Mungkinkah Pendidikan Tinggi Gratis?

 

Oleh: Teddy Ferdian, Staf Direktorat Jenderal Pajak *)

 

Fenomena video singkat live reaction banyak berseliweran di media sosial. Video menggambarkan seorang anak membuka hasil pengumuman penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri atau pengumuman penerimaan beasiswa atau pengumuman lain yang berkaitan dengan prestasi di bidang pendidikan. Si anak ditemani orang tua dan keluarga menantikan detik-detik dibukanya hasil pengumuman melalui media elektronik. Ada tangis, tawa bahagia, bahkan sujud syukur sebagai reaksi atas prestasi ananda.

Adalah wajar jika banyak orang tua merasa bangga dan bersyukur ketika anak mereka diterima untuk berkuliah di perguruan tinggi negeri. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi kondisi ini.

Pertama adalah banyaknya pemikiran bahwa berkuliah di perguruan tinggi negeri berkesan lebih prestise dan akan lebih menjanjikan lapangan pekerjaan setelah lulus nanti, terlebih untuk perguruan tinggi negeri terkenal di Indonesia. Kedua adalah bahwa para orang tua tidak harus merogoh kocek yang dalam untuk membayar uang kuliah putra dan putri mereka yang berkuliah di perguruan tinggi negeri. 

Ironisnya, pemikiran tersebut seolah terbantahkan ketika kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diberlakukan di perguruan tinggi negeri di Indonesia. Walaupun hanya bergulir seumur jagung, namun kebijakan yang sudah langsung diberlakukan oleh beberapa perguruan tinggi negeri ini langsung menjadi sorotan publik. Gelombang protes, khususnya dari mahasiswa,  banyak mengemuka. Pemerintah pun akhirnya membatalkan kebijakan untuk menaikkan UKT.

Pendidikan Gratis di Nordik

Batalnya kenaikan UKT ternyata tidak serta merta melegakan banyak pihak. Masih banyak yang khawatir bahwa jangan-jangan kebijakan ini bukan dibatalkan, melainkan hanya ditunda waktu implementasinya. Artinya cepat atau lambat kenaikan UKT ini akan benar-benar terlaksana.

Di tengah polemik biaya kuliah ini, banyak pendapat dan pandangan yang beredar. Salah satu pandangan menarik atau mungkin lebih tepatnya pertanyaan adalah mengapa kuliah di Indonesia tidak bisa digratiskan. Negara lain ada yang bisa melakukannya, kenapa Indonesia tidak bisa?

Beberapa negara kawasan Nordik yang ada di bagian utara benua Eropa menggratiskan biaya pendidikan sampai dengan  jenjang perguruan tinggi. Finlandia, Denmark, Swedia, Islandia, dan Norwegia adalah beberapa negara di Kawasan Nordik yang menerapkan kebijakan ini.

Negara-negara ini juga sangat memegang prinsip kesetaraan bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Dan ini dipedomani oleh seluruh warga negara, sehingga tidak mengherankan jika warga negara menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk digunakan mendanai layanan publik. Jumlahnya tidak main-main, bisa lebih dari setengah penghasilan yang mereka terima. Mereka melakukannya karena menurut mereka hal ini sepadan dengan fasilitas sosial dan publik yang dapat mereka nikmati, salah satunya adalah pendidikan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Tidak adil rasanya jika kita langsung membandingkan negara-negara Nordik dengan Indonesia dalam hal penyediaan pendidikan tinggi gratis. Banyak faktor yang tentunya berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia. Faktor geografis, jumlah penduduk, pendapatan per kapita, biaya hidup masyarakat, budaya, kemerataan teknologi, dan kesenjangan sosial adalah beberapa di antaranya.

Tarif pajak boleh menjadi salah satu hal penting dalam memastikan bahwa pemerintah memiliki dana untuk memberikan layanan publik secara gratis kepada masyarakat. Namun, ini tentunya bukan menjadi satu-satunya faktor.

Finlandia dan Denmark termasuk negara-negara yang menerapkan tarif pajak tertinggi di dunia. Berdasarkan data trading economics, tarif pajak tahun 2024 di Finlandia adalah 57% untuk orang pribadi dan 20% untuk badan usaha. Angka ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan Denmark dengan 55,9% untuk orang pribadi dan 22% untuk badan usaha.

Selain itu masih ada Swedia yang mematok tarif pajak 52,3% untuk orang pribadi dan 20,6% untuk badan usaha. Di bawahnya ada Islandia dengan 46,25% (orang pribadi) dan 20% (badan usaha) serta Norwegia dengan 39,6% (orang pribadi) dan 22% (badan usaha).

