TANTANGAN DI ERA DISRUPSI INDUSTRI PERS: - Dirjen Kominfo : Media Massa Harus Kreatif dan Inovatif

Jakarta - Media massa global tidak terkecuali Indonesia tengah mengalami disrupsi digital. Dimana perkembangan teknologi digital seperti media sosial (Medsos) dan artificial intelligence (AI) berjalan sangan pesat ,menjadi faktor pemicu disrupsi  terhadap industri pers nasional.  Belakangan, beberapa media massa  di Indonesia harus menutup operasionalnya karena tidak mampu lagi bersaing dengan gempuran Medsos. Oleh karena itu, untuk menjaga konsistensi, media massa dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan berita maupun dari sisi bisnis.

NERACA

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Usman Kansong, mengatakan, disrupsi digital dimana perkembangan media teknologi berkembang sangat pesat menjadikan perubahan perilaku terhadap masyarakat. Tadinya orang membaca, menonton media masa sekarang lebih suka mengakses media sosial.  

“Saat ini publik lebih memilih media sosial dibandingkan media massa dalam hal pencarian informasi. Oleh karenanya, media massa dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan berita atau informasi. Agar animo masyarakat terhadap media massa tidak hilang,” ujar Usman Kansong, saat ditemui Neraca di Jakarta, Sabtu (3/8). 

Dulu, lanjut Usman , orang mencari informasi lewat media massa, sekarang ada pada masa informasi mencari orang. Dengan mengatasnamakan  kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dan lain-lain,  semua orang saat ini bebas mengutarakan pendapat tanpa ada filter maka dari itu muncul lah berita Hoak. Sebenarnya, media massa punya kelebihan dalam hal menyaring berita. Dimana informasi yang disampaikan benar-benar informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Media digital punya kelebihan dalam hal kecepatan, dan lebih bebas, tanpa seleksi dan editing. Tapi kebenaran sumber informasinya dipertanyakan. Sementara media massa ada proses editing, seleksi, rapat redaksi, dipilah pilih mana yang layak dan tidak diberitakan. Harusnya media massa lebih bisa diterima karena informasi yang disajikan lebih terpercaya. Hanya saja butuh polesan dalam menyajikan informasi disesuaikan dengan selera masyarakat. Agar kepercayaan masyarakat terhadap pencarian informasi ke media massa tidak hilang,” lanjut dia.

Dari sisi bisnis, karena ada pola konsumsi terhadap informasi,  ada perubahan dari sisi bisnis dalam hal ini iklan. Tadinya iklan lebih banyak di media massa sekarang lebih banyak di platform media sosial, karena melihat tracking dari sisi pembaca maupun penonton. Sementara media massa juga hidup dari iklan karena sudah tidak lagi mengandalkan pelanggan. Maka dari itu media massa banyak yang berguguran karena kurang diminati iklan.  “Disini kenapa banyak media massa tutup karena iklan larinya ke media sosial.  Karena media sosial dianggap gratis, walaupun sebenarnya secara tidak langsung publik juga bayar lewat pembelian kuota. Dan itu yang mungkin tidak sadari oleh masyarakat,” ujarnya.

Makanya, menurut Usman,  kita perlu mengambil langkah-langkah kreatif.  Dari sisi pers harus melakukan berbagai macam upaya kreatifitas dengan  tetap mengedepankan etika jurnalistik, peliputan yang benar. Dan dari sisi pemerintah mencoba melakukan apa yang disebut dengan mempertahankan kehidupan media melalui Peraturan Presiden (Perpres)  tentang tanggungjawab platform digital untuk mendukung jurnalistik yang berkualitas . Ini sudah ditanda tangani presiden pada bulan februari  lalu dan akan berlaku pada Agustus ini.

“Kita berharap  Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang  Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas , media massa secara bisnis terbantu. Karena nanti di atur platform digital harus memberikan remunerasi kepada media massa kalau platform media sosial mengambil berita-berita dari media massa sehingga membantu mempertahankan sustainabilty media massa,” tegas Usman. 

Secara terpisah, Pengamat Komunikasi Dr. Agus Sudibyo mengatakan, saat ini industri media massa di dunia tengah menghadapi tantangan era disrupsi digital. Dimana, dunia jurnalisme saat ini tengah menghadapi tantangan berat dengan terimplementasinya algoritma di internet. Argumen mengenai keadaan media massa itu didasarkan dari dua asumsi yaitu dualitas institusi sosial dan ekonomi.

