Oleh: Sarwani, Pengamat Kebijakan Publik
Penjualan jalan tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi yang dilakukan oleh PT Waskita Karya baru-baru ini menuai kontroversi. Pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim divestasi tersebut memberi keuntungan hingga 94 persen bagi perusahaan plat merah tersebut.
Penjelasan Kementerian BUMN seperti berikut; ada sekitar Rp1,4 triliun ekuitas yang ditawarkan pada jalan tol tersebut. Dari jumlah itu, 30 persennya dimiliki oleh Waskita Karya atau sekitar Rp420 miliar. Ditambah dengan biaya akuisisi maka totalnya menjadi Rp450 miliar. Kings Ring Ltd –anak usaha grup Road King Expressway—membelinya senilai Rp825 miliar, sehingga BUMN konstruksi tersebut meraup keuntungan Rp320 miliar.
Namun sejumlah pihak meragukan hitungan tersebut. Yang dilakukan Waskita Karya adalah fire sale – menjual aset dengan harga diskon besar-besaran. Pembangunan jalan tol itu menelan biaya total sekitar Rp4,9 triliun. Bagian Waskita sebesar 30 persen dari total investasi tersebut sehingga ekuitas yang dimilikinya senilai Rp1,4 triliun. Jika dijual Rp824 miliar maka BUMN itu rugi. Apalagi kalau ditambah dengan biaya bunga pinjaman untuk proyek itu dan potensi keuntungan, nilai jualnya harus lebih tinggi Rp1,4 triliun.
Penjualan jalan tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi oleh Waskita Karya merupakan langkah awal dari rencana divestasi menyeluruh terhadap sembilan ruas jalan tol miliknya. Rencananya, semua proses divestasi itu akan berlangsung tahun ini juga untuk mengurangi utang hingga Rp40 triliun.
Publik dibuat harap-harap cemas dengan kelanjutan divestasi jalan tol milik Waskita Karya. Tidak tertutup kemungkinan perusahaan milik pemerintah itu akan melakukan fire sale lantaran kondisi keuangannya. Perkara rugi belakangan, yang penting selamat dulu. BUMN karya itu sebenarnya sudah harus masuk ICU untuk segera diselamatkan. Kalau tidak, nasibnya akan berujung tragis.
Waskita Karya terbelit mega utang. Akibatnya, kinerja BUMN karya itu tertekan oleh beban bunga yang sangat besar. Dikutip dari laporan keuangan per 31 Desember 2020, total utang yang ditanggungnya hampir Rp90 triliun.
Rinciannya, utang jangka pendek sebesar Rp48,237 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp40,773 triliun. Dengan jumlah utang sebesar itu, Waskita Karya harus merogoh kocek Rp4,74 triliun hanya untuk membayar bunga saja. Beban bunga tersebut naik 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Utang yang melonjak diakibatkan bertambahnya jumlah proyek ruas tol yang dibangun perusahaan. Beban utang yang besar membuat perusahaan rugi Rp7 triliun.
Derita yang dialami Waskita Karya tersebut karena salah bunda mengandung. Pemerintah sebagai pemilik perusahaan memberikan penugasan untuk membangun infrastruktur yang sebenarnya tidak laik. Euforia pembangunan infrastruktur dibebankan kepada BUMN karya sehingga menimbulkan kerugian besar berkepanjangan.
Mereka memikul beban operasional, beban bunga, dan beban penyusutan, sementara revenue dari awal sudah dinyatakan tidak laik. Dari pengelolaan jalan tol, pelabuhan atau bandara menambah kerugian.
Waskita Karya juga terjebak dalam model bisnis bangun-jual. Semua yang dibangun harus dijual. Dalam kondisi pasar sedang bullish, BUMN karya ini memang menanggok banyak cuan. Namun menjadi senjata makan tuan saat kondisi pasar sedang lesu, investasi menurun. Investor hanya mau membeli jika diberi diskon besar-besaran.
Model bisnis bangun-jual juga mengusik rasa nasionalisme dan keadilan ekonomi. Tidak perlu semua pembangunan proyek dibuat dalam skema bangun-jual. Proyek strategis tetap harus dalam kendali pemerintah.
Jika proyek infrastruktur jalan tol dibangun lalu dijual ke swasta semua, hal ini dapat menimbulkan monopoli dan oligopoli swasta yang bersifat price maker—penentuan harga sepihak--sehingga rakyat kecil akan dirugikan. Jadi, pembangunan jalan tol sebenarnya untuk siapa?
Divestasi harus diakui dapat mengurangi rasio pinjaman terhadap modal yang dimiliki perusahaan, sehingga kondisi keuangan perusahaan bisa tetap sehat. Namun penjualan itu harus transparan ke publik. Harus dibuka berapa nilai bukunya supaya tidak menimbulkan polemik.
Skema bangun-jual bukan satu-satunya jalan. Ada skema sekuritisasi aset sebagai alternatif. Dengan skema ini, pemerintah masih punya kepemilikan sehingga masih bisa mengendalikan. Contohnya adalah saat PT Jasa Marga Tbk melakukan penawaran Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Efek Beragun Aset (EBA) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sekuritisasi dilakukan BUMN itu dengan menjamin pendapatan pengoperasian jalan tol Jagorawi sebesar 40 persen selama beberapa tahun.
Di sisi lain, secara internal Waskita Karya sudah harus mengatur portofolio investasinya dengan mengkombinasikan proyek-proyek jangka pendek, menengah, dan panjang. Proyek yang dibangun BUMN ini umumnya bersifat jangka panjang dengan waktu pengembalian investasi di atas lima tahun. Bisnis yang melulu berorientasi jangka panjang menimbulkan risiko likuiditas bagi perusahaan.
Peran pemerintah juga dibutuhkan di sini dengan menyusun kebijakan bahwa untuk penugasan proyek berikutnya harus mempertimbangkan portofolio investasi dan izin dari kementerian teknis dan kementerian keuangan, agar BUMN tidak menanggung beban yang bukan menjadi tanggung jawabnya. (www.watyutink.com)
Oleh : Vania Salsabila Pratama, Pengamat Perpajakan Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%…
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…
Oleh : Vania Salsabila Pratama, Pengamat Perpajakan Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%…
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…