Menanti Kebijakan Sawit

Kalangan produsen minyak sawit kini menanti perubahan kebijakan ekspor produk sawit, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit makin strategis. Apalagi meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditas utama itu minyak yang hanya bisa diproduksi di daerah tropis seperti Indonesia terus meningkat.

Minyak sawit ini memang sangat kompetitif, sehingga popularitasnya tak terbendung meski terus dihadang kampanye negatif yang dilakukan negara-negara Barat. Produktivitasnya jauh lebih tinggi dari minyak nabati yang lain, seperti minyak bunga matahari, kedelai, jagung, yang diproduksi di wilayah negara subtropis.

Tidak mengherankan jika harga minyak sawit lebih murah US$ 150-200 per ton ketimbang minyak nabati yang lain. Sedangkan kualitasnya juga baik, terutama dalam menghasilkan produk dengan tekstur yang diinginkan untuk produk makanan. Industri pangan di seluruh dunia paling banyak menggunakan cooking oil dari sawit, termasuk di Eropa dan Amerika Serikat yang seringkali menolak produk sawit.

Apalagi, palm oil tidak hanya dibutuhkan untuk bahan baku minyak goreng dan beragam produk makanan yang lain. Penggunaannya makin meluas untuk berbagai industri, seperti farmasi, kosmetik, hingga bahan bakar terbarukan jenis biodiesel. Industri-industri ini telah menggeliat seiring permintaan yang menguat, lantaran aktivitas warga dan kegiatan ekonomi mulai pulih setelah dilakukan vaksinasi massal dan pandemi Covid-19 terkendali.

Mengingat laju konversi dari lahan pertanian ke peruntukan lain terus terjadi, sementara penduduk dunia sudah bertambah mendekati 8 miliar, pasokan minyak nabati dari sumber lain makin tak mampu mengejar peningkatan permintaan. Di sinilah minyak sawit akan makin strategis ke depan.

Harga komoditas utama itu yang sudah naik sejak tahun lalu seiring mobilitas masyarakat yang meningkat, dan kini makin melambung karena tersendatnya pasokan minyak nabati akibat perang Rusia-Ukraina, ke depan diproyeksikan tetap tinggi. Apalagi, Indonesia saat ini masih melakukan larangan ekspor bahan baku minyak goreng maupun minyak goreng, hingga harga minyak goreng curah di dalam negeri turun kembali ke Rp 14.000 per liter, dari saat ini yang masih sekitar Rp 20.000 per liter di banyak daerah.

Apabila menyimak data United States Department of Agriculture (USDA), pangsa pasar minyak sawit pada 2021 telah menembus 35,1% dari total minyak nabati dunia, padahal 1990 baru 13,9%. Sedangkan minyak kedelai yang tiga dekade lalu unggul di atas minyak sawit dengan pangsa pasar 19,6%, meski market share juga bertambah, namun telah bergeser ke posisi ke kedua sebesar 28,6% tahun lalu.

Eksportir minyak kedelai dunia ini yang terbesar adalah Argentina sekitar 5,9 juta ton, berdasarkan data IndexMundi. Berikutnya adalah Brasil 1,55 juta ton, 27 negara Uni Eropa 950 ribu ton, dan Amerika Serikat 646 ribu ton.

Tidak hanya itu. Minyak sawit di dalam negeri juga strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi dan bahan bakar minyak (BBM). Ditingkatkannya campuran biodiesel minyak sawit menjadi 30% dalam program B30 (dicampur dengan 70% solar), bisa memangkas impor minyak/BBM, sehingga mengurangi defisit neraca perdagangan migas RI.

Nah, tidaklah berlebihan jika pemerintah dapat segera membuka kembali keran ekspor produk minyak sawit yang sangat penting untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Apalagi Presiden Jokowi pernah mengatakan, ekspor akan diiizinkan lagi setelah harga minyak goreng curah di dalam negeri sudah turun ke patokan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.

Kita tentu mendukung sejumlah langkah perbaikan tata kelola distribusi seperti menjaga tertib aturan kewajiban domestic market obligation (DMO) 20% agar ketersediaan pasok minyak goreng tetap terjamin, bahkan jika perlu mekanisme distribusi melibatkan peran Bulog supaya aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak curah tetap stabil Rp 14.000 per liter. Semoga.

BERITA TERKAIT

Satgas PHK

  Dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan nasional yang semakin kompleks, Pemerintah mengambil langkah progresif dengan mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan…

Peringatan IMF

Ketika Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025 memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1%…

Koperasi Merah Putih

   Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih menjadi langkah strategis…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Satgas PHK

  Dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan nasional yang semakin kompleks, Pemerintah mengambil langkah progresif dengan mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan…

Peringatan IMF

Ketika Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025 memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1%…

Koperasi Merah Putih

   Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih menjadi langkah strategis…