingga tidak bisa dipahami hanya sebatas konflik bilateral antar dua negara antara Amerika dengan China saja, tapi ada pola-pola konflik lain yang sangat mungkin digunakan untuk melemahkan China," kata Mahfuz Sidik dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (7/11).
Dia pun mengingatkan dampak langsung dari konflik bilateral antara AS-China tersebut terhadap Indonesia. "Kalau Amerika ingin melemahkan China, maka pihak-pihak yang ikut membesarkan China atau berafiliasi dengan China juga akan terdampak, seperti Indonesia yang dipersepsikan dalam investasinya lebih condong ke China," ujarnya.
Dia menilai ketegangan di kawasan Asia Pasifik bisa saja menunjukkan peningkatan eskalasi dengan munculnya titik "hotspot baru" perang di kawasan Asia Pasifik usai Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS. "Kita tidak ingin kawasan Asia Pasifik menjadi hotspot baru, medan tempur baru negara adidaya. Ketegangan domestik ini, tentu saja akan menyulitkan Indonesia ke depannya. Nah, ini yang memang perlu kita antisipasi agar Indonesia tidak menjadi collateral damage," tuturnya.
Selain itu, dia menilai kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS juga membawa konsekuensi bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah, terutama kelanjutan kemerdekaan Palestina. Terlebih, lanjut dia, masyarakat muslim di AS, terutama dari etnis Arab, secara terang-terangan telah memberikan suaranya ke Kamala Harris dan mendukung negara Palestina. Adapun Donald Trump diketahui cenderung membela Israel.
Untuk itu, dia mengingatkan Indonesia harus mampu merespons situasi tersebut dengan memperkuat pola kerja sama yang tidak bersandar pada satu kerja sama saja, melainkan harus banyak alternatif. "Kita mengapresiasi Presiden Prabowo sudah mulai melakukan gebrakan. Langkah diplomasinya diberbagai forum, mudah-mudahan dapat mempercepat kemerdekaan Palestina," kata dia.
Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) mengatakan ada kekhawatiran komunitas internasional bahwa Donald Trump, yang diproyeksikan menang dalam Pemilu AS, akan dapat meruntuhkan sistem multilateral jika menjadi presiden baru negara adidaya itu. "Sekarang sebetulnya sudah lemah. Tapi kalau Trump terpilih nanti akan menjadi lebih lemah lagi," kata Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Andrew W Mantong.
Menurut Andrew, kemungkinan runtuhnya sistem multilateral tersebut dikhawatirkan akan terjadi karena Trump dinilai akan cenderung melakukan pendekatan bilateral dan transaksional. Bagi Indonesia, kabar tersebut, menurutnya, akan menjadi kabar buruk karena sejauh ini diplomasi Indonesia banyak bertumpu pada multilateralisme dan regionalisme.
Senada dengan Andrew, Shafiah F. Muhibat, yang merupakan Wakil Direktur Eksekutif untuk Penelitian CSIS, juga menegaskan kekhawatiran tersebut. "Seperti yang kita lihat pengalaman dari 2016-2020, dan beberapa retorika yang dikatakannya selama kampanye, itu sepertinya beliau akan menjauh dari multilateralisme," katanya.
Kekhawatiran itu dibuktikan dari keinginan Trump untuk mengeluarkan AS dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ketika dia menjadi sebagai Presiden AS pada periode 2017-2021. AS juga mundur dari Perjanjian Iklim Paris pada 2017 di bawah kepemimpinan Donald Trump. "Jika satu negara adidaya kemudian pelan-pelan meninggalkan multilateralisme, itu seharusnya menjadi concern besar untuk negara seperti Indonesia karena multilateralisme itu adalah bagian penting dari kebijakan luar negeri kita," katanya.

 

 

NERACA

Jakarta - Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) diselenggarakan pada hari Selasa (5/11) waktu AS, diikuti dua kandidat, yakni Donald Trump dan Kamala Harris. Trump mendeklarasikan kemenangannya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 pada Rabu (6/11) pagi waktu setempat, seiring proyeksi Fox News yang menyampaikan bahwa Trump meraih 277 suara elektoral (electoral college). Sedikitnya 270 suara elektoral dibutuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan AS.

Meskipun belum ada keputusan resminya, namun Indonesia diminta untuk mengantisipasi dampak dari kemenangan Donald Trumps sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) terhadap keamanan kawasan di Asia Pasifik. Menurut Eks Ketua Komisi I DPR Mahfuz Sidik, Trump memiliki keinginan kuat untuk melemahkan China, tidak hanya sekedar melakukan perang dagang AS-China atau hubungan bilateral kedua negara saja. "Sehingga tidak bisa dipahami hanya sebatas konflik bilateral antar dua negara antara Amerika dengan China saja, tapi ada pola-pola konflik lain yang sangat mungkin digunakan untuk melemahkan China," kata Mahfuz Sidik dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (7/11).

