Kebijakan tarif impor resiprokal AS yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada April 2025 mengungkapkan kelemahan besar dalam solidaritas ASEAN. Di tengah ancaman perdagangan yang datang dari Amerika Serikat, ASEAN seharusnya bisa tampil sebagai blok ekonomi yang kuat dan bersatu, namun kenyataannya jauh dari harapan.
Di tengah eskalasi kebijakan tarif AS yang merugikan negara-negara ASEAN, pertanyaan utama yang perlu dijawab adalah apa yang semestinya dilakukan Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya, selain sekadar negosiasi bilateral.
ASEAN, sebagai blok ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan PDB kolektif mencapai $3,3 triliun, seharusnya bisa lebih dari sekadar forum diskusi. “ASEAN harus bisa menunjukkan kesolidan dalam menyusun respon kolektif terhadap kebijakan tarif AS,” ujar Achmad Nur Hidayat, ekonom UPN Veteran Jakarta, mengomentari persoalan kawasan tersebut saat ini .
Jadi, penting bagi ASEAN untuk menyusun respon bersama dalam menghadapi kebijakan tarif AS yang diskriminatif. Misalnya, ASEAN bisa mengancam untuk membatasi akses pasar bagi AS atau meninjau ulang investasi AS di kawasan ini.
Data menunjukkan ekspor ASEAN ke AS mencapai sekitar 18% dari total ekspor AS, senilai US$123 miliar pada 2024 (US-Trade Partner Report). Potensi ini seharusnya menjadi leverage yang dapat digunakan untuk memberi tekanan balik terhadap kebijakan AS yang merugikan negara-negara anggota ASEAN. Selain itu, ASEAN bisa memperkuat posisinya dengan melobi di WTO untuk menggugat tarif AS melalui mekanisme yang sama seperti yang digunakan oleh Uni Eropa terkait tarif baru Trump.
Alih-alih menunjukkan kekompakan, negara-negara ASEAN terpecah, masing-masing mencoba untuk menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri melalui pendekatan bilateral dengan AS. Vietnam dan Kamboja, misalnya, yang sangat terdampak oleh tarif 46%, lebih memilih untuk bernegosiasi langsung dengan AS demi mengurangi dampaknya, sementara negara lainnya seperti Malaysia berusaha menggalang sikap bersama dalam kerangka ASEAN, namun upaya ini justru terisolasi.
Jelas, tanpa adanya koordinasi yang solid antara negara-negara ASEAN, upaya ini akan mudah dipatahkan oleh AS. ASEAN juga seharusnya dapat memanfaatkan kemitraan ekonomi komprehensif regional (RCEP) untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Indonesia sendiri sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, seharusnya bisa mengambil peran yang lebih proaktif dalam menggalang solidaritas kawasan. Namun, ketika diplomasi Indonesia, yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani, tampaknya kurang pemanfaatan kekuatan kolektif ASEAN dalam menghadapi kebijakan proteksionis dari AS.
Padahal, dengan memanfaatkan ASEAN sebagai alat diplomatik, Indonesia seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui solidaritas kawasan. Kegagalan ini adalah keteledoran fatal yang mengubur potensi besar ASEAN dalam merespon kebijakan perdagangan global.
Sayangnya, Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar, tidak menginisiasi dialog strategis ini. Mungkin karena tim negosiator hanya berisi para menteri ekonomi dan tidak melibatkan pakar hubungan internasional, diplomat dan Kementerian Luar Negeri, ini adalah kelemahan komposisi tim negosiator Indonesia
Pada kenyataannya, Vietnam dan Kamboja lebih memilih untuk berfokus pada negosiasi bilateral dengan AS, sementara Indonesia gagal untuk mengonsolidasi negara-negara ASEAN lainnya dalam merespon kebijakan tarif tersebut.
Kegagalan diplomasi ekonomi saat ini menunjukkan betapa ASEAN terjebak dalam permainan "divide et impera" yang dimainkan oleh AS, dengan memanfaatkan ketidaksepakatan antara negara-negara anggota kawasan tersebut.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam menghadapi kebijakan tarif AS. Setidaknya Indonesia bisa memosisikan dirinya sebagai mediator yang menjembatani kepentingan negara-negara ASEAN yang berbeda, seperti Vietnam yang cenderung pro-AS dan negara lainnya seperti Laos atau Kamboja yang lebih dekat dengan China.
Indonesia juga bisa menggagas skema kompensasi intra-ASEAN, seperti redistribusi kuota ekspor atau pembiayaan bersama untuk sektor-sektor yang terdampak tarif. Selain itu, Indonesia seharusnya bisa menjadi inisiator aliansi dagang alternatif, misalnya melalui pakta dagang dengan India atau negara-negara Afrika untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan China.
Tidak hanya itu. Indonesia juga bisa memimpin diplomasi publik ASEAN melalui forum-forum internasional seperti G20 atau APEC untuk mengritik kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh AS. Namun, diplomasi Indonesia di bawah pimpinan Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani lebih fokus pada upaya-upaya bilateral, seperti membuka keran impor dari AS untuk masuk Indonesia, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap fragmentasi solidaritas ASEAN.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menunjukkan komitmen yang…
Dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan nasional yang semakin kompleks, Pemerintah mengambil langkah progresif dengan mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan…
Ketika Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025 memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1%…
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menunjukkan komitmen yang…
Kebijakan tarif impor resiprokal AS yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada April 2025 mengungkapkan kelemahan besar dalam solidaritas…
Dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan nasional yang semakin kompleks, Pemerintah mengambil langkah progresif dengan mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan…