NERACA
Bandung – Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Menavigasi Reformasi Struktural di Indonesia: Pembelajaran dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85 Tahun 2024”.
Prof. Cecep Darmawan selaku Dekan FP IPS sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Indonesia menyampaikan bahwa kegiatan diskusi ini diselenggarakan untuk mengetahui bagaimana implementasi dan eksekusi dari Putusan MK No. 85/PUU-XXII/2025 tentang Pengujian UU No. 4 Tahun 2023 tentang PPSK, serta melihat lebih jauh bagaimana implikasinya terhadap reformasi struktural di Indonesia, terutama terhadap independensi LPS.
Giri Ahmad Taufik selaku Pemohon dalam perkara ini menyampaikan bahwa, praktik ketatanegaraan Indonesia dalam 10 tahun ke belakang menunjukkan terjadinya democratic backsliding di mana lembaga-lembaga independen berusaha dikooptasi oleh cabang kekuasaan yang lain. Diantaranya seperti yang terjadi pada KPK dengan revisi UU KPK dan KPPU dengan revisi UU Persaingan Usaha yang sempat dinarasikan akan menempatkan KPPU di bawah Kementerian Perdagangan.
Lebih jauh, Giri menegaskan bahwa dalam konteks LPS, ketentuan mengenai persetujuan RKAT Operasional dalam UU PPSK menjadi suatu ancaman bagi independensi LPS. Hal inilah yang menjadi salah satu pokok permohonan dalam pengujian undang-undang yang diajukan
“Putusan MK No. 85/PUU-XXII/2024 telah menegaskan kembali status LPS sebagai lembaga independen. Hanya saja, sebetulnya Putusan MK ini sangat tidak diprediksi dalam konteks kepastian hukum. Dalam risalah dapat dilihat bahwa perdebatannya hanya dalam persoalan persetujuan atau pertimbangan saja, tidak ada mengenai Persetujuan DPR. Kita harus mengawal ini lebih jauh untuk memastikan agar persetujuan DPR ini tidak mengganggu independensi LPS, serta tidak berujung seperti kasus Bank Indonesia baru-baru ini”, ujar Miko Ginting selaku Kuasa Hukum Pemohon.
Miko pun menyampaikan bahwa “Pertanyaan kunci lainnya terkait putusan ini adalah bagaimana konstitusionalitasnya persetujuan ini? apakah ini konstitusional atau tidak selama 2 tahun ini? Ini sangat berkaitan erat dengan persoalan kepastian hukumnya.”
Menanggapi hal tersebut, Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Indra Perwira mengatakan, “putusan ini saya rasa mindset yang digunakan mundur 50 tahun ya. Ini bentuk kemunduran ketatanegaraan yang cara berpikirnya belum mengakui keberadaan lembaga independen, masih saja terfokus pada konsep trias poitica dan separation of powers.”
“Sangat disayangkan bahwa lembaga yang kita semua harapkan untuk dapat mendorong penguatan nilai konstitusionalisme dan demokrasi, justru malah memukul mundur demokrasi kita,” tambah Indra.
Meninjau persoalan reformasi struktural dari perspektif yang berbeda, ahli ekonomi Alamsyah Saragih menyampaikan bahwa data menunjukan bahwa negara yang tata kelolanya buruk, berdampak juga pada pendapatan per kapitanya yang juga buruk. Apabila suatu negara mencapai sebuah titik berjalan di tempat, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap tata kelolanya.
“Di sinilah pentingnya melakukan reformasi struktural terhadap cabang-cabang kekuasaan utama dan lembaga-lembaga independen yang ada di Indonesia guna mewujudkan tata kelola yang lebih baik,” jelas Alamsyah.
Guru Besar HTN FH Unpad, Prof. Susi Dwi Harijanti, yang juga menghadiri kegiatan tersebut turut mengkritisi Putusan MK ini. Putusan ini menimbulkan ketidakpastian. Apakah sudah inkonstitusional sejak dibacakan atau menunggu 2 tahun? Pertanyaan selanjutnya apakah putusan uji formil dan materiil itu memiliki implikasi hukum yang berbeda?
Prof. Bagir Manan pun pernah menjelaskan bahwa apabila suatu peraturan itu cacat formil, maka harus dinyatakan batal demi hukum. Mahkamah Konstitusi justru berkompromi dengan hal tersebut. MK terbukti tidak bisa menegakkan putusannya sendiri dalam perkara Perppu Cipta Kerja.
Inkonstitusional Bersyarat dalam UU PPSK ini berkaitan dengan normanya. Jika sebuah norma sudah dinyatakan inkonstitusional, apakah keberlakuannya bisa ditunda? Bagaimana sebetulnya maknanya?
Menurut pandangan saya bahwa hal ini tidak bisa dilakukan. Kalau kembali pada makna awalnya menjaga independensi, harusnya Putusan ini serta merta berlaku. Ini artinya MK tidak konsisten dengan pertimbangannya sendiri. Perlu kita ingat bahwa justice delayed is justice denied,” tegas Susi.
Menanggapi pernyataan Prof. Susi Dwi Harijanti, Dr. Indra Perwira menyampaikan bahwa LPS harus menegaskan sikapnya terhadap putusan ini.
“LPS harus berani untuk menjalankan putusan ini dengan mengubah makna persetujuan ini hanya sebagai bentuk rekomendasi yang tidak mengikat dari Kementerian Keuangan. Jadi, secara tegas selama 2 tahun kedepan LPS tidak perlu melakukan pembahasan bersama Kemenkeu, tapi hanya sebatas meminta masukan,” pungkasnya.
NERACA Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dengan bangga memperkenalkan maskot terbaru mereka, Didi dan Melodi, sebagai…
NERACA Batam - Pakar Hukum Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam Dr Alwan Hadiyanto menyoroti hasil survei yang dirilis tahun 2025…
NERACA Bandung - Salah satu anggota perumus UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan UU Nomor 30 Tahun…
NERACA Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dengan bangga memperkenalkan maskot terbaru mereka, Didi dan Melodi, sebagai…
NERACA Batam - Pakar Hukum Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam Dr Alwan Hadiyanto menyoroti hasil survei yang dirilis tahun 2025…
NERACA Bandung - Salah satu anggota perumus UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan UU Nomor 30 Tahun…