Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta
Pendekatan transmigrasi dalam proyek food estate di Indonesia menimbulkan berbagai permasalahan yang berpotensi membahayakan kesejahteraan masyarakat, baik bagi petani transmigran maupun penduduk lokal.
Kebijakan ini, yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pangan dan membuka lahan pertanian baru, justru dapat memicu konflik sosial dan memperparah pemiskinan. Hal ini disebabkan oleh desain food estate yang cenderung oligarkis dan berbasis industrialisasi tanpa mempertimbangkan aspek komunitas.
Proyek food estate yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia lebih mengutamakan pendekatan korporasi besar dibandingkan dengan pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pihak dibanding oleh para petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian.
Beberapa proyek food estate yang sedang berlangsung di Indonesia tersebar di berbagai wilayah seperti Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, serta beberapa daerah lainnya.
Di Kalimantan Tengah misalnya, proyek food estate difokuskan pada pengembangan komoditas singkong dan jagung, dengan keterlibatan perusahaan besar dalam pengelolaannya.
Begitu pula di Papua, proyek ini lebih diarahkan pada industrialisasi pertanian yang tidak memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam pengelolaan lahan dan distribusi hasil pertanian.
Salah satu contoh nyata adalah pembukaan lahan secara besar-besaran oleh oligarki Pengusaha HI, pemilik Jhonlin Group, sebuah konglomerat yang bergerak di berbagai sektor seperti pertambangan, agribisnis, dan infrastruktur. Untuk mendukung proyeknya di Merauke, Papua Selatan, perusahaannya memesan 2.000 unit ekskavator dari SY Group, produsen alat berat asal Tiongkok, dengan nilai mencapai Rp4 triliun.
Jhonlin Group menguasai ribuan bahkan jutaan hektar tanah untuk kepentingan food estate tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.
Proyek food estate Merauke berpotensi menyebabkan deforestasi besar-besaran, yang dapat mengancam keanekaragaman hayati dan mengganggu keseimbangan ekologi. Selain itu, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian skala besar berisiko meningkatkan emisi karbon secara signifikan, yang berkontribusi pada perubahan iklim global
Model pengelolaan ini tidak hanya mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, tetapi juga memperparah kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.
Korban Petani Lokal
Pendekatan yang digunakan dalam proyek-proyek tersebut bukanlah berbasis komunitas, melainkan lebih condong ke arah industrialisasi dan kepentingan oligarki. Petani lokal sering kali diposisikan sebagai pekerja di atas tanah yang seharusnya mereka kelola secara mandiri.
Sebagai contoh, di Kalimantan Tengah dan Merauke, program food estate dikritik karena melibatkan perusahaan besar dalam skema pengelolaannya, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh dalam rantai produksi yang lebih menguntungkan korporasi.
Ini bukan hanya menghilangkan hak-hak mereka atas tanah, tetapi juga menjadikan mereka bergantung pada sistem kerja upahan dengan pendapatan yang tidak menentu. Akibatnya, alih-alih menciptakan kesejahteraan, proyek ini justru meningkatkan kerentanan ekonomi dan ketimpangan sosial.
Salah satu aspek yang perlu diperbaiki dalam desain food estate adalah pendekatannya yang terlalu berorientasi pada produksi skala besar tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan ekologis setempat.
Ketika food estate dikelola oleh perusahaan besar dengan pendekatan industri, keberlanjutan lingkungan sering kali diabaikan.
Konversi lahan secara masif untuk keperluan pertanian skala besar menyebabkan deforestasi, degradasi tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Sistem pertanian berbasis monokultur yang diterapkan dalam skema food estate juga memperburuk kondisi tanah dan meningkatkan ketergantungan pada pupuk kimia serta pestisida, yang dalam jangka panjang dapat merugikan lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat.
Salah Jalan
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu adanya perubahan mendasar dalam pendekatan pengelolaan food estate. Pemerintah harus menggeser paradigma pengelolaan pertanian dari model industrialisasi dan oligarki menjadi berbasis komunitas.
Model berbasis komunitas berarti memberikan peran utama kepada petani lokal dalam mengelola lahan mereka sendiri dengan dukungan teknologi, infrastruktur, dan pendampingan yang tepat.
