Hilirisasi Industri di Indonesia Belum Digarap Optimal

Jakarta - Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, hanya saja kekayaan alam yang ada belum digarap secara maksimal. Sejauh ini produk ekspor yang dilakukan masih berkutat pada bahan mentah sehingga tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Harusnya, Indonesia mempunyai roadmap yang jelas terhadap hilirisasi industri, agar SDA yang ada bisa memiliki nilai tambah, sehingga ekspor produk Indonesia mempunyai nilai tambah, dengan begitu otomatis mampu menopang perekonomian nasional secara mapan.

NERACA

Hal itu ditegaskan oleh Eisha M Rachbini, peneliti Indef, yang menyebutkan dari riset tentang hilirisasi industri di Indonesia poin penting yang harus dicatat adalah dengan kepemilikan SDA berlimpah Indonesia harus bisa menemukan cara agar SDA berlimpah dapat diolah oleh industri pengolahan dalam negeri dan menciptakan produk yang bernilai tambah tinggi. “Sejauh ini hanya mengandalkan ekspor bahan mentah yang tergantung pada volatilitas harga komoditas di luar negeri.  Jika harga lagi bagus, pendapatan negara naik. Tapi kalau harga lagi turun, otomatis pendapatn turun.  Seperti pertumbuhan ekonomi kuartal IV ini yang bergantung kepada bahan mentah dan sumberdaya alam dimana harganya di pasar internasional naik pesat.,” kata Eisha, saat menjadi pembicara pada diskusi LP3ES melalui platform twitter space @djrachbini bertajuk “Politik Industri Nasional dan Program Hilirisasi”, pada pekan ini. 

Menurutnya, Indonesia harus menempuh reformasi struktural perekonomian dari produk-produk bernilai tambah rendah kepada produk bernilai tambah tinggi. Harus ada perpindahan alokasi sumber daya dari modal kerja dan tenaga kerja ke sektor produksi bernilai tambah tinggi. Proses tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh negara industri maju yang memulai dari industri pengolahan ke industrialisai skala besar manufaktur, kemudian baru beralih ke sektor jasa yang mempunyai kontribusi besar dari masing-masing sektor terhadap GDP.

”Sejauh ini Indonesia tertinggal dalam kebijakan industri dibandingkan Vietnam, yang sebenarnya dulu di bawah Indonesia. Potensi ekspor Vietnam adalah produk2 industri, sedangkan potensi ekspor Indonesia adalah bahan mentah dan sumberdaya alam – seperti yang menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini.,” ungkapnya lagi.

Dimana, masih menurut Eisha, di Indonesia program hilirisasi dan industrialisasi belum berjalan maksimal. Setelah masa 80-an peran sektor manufaktur terindikasi menurun dengan produk-produk bernilai tambah tinggi juga hilang.  Ini menunjukkan bahwa politik industri tidak berjalan, sehingga mendesak sekarang dilakukan.  “Jika ingin ekonomi Indonesia lebih maju  maka hilirisasi dan industrialisasi harus dikerjakan mulai dari sekarang,” tegasnya.

Di Indonesia sendiri, lanjutnya, karena industrinya tidak berjalan jika ada gonjangan maka langsung berimbas pada menurunya ekonomi di masyarakat. Berbeda dengan negara maju seperti Jerman yang ketika memasuki tahapan menurunnya industrialisasi namun telah mencapai pendapatan per kapita yang tinggi sebagai negara maju. Sementara Indonesia malah menurun dari negara midle menjadi negara lower midle income.  Untuk itu, Indonesia harus mengupayakan keluar dari jebakan midle income trap dengan industri yang mempunyai produk berniai tambah tinggi seperti vietnam sekarang, hingga mempunyai daya saing. Untuk itu memang dibutuhkan investasi untuk mengembangkan industri pengolahan yang dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. “Kembali lagi, untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju, ya tidak ada penawaran lagi hilirisasi industri sudah jadi harga mati, digarap secara matang dan optimal,” tegasnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Fachru Nofrian, Peneliti LP3ES yang juga Dosen UPN, menambahkan, satu-satunya strategi ekonomi yang bisa menghasilkan akumulasi hanyalah Hilirisasi dan industrialisasi. Sayangyna, di Indonesia muncul hilirisasi tetapi tidak mempunyai politik industri mumpuni, sehingga tidak terjadi industrialisasi. Selama orde baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang rata-rata tinggi 7 persen, tetapi tidak ada industrialisasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi terjadi tetapi tidak terjad industrialisasi. Jika ada gejolak, dan industrialisasi belum digarap maka pertumbuhan ekonomi langsung turun drastis, seperti yang terjadi sekarang.