Keduanya, menurut Agus, saling berpengaruh satu sama lain dalam keberlangsungan ekosistem media massa baik itu skala nasional maupun global. "Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana beberapa perusahaan dapat menguasai berbagai sektor terutama ekosistem media massa di hampir di seluruh dunia terutama di Indonesia," papar Agus.

Karena itu, media massa, khususnya online jika ingin tetap bertahan dan mendapat pemasukan dari iklan harus mengikuti algoritma yang dimonopoli oleh platform tersebut.  Sedangkan, media konvensional hanya bermain dalam ekosistem yang sangat kecil.

Sementara itu, mengenai konten, alih-alih menyajikan informasi yang bermutu, media massa saat ini justru juga ikut mengambil sumber dari media sosial. Sehingga peristiwa yang diwartakan hanya sebatas pemberian informasi yang sebenarnya bisa ditemukan di medsos. "Saat ini 58 persen iklan media digital itu dikuasai oleh Google, lalu 24 persen dikuasai Meta. Jadi media konvensional hanya bermain di area 18 persen atau sisanya,” urainya.

Dia mengungkap salah satu kiat untuk membendung monopoli tersebut adalah dengan menggunakan sistem langganan bagi pembaca. Hal ini agar media massa tidak dapat didikte oleh trafik iklan yang kini dikuasai oleh platform tersebut.

Selain itu, proses pendalaman materi pun perlu diolah agar menjadi berita yang bernas saat dibaca publik. Sehingga kepercayaan publik terhadap media massa sebagi garda depan informasi tidak hilang.

Senada, Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Camelia Pasandaran, mengatakan media massa di era digital saat ini dinilai perlu mengambil kembali peran sebagai ‘penjaga gerbang’ atau "gate keeper" informasi untuk melawan penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Hal itu bisa dilakukan dengan terlibat dalam gerakan cek fakta dan menyajikan informasi yang kredibel.

"Platform digital jadi lahan subur penyebaran kabar bohong. Sebab, algoritmanya tak terlalu memedulikan aspek kebenaran konten. Oleh karena itu, media massa harusnya tetap menjadi corong sumber berita yang informasinya dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Perlu diketahui, pada masa Pemilu 2024, penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi di ruang digital makin masif. Hal ini memicu gangguan informasi yang menyesatkan. ”Dalam hal seperti ini media massa harus bisa menjadikannya momentum berperan sebagai ”penjaga gerbang” informasi demi mencerahkan publik,” tegas dia. 

Di sisi lain, media mainstream saat ini juga menghadapi problem shifting media dengan kehadiran media digital. Selain itu, tak bisa dipungkiri untuk kepentingan bisnis, media juga terjebak sebagai “media partisan” di tahun politik. “Media massa harusnya tetap pada independensi. Agar kepercayaan publik terhadap media massa tetap terjaga. Jangan sampai terbawa arus hanya terjebak dari sisi bisnis,” ujar Camelia. agus//fba

BERITA TERKAIT

PENILAIAN PENGAMAT EKONOMI: - Deflasi Saat ini Dipengaruhi oleh Faktor Domestik

  Jakarta-Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menilai kondisi deflasi yang terjadi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik.…

LITERASI KEUANGAN SYARIAH HANYA 39,11 PERSEN - Penetrasi Perbankan Syariah Masih Rendah

Jakarta-Meski Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah, saat ini penetrasi perbankan syariah di dalam negeri masih rendah, hanya…

WAPRES MA'RUF AMIN: - Tiga Langkah untuk Mengembangkan Ekosistem Syariah

  NERACA Jakarta – Wakil Presiden Ma'ruf Amin menekankan tiga langkah strategis yang perlu dijalankan secara konsisten untuk memastikan ekosistem…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PENILAIAN PENGAMAT EKONOMI: - Deflasi Saat ini Dipengaruhi oleh Faktor Domestik

  Jakarta-Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menilai kondisi deflasi yang terjadi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik.…

LITERASI KEUANGAN SYARIAH HANYA 39,11 PERSEN - Penetrasi Perbankan Syariah Masih Rendah

Jakarta-Meski Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah, saat ini penetrasi perbankan syariah di dalam negeri masih rendah, hanya…

WAPRES MA'RUF AMIN: - Tiga Langkah untuk Mengembangkan Ekosistem Syariah

  NERACA Jakarta – Wakil Presiden Ma'ruf Amin menekankan tiga langkah strategis yang perlu dijalankan secara konsisten untuk memastikan ekosistem…