Jakarta-Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) berpeluang diturunkan jika tingkat inflasi nasional terkendali. Sementara Indonesia masih tercatat satu-satunya negara di ASEAN yang mengalami defisit transaksi berjalan.
NERACA
"Kalau inflasi rendah terkendali itu pasti tingkat bunga lebih rendah. Walaupun bukan itu satu-satunya penyebabnya," kata Darmin saat acara sosialisasi menghadapi MEA di Jakarta, Rabu (4/11).
Dia berharap angka inflasi di tahun ini berada di bawah 4%. Dengan begitu, BI memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuan yang saat ini masih bertengger tinggi di level 7,5%.
Darmin mengatakan, angka inflasi Indonesia masih relatif tinggi ketimbang negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. "Malaysia, Thailand inflasi itu 2%. Tetapi hari ini Filipina inflasi sudah 3%-3,5%. Kita masih 4,5%. Mudah-mudahan tahun ini sudah di bawah 4%,” ujarnya.
Dia mengatakan untuk menekan inflasi pemerintah mendorong peran tim pemantauan dan pengendalian inflasi daerah (TPID). "Kalau inflasi rendah, pasti tingkat bunga rendah," ujarnya.
Meski demikian, Darmin enggan membeberkan lebih jauh waktu yang tepat untuk menurunkan BI Rate. Alasannya, hal tersebut tidak menjadi kewenangan pemerintah. Pasalnya, saat ini kondisi neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan sudah mulai membaik.
"Neraca pembayaran membaik, transaksi neraca berjalannya defisitnya mengecil. Jadi kalau diurut makin lengkap ada alasan peluang untuk itu," ujarnya.
Darmin menjelaskan, ruang untuk penurunan BI Rate bisa terlihat dari inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2015 yang baru mencapai 2,16% dan inflasi secara tahun ke tahun (year on year) 6,25%.
Namun, menurut dia, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter mempunyai pertimbangan tersendiri, sehingga masih mempertahankan BI Rate pada 7,5% dalam sembilan bulan terakhir ini.
Selain itu, Bank Sentral AS (The Fed) yang masih menunda kenaikan suku bunga acuan, juga bukan merupakan alasan bank sentral untuk menurunkan BI Rate, karena normalisasi kebijakan moneter tersebut sepertinya baru terjadi pada 2016.
"Tanya BI-nya saja, kenapa tidak diturunkan juga? Tapi saya juga mengerti, kira-kira dia masih takut sama goyang-goyangnya rupiah," kata mantan Gubernur BI itu.
Darmin mengatakan, idealnya selisih antara BI Rate dengan tingkat inflasi adalah 100 basis poin (satu persentase poin) bukan sebanyak 400 basis poin (empat persentase poin) seperti sekarang.
"Dengan inflasi sekarang, makin lama real interest rate-nya semakin besar. Nanti akhir tahun, inflasi di bawah 4%. Padahal BI Rate-nya 7,5%, ada selisih empat persentase poin. Biasanya bedanya satu (persentase poin)," jelasnya.
Darmin menambahkan BI Rate yang terlalu tinggi dalam situasi saat ini bisa membuat masyarakat enggan mengajukan pinjaman dan menahan konsumsi, sehingga bisa memperlambat kinerja perekonomian.
Ketidakpastian Global
Bank sentral juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik terutama didorong oleh meningkatnya belanja modal pemerintah, walaupun aktivitas perekonomian di sektor swasta masih berjalan relatif lambat.
Dengan situasi tersebut, Bank Indonesia menilai bahwa tekanan terhadap stabilitas makro mulai mereda sehingga ke depan terdapat ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter. Namun, mengingat masih tingginya risiko ketidakpastian global, maka otoritas moneter akan tetap berhati-hati dan mencermati risiko global di tengah perkembangan pasar keuangan global yang lebih kondusif.
Dalam dua bulan terakhir, BPS merilis indeks harga konsumen mencetak deflasi, masing-masing 0,05% pada September dan 0,08% pada Oktober. “Sebetulnya dilihat dari (deflasi) itu, ada ruang untuk turunkan tingkat bunga. Kenapa BI belum menurunkan, saya juga enggak ngerti kenapa kira-kira. Dia (mungkin) masih takut sama goyang-goyang rupiah,” ujarnya.
