Jakarta-Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasan penghapusan mandatory spending alias kewajiban belanja dalam RUU Kesehatan yang sudah resmi disahkan menjadi UU pekan ini. Sementara itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tetap di bertanggung jawab kepada Presiden sesuai UU Kesehatan baru.
NERACA
Budi menilai besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia. Ia mencontohkan mandatory spending besar yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Kuba.
Menurut Budi, rata-rata usia hidup warga di kedua negara itu tidak setinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, padahal ketiga negara itu tidak menetapkan mandatory spending yang besar. "Jadi di seluruh dunia orang sudah melihat harus fokusnya bukan ke spending, fokusnya ke outcome. Fokusnya bukan ke input, fokusnya ke output," ujarnya, pekan ini.
Budi menilai fokus kepada program dilakukan sebagai bentuk efisiensi anggaran. Ia mengaku telah banyak menerima laporan kejadian penggunaan anggaran kesehatan yang tak tepat sasaran
Selain itu, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal. "Bapak presiden juga sempat berbicara berapa kali, uangnya dipakai buat apa? Dan saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian kita nggak jelas untuk apa," katanya.
Budi mengatakan pemerintah akan melakukan menjalankan dan melakukan pengawasan pada program yang termaktub dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) yang akan dibuat setiap tahunnya dan akan dibahas bersama lembaga legislatif. "Oleh karenanya pendekatannya kita setuju dengan DPR, pendekatannya adalah program, bukan pendekatan ruang. Pendekatannya adalah output atau lisan, bukan input," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com..
UU Kesehatan yang baru disahkan menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending atau wajib belanja. Dalam Pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Pada bagian lain, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tetap di bertanggung jawab kepada presiden dalam UU Kesehatan baru. Tadinya, dalam berbagai draf yang beredar saat pembahasan di DPR, sempat muncul klausul BPJS Kesehatan berada di bawah komando menteri kesehatan (Menkes).
Dalam salah satu draf, kewenangan baru menkes itu diatur dalam Pasal 425 RUU Kesehatan. Posisi BPJS Kesehatan berada di bawah Menteri Kesehatan dalam pengelolaan program JKN, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan berada di bawah Menteri Ketenagakerjaan dalam mengelola program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Selain itu, dalam draf RUU itu juga memuat ketentuan tentang kewajiban BPJS melaksanakan penugasan menteri. Wacana pemindahan tanggung jawab ini memang sempat mendapatkan tentangan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Menurut dia, jika hal itu terjadi maka bisa melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU tersebut menyatakan menteri tidak bisa mengontrol atau mengusulkan pemberhentian direksi maupun dewan pengawas.
Pasalnya, direksi dan dewan pengawas bertanggung jawab langsung ke presiden. Dia menegaskan BPJS sebagai lembaga jaminan sosial institusional harus berdiri sendiri (independen). "Iya kalau BPJS seperti itu (ingin tetap independen)," ujarnya, pekan lalu.
Menurut dia, saat ini dengan regulasi yang berlaku kinerja BPJS Kesehatan sudah baik. "Tanya saja, BPJS semakin bagus atau semakin jelek? Memang masih ada masalah, masih ada hal yang jelek, masih ada. Tapi bukan berarti kemudian diubah secara mendasar tanpa satu pertimbangan secara filosofis, secara yuridis, secara operasional praktis. Itu harus dipertimbangkan secara matang," katanya.
Tidak Wajib
Undang-undang (UU) Kesehatan baru tak mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan. Bahkan, beleid terbaru yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7) kemarin menghilangkan istilah "BPJS Kesehatan" yang tadinya ditemukan pada draf terakhir.
Kendati demikian, Pasal 100 (1) UU Kesehatan baru tetap mewajibkan pemberi kerja menjamin kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerjanya.
Lalu, Pasal 100 (2) mengatur pekerja dan setiap orang yang berada di lingkungan tempat kerja wajib menciptakan dan menjaga lingkungan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku di tempat kerja.
Pemberi kerja juga wajib menanggung biaya atas penyakit akibat kerja, gangguan kesehatan, dan cedera akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dorongan dan bantuan untuk pelindungan pekerja," menurut Pasal 100 (4) UU Kesehatan baru.
