Tarif PPN 12% Tahun Depan, Mungkinkah Diubah?

Tarif PPN 12% Tahun Depan, Mungkinkah Diubah?
Oleh: Zehan, Asisten Penyuluh Pajak KPP Pratama Medan Petisah 
Tepat pada 1 April 2022 lalu pemerintah secara resmi telah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11%. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% pada April 2022 dan akan menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
PPN merupakan salah satu penyumbang terbesar pada penerimaan pajak. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kontribusi PPN dari total penerimaan pajak neto adalah sebesar 36% pada tahun 2021, 35% pada tahun 2022, dan 25,5% pada tahun 2023.
Seperti yang kita ketahui PPN merupakan pajak yang dikenakan atas nilai tambah dari suatu Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikonsumsi di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. Namun sering kali masyarakat keliru mengira beberapa pajak daerah sama dengan PPN, contohnya ketika kita makan di restoran. Pajak yang kita lihat di tagihan pembayaran bukan PPN melainkan pajak daerah. Hal ini dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Tidak semua BKP atau JKP dikenakan PPN. Terdapat beberapa BKP/JKP yang masuk ke dalam negative list misalnya barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, susu, daging, sayuran dan lainnya. Jasa medis, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan beberapa jasa lainnya juga dibebaskan dari PPN.
Kenaikan PPN selama 2 tahun belakangan telah memengaruhi harga barang dan jasa. Hal ini berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Belum lagi sejak pandemi Covid-19 daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya.
Kegelisahan kenaikan PPN ternyata juga dirasakan oleh para pelaku usaha. Mereka berpendapat ketertarikan konsumen terutama terhadap barang dan jasa selain kebutuhan pokok mengalami penurunan saat ini. 
Berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan sesuai dengan tingkatan penghasilan. PPh dikenakan setelah memperhitungkan untung atau rugi usaha. Tarifnya pun berbeda, semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi tarifnya. Namun tidak dengan PPN. PPN dikenakan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang tanggungan atapun penghasilan orang pribadi atau badan usaha.
Tarif PPN di Indonesia saat ini merupakan tarif PPN kedua tertinggi di negara-negara Asia Tenggara. Hanya berselisih 1% dari Filipina yang mengenakan PPN sebesar 12%. Dengan kenaikan PPN di Indonesia tahun depan, dikhawatirkan harga produk lokal akan sulit bersaing dengan barang-barang impor.
Meskipun dalam UU HPP sudah disebutkan bahwa tarif PPN 12% diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025, tidak menutup kemungkinan jika tarif tersebut diubah atau kenaikannya diundur. Hal ini dikarenakan pasal 7 ayat (3) UU HPP menyebutkan bahwa tarif PPN tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Pemerintahan baru yang akan berganti di Oktober nanti juga mungkin saja membuat kebijakan baru terkait hal ini. Presiden terpilih 2024 memiliki andil besar dalam implementasi kenaikan PPN tersebut. Mengutip CNBCIndonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa meski sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR, kenaikan ini masih berpotensi diubah. “PPN 12% sudah dibahas ini juga termasuk fatsun politik UU HPP yang kita semua bahas udah setuju namun kita hormati pemerintah baru,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI di gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (19/03/2024).
Kondisi Perekonomian
Pemerintah diharapkan melakukan kajian menyeluruh terkait rencana kenaikan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh aspek, bukan hanya pendapatan negara namun juga kondisi perekomian negara terutama daya beli masyarakat dan tingkat inflasi.
Harga-harga komoditas perlu terus dipantau, terutama pangan dan energi, serta mempersiapkan beberapa kebijakan dalam menjaga konsumsi masyarakat. Kenaikan upah juga bisa menjadi salah satu alternatif mengingat PPN dikenakan dengan tarif yang sama tanpa memandang subjeknya berpenghasilan tinggi atau rendah.
PPN multi tarif juga bisa dipertimbangkan untuk diadaptasi seperti beberapa negara lain. Di Indonesia sudah ada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) namun sesuai namanya hal itu hanya diperuntukkan bagi barang-barang mewah seperti mobil mewah, rumah mewah, kapal pesiar, dll. India merupakan salah satu negara yang menerapkan PPN multi tarif. Barang-barang yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dapat dikenakan PPN dengan tarif yang berbeda dengan barang yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat pada umumnya, seperti sabun, deterjen, pulsa, dll.
Namun apapun keputusannya pastilah pemerintah telah memikirkan dan menimbang baik buruknya sebuah kebijakan. Hal baik yang bisa kita ambil jika PPN menjadi 12% adalah misalnya bisa mengurangi  konsumsi seseorang atas barang atau jasa yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Pemerintah juga dapat mengumpulkan penerimaan negara lebih banyak dari pajak yang nantinya juga akan digunakan kembali untuk pembangunan berkelanjutan dan kepentingan masyarakat.

 

Oleh: Zehan, Asisten Penyuluh Pajak KPP Pratama Medan Petisah

 

Tepat pada 1 April 2022 lalu pemerintah secara resmi telah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11%. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% pada April 2022 dan akan menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

PPN merupakan salah satu penyumbang terbesar pada penerimaan pajak. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kontribusi PPN dari total penerimaan pajak neto adalah sebesar 36% pada tahun 2021, 35% pada tahun 2022, dan 25,5% pada tahun 2023.