“Pendemi Covid-19 memang mengancurkan seluruh sektor baik global maupun nasional. Tapi negara-negara maju yang memang sudah menggarap hilirisasi industri mereka lebih cepat bangkit secara ekonomi. Bebeda dengan Indonesia, pemulihan ekonominya akan berjalan lamban setelah Pandemi Covid-16. Seperti sekarang berdasarkan data BPS pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2021 hanya 3,69 persen,” ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, tantangan utama dalam politik industri di Indonesia, terjadi paradoks yang seharusnya bisa diatasi oleh politik industri. Politik industri harus dapat memilah-milah mana jebakan-jebakan paradoks kepada industrialisasi, mana yang akan membawa hilirisasi yang mengandung muatan proses industrialisasi. “Hambatan yang selalu muncul dalam politik industri adalah karena terlalu berorientasi pada finance/keuangan. Sehingga indikator yang muncul serinkali misleading atau salah sarah oleh sektor keuangan. Seolah-olah telah tercipta akumulasi petumbuhan, padahal bukan. Finance menciptakan target yang salah sasaran,” lanjutnya. 

“Politik industri yang langsung pada ekspor apalagi hanya tergantung pada harga komoditas internasional tidak akan menumbuhkan ekonomi domestik karena akan tidak balance. Ekspor langsung barang mentah tidak akan menciptakan surplus dan akumulasi, bahkan pada ujungnya politik industri akan berorientasi pada kebijakan politik moneter,” imbuhnya.

Untuk itu, perlu juga diingatkan kembali akan pentingnya mekanisasi di Indonesia. Mekanisasi telah memasuki tingkat yang semakn mengalami penurunan. Mekanisasi yang kuat merupan indicator dari adanya orientasi yang cukup kuat ke arah politk industri dan hilirisasi. “Jika pemerintah ingin mengembangkan Politik Industri maka perlu meningkatkan mekanisasi di Indonesia,” tuturnya.

Industrialisasi Ditinggalkan

Mantan Sekretaris Kabinet (Seskab) Dr. Dipo Alam menyatakan. peta jalan industrialisasi di Indonesia sebenarnya sempat dibuat pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun terhenti dan hilang setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat. “Ironisnya, setelah reformasi politik, industrialisasi malah ditinggalkan,” ujarnya.

Dimana, Di era Pak Harto, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, penanganan dan perhatian pada sektor pertanian dan pupuk termasuk luarbiasa. Politik industri ke mekanisasi pertanian dengan membangun industri pupuk,NPK, semua ada konsepnya. Pak Harto memiliki data-data statistik industri pertanian lengkap.

“Celakanya, sekarang subsidi pupuk malah jadi bancakan korupsi di pusat dan daerah. Politik industri telah ditinggalkan. KKN luarbiasa terjadi pada subsidi pupuk. Padahal dulu ada Kuntoro Mangkusubroto ahli sistem ITB yang menciptakan UKP4 yang bisa memonitor sektor pertanian, sehingga para Bupati, Kepala Desa, Parpol-parpol yang disetir oligarki tidak bisa bermain-main dengan pupuk. Jelas, korupsi dan KKN harus diberantas jika mau membangun sistem yang baik,” ujarnya. agus

BERITA TERKAIT

ESDM: Peningkatan 'Joint Study' Hulu Migas Indikator Minat Investasi

NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…

PENERIMAAN PAJAK TRIWULAN I-2025 TURUN 18,1% - Menkeu Optimis Pertumbuhan di Kisaran 5%

  Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…

Maret 2025, Nilai Ekspor Capai US$23,25 Miliar

  Maret 2025, Nilai Ekspor Capai  USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

ESDM: Peningkatan 'Joint Study' Hulu Migas Indikator Minat Investasi

NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…

PENERIMAAN PAJAK TRIWULAN I-2025 TURUN 18,1% - Menkeu Optimis Pertumbuhan di Kisaran 5%

  Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…

Maret 2025, Nilai Ekspor Capai US$23,25 Miliar

  Maret 2025, Nilai Ekspor Capai  USD23,25 Miliar Jakarta – Maret 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 23,25 miliar.…