PENILAIAN PENGAMAT EKONOMI: - Deflasi Saat ini Dipengaruhi oleh Faktor Domestik

 

Jakarta-Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menilai kondisi deflasi yang terjadi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik. Berbeda dengan deflasi sebelumnya seperti di tahun 2008-2009, faktor krisis global menyebabkan deflasi terjadi beberapa bulan berturut-turut.

NERACA

Sedangkan di masa pandemi Covid-19 juga sama ada faktor extra ordinary yang menyebabkan permintaan melemah. Menurut Nailul, saat ini faktor deflasi banyak disebabkan oleh pelemahan daya beli yang disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang tepat.

"Saya melihat kondisi harga komoditas masih bisa dibilang oke meskipun terjadi penurunan. Covid-19 sudah berjalan beberapa tahun ke belakang dan perdagangan global juga sudah dibuka," ujarnya kepada wartawan, Rabu (4/9).  

Terkait deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan berturut-turut. BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.

Sementara, jika dilihat pada 2022 pemerintah menaikkan harga pertalite yang pada akhirnya menggerus daya beli. Selain itu, kondisi pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan faktor pelemahan industri dan investasi yang seret. "Jadi treatment terhadap isu deflasi saat ini berbeda dengan kondisi deflasi tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.

Menuru dia, untuk mengatasi deflasi yang berkelanjutan Pemerintah harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. "Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan. Pembatasan pertalite harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi," tutur Nailul.  

Secara terpisah, Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita, menilai risiko dari deflasi yang berkelanjutan dalam empat bulan adalah penurunan tingkat konsumsi rumah tangga. Sehingga sangat berpotensi akan menekan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini, karena kontribusi konsumsi rumah tangga sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi nasional.

Risiko lanjutanya yakni prospek investasi untuk beberapa sektor yang terkait dengan konsumsi rumah tangga dan daya beli sehari-sehari masyarakat akan memburuk di satu sisi. Bahkan berpotensi terjadinya PHK alias gulung tikar, misalnya untuk sektor consumer good, manufaktur, terutama tekstil, dan properti.

"Prospek investasi untuk sektor-sektor ini akan menurun. Karena para investor akan berfikir panjang untuk melakukan ekspansi bisnis atau investasi baru di sektor ini, karena prospek pasarnya memburuk," ujar Ronny seperti dikutip Liputan6.com, pekan ini.

Sementara di sisi lain, dampak deflasi yang berturut-turut ini sudah imbasnya di sektor manufaktur yang eksis, aktivitas bisnis mereka terus tertekan. Kemudian, sebagian tenaga kerja akhirnya harus di "lay off" atau pemutusan kerja.

Namun kata Ronny, jika dilihat dari positifnya yakni untuk masyarakat umumnya penurunan harga baik untuk kantong, setidaknya tidak menekan daya beli, sehingga bisa tetap memdapatkan volume barang dan jasa setara dengan empat bulan lalu, karena harga cenderung stagnan. Tetapi minusnya seperti yang dijelaskan di atas, kurang bagus secara makro, karena berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengangguran, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, dia menyarankan, yang harus dilakukan pemerintah, pertama, melakukan intervensi dari sisi kebijakan sosial kesejahteraan dalam berbagai bentuk dan jenis agar bisa membatu daya beli masyarakat tidak semakin turun.

Kedua, melakukan berbagai macam terobosan agar tidak terjadi perluasan PHK di satu sisi dan mendorong percepatan pembukaan lapangan kerja baru dengan menstimulasi investasi baru di sisi lain. "Logikanya sederhana saja. Semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka, semakin banyak mayarakat yang berpendapatan, sehingga semakin banyak masyarakat yang mengosumsi barang dan jasa, lalu permintaan naik, prospek usaha dan investasi meningkat yang akan mengundang semakin banyak investasi baru, karena prospek permintaan semakin naik," ujarnya.

Pertama Kali

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan soal penyebab deflasi selama empat bulan berturut-turut di sepanjang 2024. Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.

Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, Indonesia mengalami deflasi empat kali berturut-turut ini disebabkan oleh faktor melimpahnya pasokan atau supply side. Terkait dugaan fenomena pelemahan daya beli masyarakat , dia menyebut perlu ada kajian yang lebih mendalam.

