Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik
Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian perekonomian negara pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dinilai terlalu luas. Oleh sebab itu Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta agar frasa itu harus dikaji ulang dan dibuat penjelasan yang lebih detail agar aplikatif sebagai instrumen pemidanaan.
Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa selama ini terkait dengan kerugian negara, baik kerugian perekonomian negara maupun kerugian keuangan negara mengandung ketidakjelasan, tidak nyata, tidak terukur dan tidak pasti. Padahal hukum mengharuskan kerugian negara tersebut harus pasti, baik jumlahnya maupun pihak yang melakukan penghitungan dan menetapkan harus berbasis Undang-Undang (asas legalitas), bukan berbasiskan peraturan dibawah Undang-Undang dan independen.
Padahal ini sangat kentara dalam kasus Karen Agustiawan terkait Tipikor Pertamina dan kasus Tom Lembong pada Kementerian Perdagangan untuk itu paling tidak terdapat 3 (tiga) pertanyaan yang menggelitik penulis terkait dengan Tipikor, yakni kepastian perbuatan melawan hukum, kepastian kerugian negara dan kepastian hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian negara sebagai akibat.
Kerugian Negara
Ketika unsur ‘kerugian negara’ dalam kasus pidana menjadi unsur pokok dalam menjerat seseorang untuk dihukum, harus dapat dibuktikan secara materiil. Kerugian itulah yang diputus Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 25/PUU-XIV/2016 mengenai frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor No 31/1999 jo UU No. 20/2001. Jika kerugian riil (nyata) yang disangkakan tidak terbukti, terdakwa harus bebas, bahkan jika saat penetapan seseorang sebagai tersangka, dimana unsur kerugian belum ada penghitungannya yang nyata dan pasti, maka seseorang tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka. Argumen yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum, bahwa penghitungan kerugian negara dapat disusulkan dikemudian hari pada saat persidangan, sungguh tidak masuk akal dan tidak ada logika hukum dan tidak berkepastian hukum.
Perkara yang dibawa ketahap persidangan harus perkara yang sudah pasti, nyata dengan semua bukti hukum yang kuat. Harus dipahami bahwa persidangan di Pengadilan hanya sebagai forum pendalaman dalam rangka menguji bukti dalam proses pembuktian. Bukan perkara yang masih mentah dimana bukti-bukti masih dalam pencarian.
Pengalaman empiris penulis sekitar tahun 2020 ketika seorang Akuntan Publik melakukan penghitungan kerugian keuangan negara suatu BUMN, dimana Putusan Hakim Agung pada tahap kasasi di Mahkamah Agung membebaskan terpidana karena tidak terbukti merugikan negara (komponen akibat) dan juga bukan merupakan perbuatan melawan hukum (komponen selab), karena perbuatan yang bersangkutan adalah kebijakan bisnis sesuai dengan doktrin Business Judgment Rule, bahkan kerugian negara yang dihitung oleh Akuntan Publik, dinyatakan tidak ada meskipun Akuntan Publik tersebut memenuhi asas legalitas berbasis Undang-Undang Akuntan Publik.
Bagaimana jika yang menghitung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang fungsinya sebagai internal auditor pemerintah. Seara filosofis, kedudukan BPKP sebagai internal auditor pemerintah, bukanlah pihak yang independen seperti BPK. Auditing should be done by competent and independent person (Randal J. Elder, Auditing and Assurance Services, 2017). Asas independen merupakan asas yang amat penting dan wajib dalam penghitungan dan penetapan kerugian negara. Disamping independen juga kompeten dalam arti berbasis standar baku yang teruji. Bahwa perhitungan kerugian negara oleh profesional independen didasarkan pada objektifitas, bukan subjektifitas.
Hal yang objektif secara ilmu dipedomani sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian kesahihan dari audit atas perhitungan yang objektif tersebut teruji (reliable) dan tidak merugikan seseorang sebagai terperiksa. Hal itu sebagaimana pendapat dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Prof. Moeljatno (2008), memberikan pengertian tentang pandangan “objektif” yaitu menurut ketentuan, kaidah ilmiah, sehingga boleh diuji dan diteliti kebenarannya oleh siapapun.
Perbuatan Melawan Hukum
Dalam kontek penyalahgunaan wewenang terdapat persinggungan antara Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi merupakan hal biasa. Dalam UU Administrasi Pemerintahan diatur secara rinci dan jelas terkait norma penyalahgunaan wewenang pejabat, sedangkan dalam UU Tipikor penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara harus memenuhi unsur-unsur berupa niat jahat, kesengajaan serta adanya kerugian keuangan negara nyata dan pasti.
Sehingga pejabat jika menyalahgunaan wewenang tidak otomatis merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur pada UU Tipikor. Jika tidak ada niat jahat, maka hanya dikenakan sanksi administrasi dan upaya hukum yang dapat ditempuh pejabat tersebut adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setelah upaya keberatan terlebih dahulu.
Hubungan Kasualitas
Rangkaian dari proses penyelidikan dan penyidikan TIPIKOR setelah dua komponen, sebab dan akibatnya jelas, lalu bagaimana konstruksi hubungan kedua komponen tersebut ? Norma hukum Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor menyatakan kedua komponen tersebut harus mempunyai hubungan sebab akibat atau kasualitas dan hubungan tersebut harus pasti dan nyata. Pasti dalam arti bahwa kerugian negara tersebut semata-mata sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, berarti semua kerugian tersebut dijelaskan oleh semua komponen sebab.
Dalam ilmu statistika dikenal dengan notasi Adjusted R. Square, yaitu angka yang menjelaskan bahwa semua variabel sebab dapat menjelaskan komponen akibat. Angka Adjusted R. Square mendekati nol dan satu. Jika 0,85 artinya 85% komponen sebab dapat menjelaskan komponen akibat, dengan kata lain 15% lagi dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam komponen sebab tersebut.
Dengan demikian kerugian negara tidak semata-mata sebagai akibat perbuatan terdakwa ada sebagian disebabkan oleh perbuatan lain atau mungkin unsur lain. Pembuktian menggunakan model statistika tersebut merupakan pendekatan ilmiah, yang dikenal dengan pendekatan scientific justice yang berkembang saat ini.
Simpulan
Tipikor merupakan delik materiil, dengan demikian semua komponen yang terkait dengan Tipikor harus pasti, baik perbuatan melawan hukum maupun akibatnya, yakni berupa kerugian negara, termasuk hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian negara.
Majelis Hukum sebagai corong hukum berperan amat strategis dalam rangkaian proses peradilan pidana tersebut dengan memastikan aspek legalitasnya, pembuktiannya termasuk hubungan kasualitasnya harus terbukti secara pasti dan ilmiah, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…
Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…
Oleh: Etin Suprihatin, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *) Dokter memiliki peran sentral dalam kesehatan masyarakat. Peran…
Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…
Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…