Seperti yang kita ketahui PPN merupakan pajak yang dikenakan atas nilai tambah dari suatu Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikonsumsi di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. Namun sering kali masyarakat keliru mengira beberapa pajak daerah sama dengan PPN, contohnya ketika kita makan di restoran. Pajak yang kita lihat di tagihan pembayaran bukan PPN melainkan pajak daerah. Hal ini dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Tidak semua BKP atau JKP dikenakan PPN. Terdapat beberapa BKP/JKP yang masuk ke dalam negative list misalnya barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, susu, daging, sayuran dan lainnya. Jasa medis, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan beberapa jasa lainnya juga dibebaskan dari PPN.

Kenaikan PPN selama 2 tahun belakangan telah memengaruhi harga barang dan jasa. Hal ini berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Belum lagi sejak pandemi Covid-19 daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya.

Kegelisahan kenaikan PPN ternyata juga dirasakan oleh para pelaku usaha. Mereka berpendapat ketertarikan konsumen terutama terhadap barang dan jasa selain kebutuhan pokok mengalami penurunan saat ini.

Berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan sesuai dengan tingkatan penghasilan. PPh dikenakan setelah memperhitungkan untung atau rugi usaha. Tarifnya pun berbeda, semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi tarifnya. Namun tidak dengan PPN. PPN dikenakan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang tanggungan atapun penghasilan orang pribadi atau badan usaha.

Tarif PPN di Indonesia saat ini merupakan tarif PPN kedua tertinggi di negara-negara Asia Tenggara. Hanya berselisih 1% dari Filipina yang mengenakan PPN sebesar 12%. Dengan kenaikan PPN di Indonesia tahun depan, dikhawatirkan harga produk lokal akan sulit bersaing dengan barang-barang impor.

Meskipun dalam UU HPP sudah disebutkan bahwa tarif PPN 12% diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025, tidak menutup kemungkinan jika tarif tersebut diubah atau kenaikannya diundur. Hal ini dikarenakan pasal 7 ayat (3) UU HPP menyebutkan bahwa tarif PPN tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Pemerintahan baru yang akan berganti di Oktober nanti juga mungkin saja membuat kebijakan baru terkait hal ini. Presiden terpilih 2024 memiliki andil besar dalam implementasi kenaikan PPN tersebut. Mengutip CNBCIndonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa meski sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR, kenaikan ini masih berpotensi diubah. “PPN 12% sudah dibahas ini juga termasuk fatsun politik UU HPP yang kita semua bahas udah setuju namun kita hormati pemerintah baru,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI di gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (19/03/2024).

 

Kondisi Perekonomian                             

Pemerintah diharapkan melakukan kajian menyeluruh terkait rencana kenaikan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh aspek, bukan hanya pendapatan negara namun juga kondisi perekomian negara terutama daya beli masyarakat dan tingkat inflasi.

Harga-harga komoditas perlu terus dipantau, terutama pangan dan energi, serta mempersiapkan beberapa kebijakan dalam menjaga konsumsi masyarakat. Kenaikan upah juga bisa menjadi salah satu alternatif mengingat PPN dikenakan dengan tarif yang sama tanpa memandang subjeknya berpenghasilan tinggi atau rendah.

PPN multi tarif juga bisa dipertimbangkan untuk diadaptasi seperti beberapa negara lain. Di Indonesia sudah ada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) namun sesuai namanya hal itu hanya diperuntukkan bagi barang-barang mewah seperti mobil mewah, rumah mewah, kapal pesiar, dll. India merupakan salah satu negara yang menerapkan PPN multi tarif. Barang-barang yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dapat dikenakan PPN dengan tarif yang berbeda dengan barang yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat pada umumnya, seperti sabun, deterjen, pulsa, dll.

Namun apapun keputusannya pastilah pemerintah telah memikirkan dan menimbang baik buruknya sebuah kebijakan. Hal baik yang bisa kita ambil jika PPN menjadi 12% adalah misalnya bisa mengurangi  konsumsi seseorang atas barang atau jasa yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Pemerintah juga dapat mengumpulkan penerimaan negara lebih banyak dari pajak yang nantinya juga akan digunakan kembali untuk pembangunan berkelanjutan dan kepentingan masyarakat.

BERITA TERKAIT

Membangun dari Desa: Strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Oleh : Dzul Ilmi Muis, Alumni Fisip Unair   Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menekankan pentingnya…

Gerak Cepat Pemberantasan Narkoba Wujudkan Program Asta Cita

  Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat Sosial Budaya   Upaya pemberantasan narkoba terus menjadi fokus utama pemerintah di bawah kepemimpinan…

Hilirisasi Rumput Laut Sebaiknnya Fokus ke Produk Hidrokoloid

Oleh : W. Farid Ma'ruf, B.Sc.,Ir.,M.Sc.,Ph.D, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI)   Komoditas rumput laut menjadi satu…

BERITA LAINNYA DI Opini

Membangun dari Desa: Strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Oleh : Dzul Ilmi Muis, Alumni Fisip Unair   Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menekankan pentingnya…

Gerak Cepat Pemberantasan Narkoba Wujudkan Program Asta Cita

  Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat Sosial Budaya   Upaya pemberantasan narkoba terus menjadi fokus utama pemerintah di bawah kepemimpinan…

Hilirisasi Rumput Laut Sebaiknnya Fokus ke Produk Hidrokoloid

Oleh : W. Farid Ma'ruf, B.Sc.,Ir.,M.Sc.,Ph.D, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI)   Komoditas rumput laut menjadi satu…