NERACA
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengkaji rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK untuk Industri Keuangan yang dikeluarkan pada 12 Februari 2014 lalu. Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal 2 OJK, Fahri Hilmi menjelaskan, otoritas belum menyerahkan draf revisi aturan tersebut kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena belum semua draf selesai didiskusikan.”Masih diskusi, ada beberapa draf yang sudah didiskusikan, tetapi ada juga yang belum sempat didiskusikan,"ujarnya di Jakarta, Kamis (6/4).
Fahri membeberkan, salah satu yang akan direvisi dari aturan itu yakni, menurunkan pungutan yang dibebankan kepada emiten setiap tahunnya atau melakukan penyesuaian. Sayang, dirinya belum dapat menjelaskan lebih spesifik terkait potensi penurunan pungutan yang akan diberikan kepada perusahaan.
Seperti diketahui, sebagai turunan dari peraturan pemerintah nomor 11 tahun 2014, OJK telah mengeluarkan POJK No 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK. Selain itu, Surat Edaran yang dikeluarkan No 4/SEOJK.02/2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK yang berisi penjelasan metode pembayaran kepada wajib bayar pungutan OJK, yaitu lembaga jasa keuangan, orang perseorangan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Pungutan itu dilakukan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung OJK lainnya. Sementara, penerimaan pungutan tahun berjalan digunakan untuk anggaran tahun berikutnya. Hal ini dimuat dalam pasal 35 UU OJK dan PP Pungutan OJK pasal 2. Biaya yang dipungut oleh OJK tersebut sebesar 0,045% dari total aset yang dimiliki, dan untuk anak usaha yang bergerak dalam bidang asuransi dan perusahaan pembiayaan, juga akan dikenakan masing-masing 0,045% dari total aset.
Namun yang pasti, OJK tidak akan menurunkan pungutan secara drastis. Pihaknya akan tetap mengakomodir semua masukan yang berdatangan, termasuk dari perusahaan itu sendiri.”Kami masih mau lihat pengenaannya tepat atau tidak, misalnya efek yang ditentukan dari aset itu apakah sesuai, pas atau tidak. Sifatnya ini hanya review saja," Fahri.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Susy Meilina juga angkat bicara soal kebijakan yang dinilai memberatkan emiten. Dirinya menyebutkan, syarat yang diteditetapkan otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendapatkan pembiayaan transaksi margin dinilai memberatkan emiten.
Sebelumnya, BEI telah merelaksasi aturan transaksi margin. Kini efek yang menjadi objek transaksi margin ditambah menjadi 200 saham dari semula 60-an saham. Sejatinya, APEI tak menolak penambahan daftar efek margin. Kebijakan yang membuat APEI gerah adalah ketentuan terkait sekuritas yang bisa membiayai transaksi margin. Ketentuannya, hanya broker yang memiliki modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) minimal Rp 250 miliar yang bisa melakukan transaksi margin atas 200 efek tadi. (bani)
NERACA Jakarta- Membuka perdagangan pasca libur panajang Lebaran, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) langsung anjlok…
NERACA Jakarta – Berhasil torehkan kinerja positif di tahun 2024, emiten properti dan bisnis golf, PT Intra Golflink Resorts Tbk…
NERACA Jakarta — Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) memutuskan kembali menebar dividen sebesar Rp43…
NERACA Jakarta- Membuka perdagangan pasca libur panajang Lebaran, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) langsung anjlok…
NERACA Jakarta – Berhasil torehkan kinerja positif di tahun 2024, emiten properti dan bisnis golf, PT Intra Golflink Resorts Tbk…
NERACA Jakarta — Rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) memutuskan kembali menebar dividen sebesar Rp43…