Dibalik pertumbuhan laba tahun 2024, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga membukukan total portofolio berkelanjutan mencapai Rp293 triliun atau tumbuh sebesar 10,8% year on year (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari total portofolio tersebut, portofolio hijau mencapai pertumbuhan signifikan sebesar 15,2% yoy menjadi Rp149 triliun pada 2024.
Pertumbuhan tersebut didukung kontribusi utama yang berasal dari sektor pengolahan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan berkelanjutan sebesar Rp114 triliun. Sedangkan kontribusi pada sektor energi baru terbarukan (EBT) telah mencapai Rp11,8 triliun atau naik 21% yoy serta produk ramah lingkungan sebesar Rp10,6 triliun hingga akhir tahun 2024.
Komitmen Bank Mandiri dalam menjalankan bisnis berkelanjutan didasarkan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berbisnis harus ramah lingkungan dan dukungan perseroan untuk memberikan dampak posistif secara luas bagi masyarakat serta lingkungan sekitar. Apalagi, bicara bisnis tidak hanya hari ini, tetapi juga masa depan untuk mewariskan hal positif bagi anak cucu.
Bahkan, agenda transisi energi yang digaungkan pemerintah dan salah satunya meliputi dekarbonisasi industri dipercaya sebagai bagian dari membangun resiliensi ekonomi nasional. Tak ayal, upaya mencapai netralitas karbon dan melakukan efisiensi energi kini menjadi perhatian lintas sektor, tak terkecuali sektor bisnis dan perbankan.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah mengatakan, isu lingkungan kini menyita perhatian, mulai dari banyaknya negara yang mulai mengkampanyekan nol emisi hingga hasil forum G20 yang salah satunya terkait dengan peralihan sumber energi. Menurutnya, aktivitas terkait ekonomi hijau akan semakin banyak ditambah dengan kehadiran bursa karbon.
Piter menilai, munculnya bursa karbon akan diikuti dengan proyek-proyek hijau yang bisa mendapatkan sertifikat karbon untuk diperjualbelikan. “Semua ini akan menjadi proyek-proyek yang membutuhkan pembiayaan hijau. Memang tidak akan serta-merta di tahun ini, tetapi trennya akan terus meningkat,” pungkasnya.
Tengok saja, dalam tiga tahun terakhir, tren pembiayaan hijau (green financing) di Indonesia terus meningkat. Capaian positif ini mensinyalkan hambatan pendanaan dan investasi menuju ekonomi rendah karbon mungkin dapat tertangani. Terlebih hadirnya bursa karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan kesadaran yang semakin tinggi dari pelaku bisnis dan pemangku kepentingan terkait tentunya merupakan angin segar dan perlu segera disikapi dengan pembentukan ekosistem usaha berkelanjutan yang mendukung, terutama terkait dua aspek utama yaitu teknologi dan dukungan finansial.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup (1999-2001), Sonny Keraf mengakui, tren pembiayaan hijau memiliki potensi besar untuk mendongkrak kinerja lembaga jasa keuangan dalam menyalurkan kredit kepada proyek yang berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Selain itu, sektor keuangan dunia akan makin selektif memberikan kredit kepada dunia usaha.
Disampaikannya, sektor keuangan akan lebih mendukung sektor usaha yang fokus pada pengembangan ekonomi hijau. “Saya bisa katakan, beberapa waktu ke depan sektor keuangan di Indonesia maupun internasional akan makin ingin memberikan kredit atau pembiayaan, memberikan support, kepada green economy. Pasti itu,” katanya.
Ya, komitmen untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2050 tentu membutuhkan partisipasi pelaku usaha dan termasuk industri keuangan. Apalagi kesenjangan pembiayaan masih menjadi salah satu tantangan terbesar dalam proyek-proyek berkelanjutan, dan perlu ada kebijakan, kerangka kerja, dan inovasi untuk meningkatkan pembiayaan berkelanjutan di Indonesia. Oleh karena itu, kemitraan dan sinergi lintas-sektor baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional perlu untuk terus ditingkatkan.