Dia pun mengingatkan dampak langsung dari konflik bilateral antara AS-China tersebut terhadap Indonesia. "Kalau Amerika ingin melemahkan China, maka pihak-pihak yang ikut membesarkan China atau berafiliasi dengan China juga akan terdampak, seperti Indonesia yang dipersepsikan dalam investasinya lebih condong ke China," ujarnya.

Dia menilai ketegangan di kawasan Asia Pasifik bisa saja menunjukkan peningkatan eskalasi dengan munculnya titik "hotspot baru" perang di kawasan Asia Pasifik usai Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS. "Kita tidak ingin kawasan Asia Pasifik menjadi hotspot baru, medan tempur baru negara adidaya. Ketegangan domestik ini, tentu saja akan menyulitkan Indonesia ke depannya. Nah, ini yang memang perlu kita antisipasi agar Indonesia tidak menjadi collateral damage," tuturnya.

Selain itu, dia menilai kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS juga membawa konsekuensi bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah, terutama kelanjutan kemerdekaan Palestina. Terlebih, lanjut dia, masyarakat muslim di AS, terutama dari etnis Arab, secara terang-terangan telah memberikan suaranya ke Kamala Harris dan mendukung negara Palestina. Adapun Donald Trump diketahui cenderung membela Israel.

Untuk itu, dia mengingatkan Indonesia harus mampu merespons situasi tersebut dengan memperkuat pola kerja sama yang tidak bersandar pada satu kerja sama saja, melainkan harus banyak alternatif. "Kita mengapresiasi Presiden Prabowo sudah mulai melakukan gebrakan. Langkah diplomasinya diberbagai forum, mudah-mudahan dapat mempercepat kemerdekaan Palestina," kata dia.

Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) mengatakan ada kekhawatiran komunitas internasional bahwa Donald Trump, yang diproyeksikan menang dalam Pemilu AS, akan dapat meruntuhkan sistem multilateral jika menjadi presiden baru negara adidaya itu. "Sekarang sebetulnya sudah lemah. Tapi kalau Trump terpilih nanti akan menjadi lebih lemah lagi," kata Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Andrew W Mantong.

Menurut Andrew, kemungkinan runtuhnya sistem multilateral tersebut dikhawatirkan akan terjadi karena Trump dinilai akan cenderung melakukan pendekatan bilateral dan transaksional. Bagi Indonesia, kabar tersebut, menurutnya, akan menjadi kabar buruk karena sejauh ini diplomasi Indonesia banyak bertumpu pada multilateralisme dan regionalisme.

Senada dengan Andrew, Shafiah F. Muhibat, yang merupakan Wakil Direktur Eksekutif untuk Penelitian CSIS, juga menegaskan kekhawatiran tersebut. "Seperti yang kita lihat pengalaman dari 2016-2020, dan beberapa retorika yang dikatakannya selama kampanye, itu sepertinya beliau akan menjauh dari multilateralisme," katanya.

Kekhawatiran itu dibuktikan dari keinginan Trump untuk mengeluarkan AS dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ketika dia menjadi sebagai Presiden AS pada periode 2017-2021. AS juga mundur dari Perjanjian Iklim Paris pada 2017 di bawah kepemimpinan Donald Trump. "Jika satu negara adidaya kemudian pelan-pelan meninggalkan multilateralisme, itu seharusnya menjadi concern besar untuk negara seperti Indonesia karena multilateralisme itu adalah bagian penting dari kebijakan luar negeri kita," katanya.

BERITA TERKAIT

Indonesia dan Hungaria Bahas Tantangan Keutamaan Siber dari Serangan Malware

  NERACA Jakarta – Kedutaan Besar Hungaria dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk…

LPEI Beri Pinjaman untuk Ekspansi Richeese Factory di Malaysia

LPEI Beri Pinjaman untuk Ekspansi Richeese Factory di Malaysia NERACA Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan pembiayaan luar…

Peluncuran Danantara Diundur, Presiden Ingin Dilakukan dengan Hati-Hati

Peluncuran Danantara Diundur, Presiden Ingin Dilakukan dengan Hati-Hati NERACA Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan bahwa Presiden…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Indonesia dan Hungaria Bahas Tantangan Keutamaan Siber dari Serangan Malware

  NERACA Jakarta – Kedutaan Besar Hungaria dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk…

LPEI Beri Pinjaman untuk Ekspansi Richeese Factory di Malaysia

LPEI Beri Pinjaman untuk Ekspansi Richeese Factory di Malaysia NERACA Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan pembiayaan luar…

Peluncuran Danantara Diundur, Presiden Ingin Dilakukan dengan Hati-Hati

Peluncuran Danantara Diundur, Presiden Ingin Dilakukan dengan Hati-Hati NERACA Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan bahwa Presiden…