Sepember 2024, Harga Referensi Biji Kakao Melemah

NERACA

Jakarta – Harga Referensi (HR) biji kakao periode September 2024 ditetapkan sebesar USD7.916,91/metrik ton (MT), turun sebesar USD35,74 atau 0,45 persen dari bulan sebelumnya. Hal ini berdampak pada  penurunan Harga Patokan Ekspor (HPE) biji kakao pada September 2024 menjadi USD 7.478/MT, turun USD51 atau 0,68 persen dari periode sebelumnya.

Penurunan harga ini tidak berdampak pada BK biji kakao yang tetap sebesar 15 persen sesuai Kolom 4 Lampiran Huruf B pada PMK Nomor 38 Tahun 2024.

“Penurunan HR dan HPE biji kakao diantaranya dipengaruhi nilai tukar poundsterling Inggris terhadap dolar Amerika Serikat serta ketidakseimbangan antara permintaan dan produksi global,” ungkap irektur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim.

Sebelumnya, HR biji kakao periode Agustus 2024 ditetapkan sebesar USD7.952,65/MT, turun sebesar USD1.534,21 atau 16,17 persen dari bulan sebelumnya. Hal ini berdampak pada penurunan HPE biji kakao pada Agustus 2024 menjadi USD7.529/MT, turun USD1.493 atau 16,55 persen dari periode sebelumnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Kakao Indonesia, Soetanto Abdoellah mengungkapkan harga biji kakao di tahun ini akan bertahan di angka USD 4000/ton atau sekitar Rp60.000/kilogram (kg). Setidaknya harga ini merupakan peningkatan dari harga tahun sebelunya USD2.500/ton. Sehingga ini menjadi sinyal menarik bagi petani untuk mengembangkan kakao.

“Sementara itu kebutuhan dalam negeri cukup tinggi. Jika kita menggarap kakao 10.000 hektar (ha) kakao dengan asumsi 1 ton hanya bisa mendapatkan 10.000 ton. Sehingga peluang sangat besar, pasar sangat terbuka dan peluang untuk pengembangan kakao untuk menutupi impor kakao,” jelas Soetanto.

Kabar menarik lainnya, ternyata hilirasasi kakao cukup berjalan dengan baik. Contohnya untuk cokelat Indonesia ternyata sudah menjadi net ekspor. Tahun 2018 Indonesia masih defisit namun sejak tahun 2020 kita sudah mulai surplus cokelat.

“Tercatat pada tahun 2022 nilai ekspor kita sudah mencapai angka 25.701 ton sementara impor cokelat 23.361 ton. Hanya saja untuk dari sisi nilai kita masih defisit karena nilai transaksi dari ekspor USD73,7 juta sementara impor USD120,5 juta. Hal ini menunjukkan bahwa harga cokelat yang kita ekspor memang secara satuan lebih murah daripada cokelat yang kita impor,” ungkap Soetanto.

Sementara untuk pasta, Soetanto, lemak dan pupuk Indonesia juga telah menjadi pemain ekspor. Dimana untuk pasta nilai ekspor pada tahun 2022 mencapai USD183 juta sementara impor USD132,5 juta. Artinya surplus USD50,5 juta. Untuk nilai ekspor lemak kakao mencapai USD656 ribu dan bubuk USD636 ribu dengan impor yang sangat terbatas.

Hal menarik lainnya industri bean to bar di Indonesia juga cukup berkembang pesat. Saat ini ada 31 perusahaan yang bergerak di bidang ini dan menajdi terbanyak kedua setelah Amerika Serikat dengan jumlah pelaku 115 perusahaan.

“Optimisme ini juga turung ditopang tingginya kebutunan dalam negeri. Indonesia adalah pasar cokelat yang sangat potensial, terjadi kenaikan pasar cokelat di Indonesia . Saat ini konsumsi per kapita masih lebih rendah yakni 0,3 kg/kapita.  Namun secara keseluruhan, Indonesia merupakana negara dengnan Konsumsi tertinggi di Asia tenggara yakni mencapai cokelat 83,7 juta ton. Indonesia juga mengalami pertumbuhan dan penjualan cokelat paling tinggi di Asia Tenggara dan juga diperkirakan juga akan mengalami peningkan di tahun 2024 ini”, jelas Soetanto.

Sehingga tahun 2024 ini menjadi momentum bagi pekebun untuk mengembangkan perkebunan kakao, karena kebutuhan dalam industri dalam negeri cukup tinggi. Sementara itu kebutuhan produk cokelat dalam negeri dan secara global cenderung meningkat.

Lebih lanjut, pemerintah terus mendorong hilirisasi dengan harapan bisa memberikan nilai tambah, salah satunya yakni kakao. Hilirisasi produk kakao menjadi sumber ekonomi baru dengan cara diolah menjadi produk bernilai tinggi (high end product), terlebih Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia.

Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan, “Saya kira ini bentuk nyata ekonomi baru karena ada produk baru. Kita punya potensi besar dari sini (kakao) karena sebelumnya kita hanya jual bahan baku mentahnya tapi karena hilirisasi yang dilakukan Pipiltin maka bisa menciptakan produk baru."  

Adapun untuk menjadikan sumber ekonomi baru, perlu dilakukan pembenahan ekosistem atau rantai pasoknya agar permasalahan dari hulu - hilir dapat dituntaskan. Pasalnya banyak produk pertanian dan perkebunan menghadapi hambatan dalam pengembangannya karena ekosistem yang belum sempurna.

Sebagai contoh, Teten mengatakan, produk perkebunan dan pertanian kerap mengalami fluktuasi harga saat panen raya sehingga petani merugi. Kemudian banyaknya tengkulak yang memainkan harga sesuka hati. 

 

 

BERITA TERKAIT

Perluas Kerjasama Pengembangan Hulu Migas di Amerika Latin dan Karibia

NERACA Peru – PT Pertamina (Persero) terus menjajaki peluang kerja sama pengembangan hulu migas di negara-negara Amerika Latin dan Karibia atau…

Tahun 2025, Anggaran KKP Sebesar Rp6,22 Triliun

NERACA Jakarta – Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2025 disepakati sebesar Rp6,22 triliun, dalam rapat kerja Komisi IV…

Perundingan Indonesia"GCC FTA, Tingkatkan Ekspor ke Kawasan Arab Teluk

NERACA Jakarta – Indonesia dan Dewan Kerja Sama untukNegara Arab di Teluk telah melaksanakan Perundingan Putaran Pertama Perjanjian Perdagangan Bebas…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Perluas Kerjasama Pengembangan Hulu Migas di Amerika Latin dan Karibia

NERACA Peru – PT Pertamina (Persero) terus menjajaki peluang kerja sama pengembangan hulu migas di negara-negara Amerika Latin dan Karibia atau…

Tahun 2025, Anggaran KKP Sebesar Rp6,22 Triliun

NERACA Jakarta – Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2025 disepakati sebesar Rp6,22 triliun, dalam rapat kerja Komisi IV…

Perundingan Indonesia"GCC FTA, Tingkatkan Ekspor ke Kawasan Arab Teluk

NERACA Jakarta – Indonesia dan Dewan Kerja Sama untukNegara Arab di Teluk telah melaksanakan Perundingan Putaran Pertama Perjanjian Perdagangan Bebas…