"Saya tegaskan kembali bahwa fenomena deflasi 4 bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply, artinya masih terjadi di sisi penawaran. Jika hal ini (deflasi) kemudian (dipengaruhi) pada pendapatan masyarakat maka kita perlu gaji lebih lanjut untuk bisa membuktikan asumsi tersebut," ujar Pudji di Gedung BPS Pusat, Jakarta, Senin (2/9).

Dia menjelaskan, tren deflasi hingga Agustus 2024 ini didukung oleh sisi penawaran atau supply side. Yakni, andil deflasi di sumbang karena penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan kemudian hortikultura dan peternakan.

Kondisi ini disebabkan karena biaya produksi yang terus menurun. Penurunan biaya produksi ini berdampak pada harga di tingkat konsumen juga ikut turun. "Nah ini juga karena seiring dengan adanya panen raya ya, sehingga pasokannya berlimpah dan akibatnya harganya juga ikut turun," tutur dia.

Pudji mengatakan, tren peristiwa deflasi selama empat bulan berturut-turut ini bahkan pertama kali terjadi. Dalam catatan BPS, pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia Indonesia mengalami pernah deflasi selama 7 bulan berturut-turut yaitu selama bulan Maret 1999 sampai dengan september 1999. "Deflasi ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga barang beberapa jenis barang," ujarnya.

Kemudian periode deflasi lainnya yang terjadi pada tahun Desember 2008 hingga Januari 2009 selama krisis finansial global. Saat itu, deflasi terjadi karena penurunan harga minyak dunia dan juga karena permintaan domestik yang melemah.

Selanjutnya, Indonesia juga kembali mencatatkan deflasi selama 3 bulan berturut-turut yaitu sejak Juli sampai dengan September 2020. Deflasi ini dipicu oleh empat kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi yaitu kelompok makanan minuman dan tembakau, kelompok pakaian dan alas kaki, kelompok transportasi, serta kelompok informasi komunikasi dan jasa keuangan. "Dengan (deflasi) 4 kelompok ini mengindikasikan bahwa penurunan daya beli tahun 2020 pada periode awal pandemi 2019 kemarin," tegas dia.

Sebelumnya dilaporkan Jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2019 lalu. Fenomena ini terungkap dalam hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 yang diadakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS mencatat jumlah kelas menengah pada tahun 2019 mencapai 57,33 juta orang. Jumlah penduduk kelas menengah tersebut menyumbang 21,45 persen dari proporsi penduduk. Pada tahun 2021 jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan tajam menjadi 53,83 juta atau setara 19,82 proporsi penduduk. Dia menyebut, penurunan kelas menengah ini masih disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19.

Fenomena penurunan jumlah kelas menengah ini kembali berlanjut pada tahun 2022. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin turun menjadi 49,51 juta dari tahun sebelumnya atau setara 18,06 persen penduduk. Pada tahun 2023 jumlah penduduk kelas menengah kembali menurun menjadi 48,27 jiwa. BPS mengonfirmasi jumlah penduduk kelas menengah itu setara 17,44 proporsi dari jumlah penduduk. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Pentingnya TNI-Polri Jaga Stabilitas di Tengah Gejolak Global - PRESIDEN JOKOWI:

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya peran institusi TNI dan Polri dalam menjaga stabilitas nasional bagi keberlanjutan…

KEBIJAKAN KONTROVERSIAL PP 28/2024: - Puluhan Asosiasi Lintas Sektoral Sepakat Menolak

Jakarta-Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada PP No.28 Tahun 2024…

TARGET PERTUMBUHAN EKONOMI 8 PERSEN: - Pengamat: PR Berat bagi Presiden Terpilih Prabowo

Jakarta-Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi PR yang berat…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Pentingnya TNI-Polri Jaga Stabilitas di Tengah Gejolak Global - PRESIDEN JOKOWI:

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya peran institusi TNI dan Polri dalam menjaga stabilitas nasional bagi keberlanjutan…

KEBIJAKAN KONTROVERSIAL PP 28/2024: - Puluhan Asosiasi Lintas Sektoral Sepakat Menolak

Jakarta-Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada PP No.28 Tahun 2024…

TARGET PERTUMBUHAN EKONOMI 8 PERSEN: - Pengamat: PR Berat bagi Presiden Terpilih Prabowo

Jakarta-Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi PR yang berat…