Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dipertanyakan Asing, Wajarkah?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen (yoy). Banyak pihak meragukan data BPS tersebut, termasuk dari dunia internasional. Alasannya, mereka terheran-heran melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa sangat “stabil” di sekitar 5 persen, terus-menerus untuk jangka waktu cukup panjang. Untuk 2019, pertumbuhan ekonomi juga merata, masing-masing 5,07 persen (triwulan I), 5,05 persen (triwulan II-2019), dan 5,02 persen (triwulan III-2019).

Tidak lama berselang pengumuman BPS, Bloomberg.com langsung memuat berita “Economists Are Suspicious of Indonesia’s Steady GDP Figures” (https://www.bloomberg.com/news/articles/2019-11-05/indonesia-s-steady-economic-growth-leaves-economists-puzzled). Gareth Leather, ekonom Capital Economics Ltd. yang berbasis di London secara gamblang meragukan data BPS tersebut: “We don’t have much faith in Indonesia’s official GDP figures, which have been suspiciously stable over the past few years”. Karena, menurut analisis mereka, merujuk data ekonomi bulanan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah melambat drastis dalam setahun belakangan ini.

Tentu saja keraguan atas data BPS tersebut langsung dibantah oleh BPS dan juga Kementerian Keuangan. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto) dan pertumbuhan ekonomi sudah mengikuti pedoman yang ketat. Dan juga dipantau oleh institusi internasional, seperti IMF (International Monetary Fund).

Bahkan menteri keuangan Sri Mulyani turut membela BPS. Sri Mulyani mengatakan tidak ada manipulasi terhadap data ekonomi. BPS adalah Badan yang independen, sehingga tidak dapat diintervensi pemerintah.

Keraguan atas data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diumumkan oleh BPS sebenarnya cukup dapat dimengerti. Karena semua data ekonomi secara periodik bulanan menunjukkan pelambatan yang cukup signifikan pada triwulan III-2019. Sumber pertumbuhan Investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) turun drastis dari 2,24 persen (triwulan III-2018) menjadi 1,38 persen saja (triwulan III-2019). Sumber pertumbuhan Belanja Pemerintah anjlok dari 0,48 persen (triwulan III-2018) menjadi hanya 0,08 persen (triwulan III-2019). Anjloknya belanja pemerintah ini akibat penerimaan pajak negara terpuruk. Rasio penerimaan pajak pada akhir September 2019 diperkirakan di bawah 9 persen dari PDB.

Ekspor dan impor juga terpuruk. Ekspor (nilai nominal) pada triwulan III-2019 turun 6,92 persen dibandingkan periode sama 2018. Dan impor (nilai nominal) anjlok (minus) 11,8 persen. Tetapi, di dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi menurut BPS, ekspor (nilai riil) naik 0,01 persen, dan impor (nilai riil) turun (minus) 1,82 persen. Sehingga pertumbuhan ekspor dikurangi impor memberi kontribusi 1,83 persen (= 0,01 persen dikurangi minus 1,82 persen) terhadap total pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen. Artinya, tanpa ekspor dan impor, pertumbuhan ekonomi (domestik) hanya 3,19 persen (5,02persen dikurangi 1,83 persen). Dan ini merupakan salah satu yang terendah sejak 5 bahkan 10 tahun terakhir ini.

Oleh karena itu, fakta data bulanan yang cukup buruk tersebut membuat banyak pihak meragukan data BPS, yang dianggap tidak mencerminkan fakta data bulanan yang juga dipublikasi oleh BPS.

Pertanyaannya, apakah BPS (yang dianggap) sebagai lembaga “independen” tidak bisa melakukan “kesalahan”? Bukankah human error bisa terjadi di mana saja?

Belum lama berselang, ekonom India yang juga mantan penasehat ekonomi pemerintah India, Arvind Subramanian, melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi India untuk tahun fiskal 2011/12 hingga 2016/17. Penelitian yang berjudul “India’s GDP Mis-estimation: Likelihood, Magnitudes, Mechanisms, and Implications” dipublikasikan pada Juni 2019, sebagai Working Papers di lembaga Center for International Development at Harvard University.

Cukup mengejutkan, Arvind Subramanian menyimpulkan pertumbuhan ekonomi India untuk periode tersebut di atas terlalu tinggi 2,5 persen. Data resmi pertumbuhan ekonomi India pada periode tersebut rata-rata 7 persen per tahun. Tetapi menurut penelitian Arvind Subramanian, riil-nya mungkin hanya sekitar 4,5 persen per tahun, dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin error 1 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi India sebenarnya antara 3,5 persen sampai 5,5 persen saja. Jauh di bawah 7 persen menurut catatan resmi Pemerintah India.

Mungkin Badan statistik India tidak sengaja melakukan kesalahan ini, Mungkin tidak sengaja menggelembungkan (over-estimate) pertumbuhan ekonomi. Mungkin hanya sebagai human error saja. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah over-estimate pertumbuhan ekonomi juga bisa terjadi di Indonesia? (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Dorong Kolaborasi Multilateral, Peru dan Singapura Dukung Pembangunan IKN

    Oleh : Maya Naura Lingga, Pemerhati Investasi dan Industri    Presiden RI kedelapan, Prabowo Subianto, menunjukkan komitmen besar…

Kebijakan Penghapusan Utang UMKM Gerakan Perekonomian Rakyat

    Oleh: Dewi Rahmawati, Praktisi UMKM   Kebijakan penghapusan utang macet bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang…

Teknologi Kecerdasan Buatan: Alternatif dalam Asistensi Perpajakan

    Oleh: Rimba Maulana, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *)   Teknologi informasi menjadi andalan para pelaku…

BERITA LAINNYA DI Opini

Dorong Kolaborasi Multilateral, Peru dan Singapura Dukung Pembangunan IKN

    Oleh : Maya Naura Lingga, Pemerhati Investasi dan Industri    Presiden RI kedelapan, Prabowo Subianto, menunjukkan komitmen besar…

Kebijakan Penghapusan Utang UMKM Gerakan Perekonomian Rakyat

    Oleh: Dewi Rahmawati, Praktisi UMKM   Kebijakan penghapusan utang macet bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang…

Teknologi Kecerdasan Buatan: Alternatif dalam Asistensi Perpajakan

    Oleh: Rimba Maulana, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *)   Teknologi informasi menjadi andalan para pelaku…