NERACA
Jakarta - Majelis Masyayikh menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadikan lembaga pendidikan Islam ini mendapatkan pijakan hukum yang kuat sebagai institusi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
"Melalui UU ini santri dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja dengan ijazah yang diakui secara nasional," ujar Tenaga Ahli Majelis Masyayikh Abdul Waidl dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/10).
Menurutnya, UU tentang Pesantren itu bertujuan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya rekognisi, afirmasi, dan fasilitas bagi pendidikan pesantren.
Ia menekankan pendidikan pesantren telah setara dengan pendidikan formal lainnya, baik dalam kualitas kurikulum maupun mutu lulusannya.
"Pesantren tidak hanya sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi juga sebagai satuan pendidikan yang memiliki mekanisme dan jenjang tersendiri, seperti ula, wusto, hingga ulya," kata dia.
Waidl juga menjelaskan pentingnya standar kurikulum yang disusun oleh pesantren, namun tetap memperhatikan empat pelajaran yang diminta oleh pemerintah, yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA/IPS.
"Ini bertujuan agar santri dapat beradaptasi dengan pendidikan formal, sehingga dapat melanjutkan ke SMP atau SMA tanpa kesulitan," katanya.
Senada dengan Abdul, Anggota Majelis Masyayikh Amrah Kasim mengungkapkan latar belakang historis pesantren sebagai pusat perlawanan kolonialisme dan pemberdayaan sosial, yang kini telah berkembang menjadi lebih dari 40.000 lembaga di Indonesia.
Menurut dia, pesantren merupakan fondasi kuat dalam membentuk karakter bangsa. Namun sistem pendidikan nasional sebelumnya belum sepenuhnya mewadahi pesantren.
"Melalui UU ini kualitas dan kapasitas pesantren dapat ditingkatkan dan negara diharapkan hadir untuk mendukung peran pesantren secara penuh," ujar Amrah.
Lebih lanjut ia menjelaskan UU tersebut memiliki tiga prinsip utama yaitu rekognisi (pengakuan), afirmasi (penguatan), dan fasilitasi (dukungan).
"Pesantren memiliki peran strategis dalam pembangunan karakter bangsa. Namun, banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa ijazah pesantren sering kali tidak diakui oleh lembaga dan institusi," kata dia.
Melalui UU ini, kata dia, lulusan pesantren mendapat pengakuan yang sama dengan lembaga formal lainnya.
Sebelumnya Majelis Masyayikh baru-baru ini meluncurkan Dokumen Standar Penjaminan Mutu (SPM) Pesantren, yang menjadi langkah penting dalam memastikan implementasi UU Pesantren.
Dokumen ini tidak hanya sekadar pedoman teknis, tetapi juga sebagai referensi operasional yang menjelaskan standar pendidikan pesantren secara kualitatif.
Pengembangan sistem penjaminan mutu ini akan berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan tenaga pengajar, dan asesmen kelembagaan.
Majelis Masyayikh bertanggung jawab memastikan mutu pendidikan pesantren tetap terjaga. Dewan Masyayikh di tingkat pesantren akan menjadi penggerak utama dalam mengimplementasikan standar yang telah ditetapkan, dengan penilaian berkala oleh asesor yang ditunjuk. Ant
NERACA Jakarta - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK)…
NERACA Jakarta - Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evaluasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ary Prihardhyanto menyatakan bahwa investasi…
NERACA Jakarta - Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa E. Aminudin Aziz mengatakan bahwa kompetensi literasi yang mumpuni diimpikan untuk…
NERACA Jakarta - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK)…
NERACA Jakarta - Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evaluasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ary Prihardhyanto menyatakan bahwa investasi…
NERACA Jakarta - Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa E. Aminudin Aziz mengatakan bahwa kompetensi literasi yang mumpuni diimpikan untuk…