Selain itu, Pasal 411 (2) UU Kesehatan baru juga mengatur seluruh penduduk wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Namun, uu baru itu tidak mengatur terkait sanksi jika ada orang yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan. "Penduduk yang ingin mendapat manfaat tambahan dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan dan/atau membayar secara pribadi," menurut Pasal 411 (5) UU Kesehatan baru.
Sesuai Pasal 411 (6), manfaat tambahan melalui asuransi kesehatan tambahan dapat dibayarkan oleh pemberi kerja dan/atau dibayar secara pribadi, yang dilaksanakan dengan koordinasi antar penjamin kesehatan lainnya.
Pada draf sebelumnya, Pasal 424 RUU Kesehatan mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam Pasal 424 Angka 1, draf tersebut mengubah Pasal 13 UU 40/2004 dengan mengatur kewajiban pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Pekerja juga berhak mendaftarkan dirinya sendiri sebagai tanggungan pemberi kerja.
Meski demikian, kewajiban pemberi kerja untuk memungut iuran BPJS Kesehatan dari pekerja dan memberikannya masih tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Apabila melanggar, pemberi kerja diancam bui paling lama delapan tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Selain itu, Omnibus Law RUU Kesehatan juga menghapus rekomendasi organisasi profesi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP).Berdasarkan draf final pasal 264, syarat mendapatkan SIP hanya memerlukan surat tanda registrasi (STR) aktif dan memiliki tempat praktik.
Menkes menyebut keputusan itu berdasarkan pertimbangan banyak dokter di banyak wilayah. "Misalnya kita lihat substansinya apa rekomendasi dari OP, itu tidak dipindahkan, jadi kita hapuskan. Itu untuk menjaga bagaimana kita tahu etikanya bagus atau tidak," ujar Budi. .
Budi juga mengaku mendapatkan banyak laporan bahwa para dokter-dokter di kota besar sulit mendapatkan SIP lantaran ada senioritas hingga nepotisme yang dilakukan sejumlah oknum OP.
Dengan demikian, Budi menginginkan agar terdapat sistem yang transparan dan akuntabel, sehingga rekomendasi organisasi profesi akhirnya diputuskan dihilangkan dalam penerbitan SIP. Ia juga mengklaim tujuannya selama ini adalah untuk menyederhanakan aturan yang sudah ada. "Yang masuk RS, butuh rekomendasi, sifatnya personal dari senior, kejadian itu berulang kembali," ujarnya.
UU Kesehatan menghapus rekomendasi OP dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP). Sementara berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran misalnya, dalam pasal disebutkan syarat menerbitkan SIP ada tiga kondisi.
Berdasarkan pasal 38, tiga syarat yakni wajib memiliki STR aktif, tempat praktik, dan rekomendasi OP. Namun dalam Omnibus Law UU Kesehatan, syarat menerbitkan SIP hanya dua, yakni memiliki STR dan tempat praktik.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan bakal melakukan judicial review alias menggugat UU tentang Kesehatan yang barus disahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Harif mengatakan langkah uji materi tersebut lebih realistis ketimbang melakukan aksi mogok nasional dalam menolak UU Kesehatan tersebut. "Nah itu belum [aksi mogok nasional], apalagi karena sudah disahkan, paling realistis kita lakukan judicial review dulu lebih awal," ujar Harif.
Di sisi lain, Harif mengatakan aksi mogok nasional itu tak bisa dilakukan hanya di internal PPNI lantaran harus dilakukan bersama keempat organisasi profesi kesehatan lainnya. Keempat organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). bari/mohar/fba
NERACA Jakarta – Upaya PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance) dalam menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik…
NERACA Jakarta - PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menerima kunjungan Delegasi ZEEA Zanzibar dalam rangka kegiatan benchmarking pemberdayaan ekonomi berbasis…
NERACA Kuningan - Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyebut wilayahnya ditunjuk sebagai lokasi percontohan (pilot project) program linieritas pengentasan kemiskinan…
NERACA Jakarta – Upaya PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance) dalam menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik…
NERACA Jakarta - PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menerima kunjungan Delegasi ZEEA Zanzibar dalam rangka kegiatan benchmarking pemberdayaan ekonomi berbasis…
NERACA Kuningan - Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyebut wilayahnya ditunjuk sebagai lokasi percontohan (pilot project) program linieritas pengentasan kemiskinan…