Indonesia Beri Banyak Insentif PPN Dibanding Vietnam

NERACA 

Jakarta  - Sikap pemerintah yang tetap menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di tahu depan menuai kritik dan bahkan dibandingkan dengan Vietnam yang justru menurunkan tarif PPN. Merespon hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, Indonesia memberikan lebih banyak insentif pajak pertambahan nilai (PPN) dibandingkan dengan Vietnam.“PPN di Vietnam itu sangat terbatas pembebasannya. Insentif PPN kita jauh lebih besar daripada yang diberikan oleh Vietnam,”ujarnya di Jakarta, Senin (16/12).

Dia mencontohkan, Indonesia memberikan pembebasan pajak atau tarif PPN 0% terhadap bahan makanan pokok, seperti beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan gula pasir.

Sementara insentif yang diberikan Vietnam untuk bahan makanan pokok adalah pengurangan PPN menjadi hanya 5%.“Vietnam pasti juga melihat kondisi perekonomian yang mereka butuhkan. Tetapi, dari segi jumlah insentif yang diberikan oleh pemerintah, Indonesia memberikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan Vietnam,” kata dia.

Disampaikannya pula, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan adanya potensi penerimaan negara sejumlah Rp75 triliun setelah implementasi kenaikan tarif PPN 12%. “Potensi penerimaan sekitar Rp75 triliun dari kenaikan PPN 12%,” ujarnya.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan,  tarif PPN Indonesia yang saat ini sebesar 11% masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun anggota G20,“Tarif PPN di Indonesia dibandingkan banyak negara di dunia masih relatif rendah. Kalau kita lihat baik di dalam negara-negara yang sama emerging atau dengan negara di region, maupun dalam G20,”ujarnya.

Disampaikannya, beberapa negara dengan ekonomi serupa memiliki tarif PPN dan rasio pajak (tax ratio) yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebagai contoh, Brasil menetapkan tarif PPN sebesar 17% dengan tax ratio mencapai 24,67%. Afrika Selatan memberlakukan tarif PPN sebesar 15% dengan tax ratio 21,4%, sementara India memiliki tarif PPN 18% dengan tax ratio 17,3%.“Kemudian Turki 20% PPN-nya dengan tax ratio 16%. (PPN) 12% itu ada Filipina dengan tax ratio mereka sudah di 15,6 persen. Dan Meksiko PPN-nya 16%, tax ratio mereka di 14,46%,” papar Menkeu.

Pemerintah secara resmi melanjutkan amanat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menyebutkan bahwa tarif PPN naik menjadi 12% per 1 Januari 2025. Adapun pemerintah menargetkan penerimaan negara dari PPN dan PPnBM senilai Rp945,12 triliun yang terdiri dari PPN Dalam Negeri senilai Rp609,5 triliun dan PPN Impor senilai Rp308,74 triliun.  Sumber lainnya, yakni dari Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri senilai Rp10,78 triliun, PPnBM Impor Rp5,8 triliun, dan PPN/PPnBM Lainnya senilai Rp10,7 triliun.

Membandingkan dengan 2022, kala itu PPN naik dari 10% menjadi 11%, Sri Mulyani berhasil mengantongi Rp60 triliun. Artinya penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% akan lebih besar dari periode kenaikan tarif 2022 lalu.  Sebelumnya dalam pengumuman kebijakan PPN 12%, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa penerapan kenaikan tarif tersebut mengedepankan azas keadilan dan gotong royong serta memperhatikan aspirasi masyarakat. 

Di mana objek pajak yang selama ini telah dikenakan PPN 11%, tarifnya akan naik menjadi 12% mulai 2025, kecuali minyak kita, tepung terigu, dan gula industri yang akan tetap 11% (1% Ditanggung Pemerintah/DTP).  Mulai tahun depan pula, pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. 

Sebagai contoh, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal. Namun, pemerintah masih akan mendetailkan barang jasa yang tergolong premium tersebut. “Maka kita juga akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang merupakan barang jasa kategori premium tersebut,” tuturnya. Meski demikian, kenaikan tarif PPN 12% tersebut diiringi dengan gelontoran paket kebijakan ekonomi 2025 dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp40 triliun. Artinya, ‘cuan’ dari proyeksi pendapatan masih akan lebih besar dari belanja pajak untuk insentif tersebut. 

Paket kebijakan tersebut berisi 15 insentif yang diberikan mulai dari PPN DTP, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 DTP, PPh Final UMKM berlanjut, PPnBM DTP untuk mobil listrik dan hybrid, hingga tambahan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan. bani

 

BERITA TERKAIT

Sinergis dengan AEI - BRIDS Dukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

NERACA Jakarta – Rayakan hari jadi ke-36, Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyerukan sinergi untuk mendukung target pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi…

Pelemahan Bursa Asia Bawa IHSG Ke Zona Merah

NERACA Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Senin (16/12) sore ditutup turun mengikuti…

Pasca Akuisisi Suryamas Dutamakmur - BSDE Tender Wajib Saham Rp202,85 Miliar

NERACA Jakarta - Emiten properti, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) melakukan penawaran tender wajib sebanyak-banyaknya 382.016.642 (8,01%) saham PT…

BERITA LAINNYA DI Bursa Saham

Indonesia Beri Banyak Insentif PPN Dibanding Vietnam

NERACA  Jakarta  - Sikap pemerintah yang tetap menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di tahu depan menuai kritik dan bahkan…

Sinergis dengan AEI - BRIDS Dukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

NERACA Jakarta – Rayakan hari jadi ke-36, Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyerukan sinergi untuk mendukung target pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi…

Pelemahan Bursa Asia Bawa IHSG Ke Zona Merah

NERACA Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Senin (16/12) sore ditutup turun mengikuti…