Hadapkan Tantangan
Kata Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero), Alexandra Askandar, perseroan kerap menghadapi tantangan dalam mempromosikan investasi iklim. Menurut dia, investasi iklim seringkali dianggap mahal meskipun manfaat jangka panjangnya nyata. Hal itu menyebabkan tidak semua pemangku kepentingan menganggap investasi iklim sebagai prioritas. Kepentingan bisnis tetap menjadi perhatian utama bagi pelaku industri dan juga bank komersial. "Akibatnya, saat ini inisiatif iklim di Indonesia sebagian besar masih bersifat sukarela," ujarnya.
Alexandra mengatakan, salah satu dukungan yang dibutuhkan adalah kebijakan kuat yang dapat menjadi pemicu utama untuk mendorong pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim harus dibuat lebih menarik bagi semua pihak melalui mekanisme insentif dan pengurangan biaya seperti insentif proyek hijau atau pajak karbon.
Terlepas dari berbagai kendala tersebut, lanjutnya, perseroan terus mendorong nasabah untuk bertransisi menuju ekonomi rendah karbon melalui instrumen keuangan yang inovatif serta membangun ESG center for clients sebagai akselerator dalam pencapaian-pencapaian perseroan. Apalagi Indonesia memiliki potensi besar di green energi akan membuka peluang besar potensi pembiayaan hijau seiring ekonomi dunia sedang bertransformasi ke green economy dan pembiayaan sekarang larinya terutama ke industri hijau. Kondisi ini menjadi optimistis Indonesia bisa menarik lebih banyak investasi di sektor ekonomi hijau.
Direktur Teknologi Informasi Bank Mandiri, Timothy Utama menambahkan, kedepan perseroan berkomitmen untuk mengembangkan berbagai instrumen berkelanjutan, baik dari sisi financing maupun dari sisi funding.“Kami percaya bahwa dengan mengembangkan berbagai solusi pembiayaan, baik di segmen wholesale maupun retail, Bank Mandiri dapat berperan sebagai katalisator dalam membangun ekosistem keuangan berkelanjutan yang inklusif, inovatif, serta berdampak positif pada lingkungan dan sosial,” kata dia.
Asal tahu saja, Bank Mandiri memiliki ESG Framework yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Sustainable Banking, Sustainable Operation, dan Sustainability Beyond Banking. Pada pilar sustainable operation, Bank Mandiri terus menjalankan berbagai inisiatif untuk menuju net zero emission operations pada tahun 2030 dengan progres yang positif melalui kegiatan operasional yang lebih ramah lingkungan.“Di sisi lain, kami juga menerapkan budaya kerja inklusif dan setara dengan komposisi perempuan sebesar 52 persen di mana 46 di antaranya menempati posisi manajerial ke atas. Kami juga melakukan peningkatan keamanan dan privacy data sebagai salah satu strategi penguatan operational cyber,” kata Timothy.
Terakhir pada pilar sustainability beyond banking, Bank Mandiri terus meningkatkan penetrasi terhadap masyarakat underbank melalui digitalisasi dan community empowerment, salah satunya melalui inovasi digital Livin’ Merchant by Mandiri di mana sebanyak 1,5 juta penggunanya merupakan masyarakat di daerah non-urban yang selama ini belum mendapat layanan perbankan secara optimal.“Selain itu, berbagai upaya pemberdayaan masyarakat dari Bank Mandiri telah berdampak positif kepada lebih dari 6,5 juta individu,”ujarnya.
NERACA Jakarta – Di tahun 2024, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI mencatatkan kinerja positif dengan perolehan laba…
NERACA Jakarta-Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (6/2) sore ditutup melemah di tengah penguatan bursa…
NERACA Jakarta- Sepanjang tahun 2024, PT Bank Mandiri Taspen (BMTP) membukukan laba bersih sebesar Rp1,58 triliun atau tumbuh 11,93% jika…
Dibalik pertumbuhan laba tahun 2024, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga membukukan total portofolio berkelanjutan mencapai Rp293 triliun atau…
NERACA Jakarta – Di tahun 2024, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI mencatatkan kinerja positif dengan perolehan laba…
NERACA Jakarta-Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (6/2) sore ditutup melemah di tengah penguatan bursa…