Pendekatan ini memungkinkan petani untuk meningkatkan produksi mereka secara mandiri tanpa harus bergantung pada perusahaan besar.
Selain itu, pengembangan sistem pertanian berbasis komunitas juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dengan menerapkan praktik agroekologi yang lebih ramah terhadap ekosistem setempat.
Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, sebelumnya telah mengusulkan agar transmigran dapat dilibatkan dalam proyek food estate dengan tujuan membantu membuka lahan dan meningkatkan produksi pangan nasional.
Namun, perlu diingat bahwa konsep transmigrasi yang hanya difokuskan pada penyediaan tenaga kerja murah tidaklah sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Transmigrasi seharusnya bukan sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri pertanian, melainkan sebagai sarana untuk memperkaya pertukaran budaya dan teknologi antara masyarakat petani dari berbagai daerah.
Dengan demikian, konsep transmigrasi dalam konteks food estate harus lebih diarahkan pada transfer budaya dan pengetahuan di bidang pertanian, bukan sekadar memindahkan orang untuk menjadi buruh upahan dalam sistem pertanian korporasi.
Jika pemerintah ingin tetap menjalankan program food estate dengan melibatkan transmigran, maka harus ada perbaikan yang signifikan dalam desain dan implementasi program tersebut.
Pertama, program ini harus memastikan bahwa masyarakat lokal tetap memiliki kendali atas tanah mereka sendiri, dan bahwa lahan yang digunakan untuk food estate tidak mengambil hak-hak masyarakat adat atau petani kecil.
Kedua, pemerintah harus lebih banyak berinvestasi dalam infrastruktur pertanian dan pelatihan bagi petani, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas tanpa harus bergantung pada perusahaan besar.
Ketiga, pendekatan food estate harus lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi setempat, sehingga petani dapat berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan dan mendapatkan manfaat ekonomi yang adil dari proyek ini.
Penting juga untuk memastikan bahwa proyek food estate tidak mengulang sejarah kolonialisme ekonomi di mana masyarakat lokal dipaksa kehilangan tanah mereka demi kepentingan pihak luar.
Transmigrasi yang dipaksakan tanpa konsultasi dengan masyarakat setempat dapat menimbulkan gesekan sosial yang berujung pada konflik antara pendatang dan warga asli.
Hal ini telah terjadi dalam beberapa kasus di mana masyarakat adat kehilangan hak mereka atas tanah akibat masuknya transmigran yang difasilitasi oleh negara.
Oleh karena itu, jika transmigrasi tetap menjadi bagian dari proyek food estate, harus ada skema yang jelas untuk memastikan bahwa proses tersebut dilakukan dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat.
Rekomendasi
Pemerintah harus menerapkan kebijakan yang lebih berbasis komunitas, di mana masyarakat setempat memiliki peran utama dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek pertanian ini.
Selain itu, perlu ada regulasi yang lebih ketat untuk memastikan bahwa lahan yang digunakan dalam proyek food estate tidak diambil dari masyarakat adat atau petani kecil tanpa persetujuan mereka.
Pemerintah juga harus mengurangi ketergantungan pada perusahaan besar dalam pengelolaan proyek food estate dan lebih banyak berinvestasi dalam koperasi petani serta sistem pertanian berkelanjutan.
Akhirnya, pendekatan transmigrasi dalam proyek food estate harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar tidak menjadi alat eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam.
Program ini seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi pangan nasional, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan petani lokal dan transmigran.
Dengan mengadopsi pendekatan berbasis komunitas dan keadilan sosial, food estate dapat menjadi solusi bagi ketahanan pangan nasional tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya diuntungkan dari program ini.
Oleh : Aristika Utami, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia memiliki banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memainkan peran…
Oleh : Andri Setya Lesmana, Pengamat Pertanian Program cetak sawah merupakan salah satu upaya strategis yang diambil oleh pemerintah…
Oleh: Wahyu Bima Prasetyo, Pengamat Kebijakan Sosial Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen serius dalam memberantas judi online yang semakin merajalela…
Oleh : Aristika Utami, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia memiliki banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memainkan peran…
Oleh : Andri Setya Lesmana, Pengamat Pertanian Program cetak sawah merupakan salah satu upaya strategis yang diambil oleh pemerintah…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Pendekatan transmigrasi dalam proyek food estate di Indonesia…