Tarif pajak di negara-negara tersebut pastinya lebih tinggi daripada Indonesia. Di Indonesia, tarif pajak tertinggi untuk orang pribadi adalah 35% dan 22% untuk badan usaha. Menaikkan tarif pajak boleh jadi salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka membiayai layanan publik. Namun, apakah dengan menaikkan tarif pajak dapat menjamin pendidikan tinggi gratis untuk warga negara?

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki sumber pendapatan lain yang secara nominal lebih tinggi dari pajak. Kontribusi penerimaan pajak mencapai hampir 80% pendapatan nasional sebagaimana ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga, senang atau tidak, penerimaan pajak menjadi penentu utama ketersediaan dana negara untuk memberikan fasilitas layanan publik, termasuk dalam hal pendidikan. Namun, faktor yang tidak kalah penting justru ada pada pandangan masyarakat terhadap pungutan pajak atas penghasilan yang mereka terima.

Negara-negara Nordik mungkin hanya memiliki penduduk di bawah 15 juta jiwa. Namun seluruh warganya bersedia menyisihkan penghasilannya untuk pajak. Indonesia memiliki jumlah penduduk hampir 300 juta jiwa dan 73 juta wajib pajak terdaftar. Namun, kepatuhan pajak sukarela boleh dikatakan masih rendah.

Kembali, kepercayaan (trust) masyarakat menjadi hal utama yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pandangan masyarakat Nordik tentang pungutan pajak bukan mustahil dapat juga terjadi di Indonesia. Namun, banyak aspek harus diperbaiki. Peningkatan tarif pajak akan terasa sia-sia jika tidak dibarengi dengan pandangan positif masyarakat tentang pungutan pajak. Tidak cukup hanya meningkatkan tarif pajak jika tidak dibarengi dengan perbaikan fasilitas publik dan layanan sosial yang menjunjung tinggi kesetaraan bagi masyarakat.

Pada dasarnya Indonesia memiliki masyarakat yang berjiwa sosial tinggi. Berdasarkan data World Giving Index tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat pertama negara paling dermawan di dunia. Sehingga, kerelaan warga negara dalam menyisihkan sebagian penghasilan untuk negara seharusnya bukan menjadi masalah. Namun, hasil nyata pembangunan sudah selayaknya mereka rasakan. Fasilitas sosial dan layanan publik gratis dapat mereka nikmati. Pengelolaan dana pajak dan penggunaannya dilakukan dengan penuh tanggung jawab oleh seluruh aparatur negara dengan penuh integritas dan profesionalisme.

Di tahun 2024, pemerintah telah mempersiapkan Rp660,8 triliun atau 20% APBN untuk anggaran pendidikan. Ketersediaan anggaran ini harus dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam mengelolanya. Warga negara harus dapat merasakan manfaat dari hasil pengelolaan dana tersebut. Ini penting untuk meningkatkan trust kepada pemerintah. Jika hal ini dapat terjadi, bukan tidak mungkin suatu hari nanti, masyarakat Indonesia dapat menikmati pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi    

BERITA TERKAIT

Angkat Keunggulan Seni Budaya, Amanah Gelar Carnival Busana

  Oleh : Teuku Reza, Pemerhati Sosial Budaya   Program Aneuk Muda Aceh Unggul dan Hebat (AMANAH) menggelar Carnival busana…

Kebijakan Fiskal Pemerintah Sudah Tepat demi Kuatkan Kurs Rupiah

  Oleh : Farrel Haroon Jabar, Analis Keuangan   Pemerintah terus mengupayakan beragam cara, termasuk kebijakan fiskal demi menjaga nilai…

PERNYATAAN FUNDAMENTAL EKONOMI BAIK: - Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani?

      Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)   Kurs rupiah terpuruk ke tingkat…

BERITA LAINNYA DI Opini

Angkat Keunggulan Seni Budaya, Amanah Gelar Carnival Busana

  Oleh : Teuku Reza, Pemerhati Sosial Budaya   Program Aneuk Muda Aceh Unggul dan Hebat (AMANAH) menggelar Carnival busana…

Kebijakan Fiskal Pemerintah Sudah Tepat demi Kuatkan Kurs Rupiah

  Oleh : Farrel Haroon Jabar, Analis Keuangan   Pemerintah terus mengupayakan beragam cara, termasuk kebijakan fiskal demi menjaga nilai…

PERNYATAAN FUNDAMENTAL EKONOMI BAIK: - Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani?

      Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)   Kurs rupiah terpuruk ke tingkat…