Jakarta-Pengamat perpajakan yang juga dosen FEB-UI Prianto Budi Saptono menilai aturan baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kegiatan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi, untuk meningkatkan kepatuhan WP secara sukarela (voluntary compliance)
NERACA
Prianto menjelaskan dampak dari diterbitkannya aturan baru pajak karyawan. Aturan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi. “Iya (aturan itu bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak),” ujarnya seperti dikutip Tempo.co, pekan ini.
Ujung dari pelaksanaan kewajiban pajak, menurut dia, adalah kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Sehingga compliance cost (biaya kepatuhan), biaya WP dalam memenuhi persyaratan perpajakan yang dikenakan pada mereka oleh hukum dan otoritas tertentu menjadi berkurang.
Selain itu, kata Prianto, dari sisi otoritas pajak, aturan yang diundangkan pada 27 Desember 2023 dan mulai berlaku 1 Januari 2024 itu bisa menurunkan administration cost (biaya administrasi). “Pengawasan kepatuhan pajak lebih sederhana karena Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dapat langsung mengecek perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang langsung dihitung dari penghasilan brutonya,” tutur Prianto.
Dia juga mengatakan sesuai konsiderans PP No. 58 Tahun 2023, tujuan beleid tersebut adalah untuk kesederhanaan dan kemudahan penghitungan PPh Pasal 21 bagi WP. “Penerapan TER berlaku untuk masa Januari-November. Sementara itu, masa Desember, perhitungannya menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh,” ujarnya.
Menurut Prianto, aturan tersebut tidak bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Aturan itu hanya mengatur Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang hanya untuk menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) Januari-November. “Berfungsi sebagai uang muka PPh 21 yang di perhitungan masa Desember,” ujarnya.
Prianto menjelaskan target penerimaan PPh Pasal 21 sudah ditetapkan di Undang-Undang APBN 2024 dan Perpres Nomor 76 Tahun 2023. Penerimaan PPh 21 disokong oleh perluasan objek PPh 21 yang sudah mencakup imbalan tunai dan nontunai (natura dan kenikmatan).
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan tujuan diterbitkannya peraturan itu untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang. “Kemudahan tersebut tercermin dari kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya (01/1).
Menurut Dwi, sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). “Dengan peraturan pemerintah ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif. Penerapan tarif efektif bulanan bagi pegawai tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) untuk masa pajak selain Masa Pajak Terakhir.
Sedangkan penghitungan PPh 21 setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh seperti ketentuan saat ini. Ditjen Pajak sedang menyiapkan alat yang akan membantu dalam memudahkan penghitungan PPh 21, yang dapat diakses melalui DJPOnline mulai Januari 2024. “Selanjutnya pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini dalam proses penyusunan tahap akhir,” tutur Dwi.
Pemerintah menyadari bahwa pemotongan PPh Pasal 21 saat ini memiliki berbagai skema penghitungan yang berpotensi membingungkan WP. Selain itu, secara administrasi perpajakan dianggap memberatkan bagi WP yang berusaha untuk melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Sehingga, dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan WP terhadap pemenuhan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21, Pemerintah memberikan kemudahan teknis penghitungan dan administrasi pemotongan PPh Pasal 21.
Sebagaimana diketahui, PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU PPh. Adapun Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan batasan penghasilan WP orang pribadi yang tidak dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Menilik lebih dalam, Pasal 21 ayat (5) UU Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diubah terakhir dengan UU mengamanatkan pembaruan beleid selevel PP tersebut. Ayat tersebut berbunyi: “Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah”. Adapun Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh mengatur mengenai tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WP orang pribadi dalam negeri.
Terkait tujuannya, terdapat tiga pembaruan yang diharapkan mampu menghasilkan proses bisnis perpajakan yang efektif, efisien, dan akuntabel. Pertama, memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi WP untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 di setiap masa pajak. Kedua, meningkatkan kepatuhan WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketiga, memberikan kemudahan dalam membangun sistem administrasi perpajakan yang mampu melakukan validasi atas perhitungan WP.
Lantas bagaimana mengenai dampaknya? Faktanya, tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif. Penerapan tarif efektif bulanan bagi pegawai tetap, hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Sementara itu, penghitungan PPh Pasal 21 setahun pada masa pajak terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebagaimana ketentuan saat ini.
Isi PP-58/2023
Penerapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP. Penerapan tarif efektif ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dan penyederhanaan bagi WP.
PP-58 Tahun 2023 terdiri dari 3 (tiga) bab dan 5 (lima) pasal. Bab I berisi definisi. Bab II berisi tarif dan subjek pajak. Bab III berisi pencabutan pasal pada peraturan lama dan pemberlakuan peraturan baru. Pada Pasal 2, diatur bahwa tarif pemotongan PPh Pasal 21 terdiri atas tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21.
Selanjutnya, PP-58 Tahun 2023 mengatur tarif efektif yang terdiri atas tarif efektif bulanan dan harian. Tarif efektif bulanan tersebut dikategorikan berdasarkan besarnya PTKP sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan WP pada awal tahun pajak. Adapun penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penerapan tarif efektif bulanan pemotongan PPh 21 yaitu penghasilan yang diterima WP OP dalam satu masa pajak.
Kemudian dalam menghitung tarif efektif harian, penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan PPh 21 yaitu penghasilan Pegawai Tidak Tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan. Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…
Maret 2025, Nilai Ekspor Capai USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…
Maret 2025, Nilai Ekspor Capai USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…