Mantan Gubernur BI itu pun menjelaskan, dengan inflasi hingga akhir tahun yang diprediksikan mencapai 3,6 persen, artinya Real Interest Rate (RIR) makin jauh. RIR ini adalah selisih antara BI rate dengan inflasi.
Namun yang pasti, Darmin menyerahkan sepenuhnya urusan moneter kepada Agus DW Martowardojo beserta pertimbangannya. “Kalau impact RIR-nya 4% tanya BI lah. Tapi intinya adalah kenapa dia enggak turunkan juga? Karena dia melihat kurs masih ada volatile. Kalau soal The Fed, itu urusan nanti,” ujarnya.
Secara terpisah, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, diantara lima negara besar di ASEAN.
“Indonesia kalau membandingkan dirinya dengan negara 5 besar Asean, Indonesia satu-satunya negara yang transaksi berjalannya defisit,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Usai berbincang dengan Presiden Finlandia Sauli Niinistos, Agus menyampaikan bahwa ASEAN merupakan ekonomi terbesar ke tiga di Asia setelah Tiongkok dan Jepang, sedangkan di ASEAN, Indonesia adalah ekonomi terbesar di kawasan. “Ekonomi terbesar ke 3 dari Asia yaitu, pertama Tiongkok, kedua Jepang dan yang ketiga ASEAN dan yang besar di AASEAN adalah Indonesia,” ujarnya.
Agus mengakui pihaknya masih terbuka untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar yaitu penurunan suku bunga acuan, bahkan BI meyakini pertumbuhan ekonomi pada Triwulan IV 2015 akan semakin membaik dibandingkan triwulan sebelumnya seiring semakin meningkatnya investasi oleh Pemerintah.
"Kami harap di Triwulan IV-2015, investasi bangunan dan swasta akan naik dan berkontribusi pada ekonomi Indonesia," ujarnya.
Menurut Agus, tren pertumbuhan ekonomi mulai menuju ke arah yang positif. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III lebih baik dibandingkan dua triwulan sebelumnya dan diperkirakan mencapai 4,85%.
"Kalau saya lihat di triwulan III ini perbaikan sudah kelihatan dari investasi dan pengeluaran pemerintah. Peran swasta saya harap di triwulan IV, tapi itu biasa karena banyak pengeluaran pemerintah yang belum terwujud. Tentu swasta harus persiapkan diri," ujarnya.
Meski demikian, Agus mengatakan, bank sentral masih mempertimbangan beberapa indikator yaitu data inflasi, current account deficit, dan faktor ekonomi global.
Ketiga faktor itu sangat mempengaruhi keputusan yang akan diambil BI nantinya. "Kita lihat ada perbaikan di pencapaian inflasi, sehingga mungkin malah bisa lebih rendah dari 4% inflasinya," ujarnya pada kesempatan berbeda belum lama ini.
BI melihat ada perbaikan current account. Pada kuartal III-2015 ini, current account ada di kisaran 3% dari PDP. Bahkan BI melihat potensi CAD bisa di bawah 2%, namun BI masih khawatir dengan kondisi ekonomi global.
"Yang menjadi perhatian adalah kondisi di eksternal di dunia. Bahwa memang pertumbuhan ekonomi dunia dikoreksi yang tadinya akan 3,3% menjadi 3,1%," ujar Agus.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, indeks harga konsumen (IHK) pada Oktober 2015 mengalami deflasi sebesar 0,08%. Dengan demikian, inflasi sepuluh bulan pertama tahun ini atau inflasi tahun kalendernya mencapai sebesar 2,16%.
Jika dibandingkan Oktober 2014, maka tercatat inflasi tahun ke tahun mencapai 6,25%. Adapun inlfasi komponen inti pada Oktober 2015 ini adalah sebesar 0,23%. Sedangkan inflasi komponen inti tahun-ke-tahun mencapai 5,02%. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…
Maret 2025, Nilai Ekspor Capai USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…
Maret 2025, Nilai Ekspor Capai USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…