Jakarta-Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pembangunan pagar laut, yang ditemukan di Tangerang, Banten dan Bekasi, Jawa Barat.
NERACA
“Tadi arahan Pak Presiden (Prabowo Subianto), satu, selidiki sampai tuntas secara hukum, supaya kita harus benar koridor hukumnya. Apabila tidak ada, itu harus menjadi milik negara. Nah itu kasusnya seperti itu,” tutur Trenggono di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/1).
Menurutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah berkoordinasi dengan TNI AL usai pembongkaran pada Sabtu, 18 Januari 2025, yang kemudian menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, Trenggono disebut tidak sejalan dengan Prabowo dengan melarang pembongkaran tersebut.
“Karena kemarin juga ada pembongkaran yang dilakukan oleh TNI AL, maka tadi kita sudah koordinasi juga dengan KASAL. Tadi sudah rapat dengan KASAL, dengan jajarannya. Tentu setelah kami dipanggil oleh Pak Presiden ini, kita juga akan koordinasi lagi dengan beliau,” ujarnya.
“Dan kita sudah putuskan nanti hari Rabu (22 Januari 2025) kita akan berkumpul. Jadi tidak hanya TNI Angkatan Laut, tetapi juga Bakamla juga kita ikutkan, terus Baharkam,” sambungnya.
Trenggono mengaku sempat membaca informasi dari media bahwa pembuatan pagar laut dilakukan oleh Persatuan Nelayan Pantura. Namun begitu, tidak ada perwakilan dari kelompok tersebut yang menghadiri undangan klarifikasi KKP.
“Jadi tadi saya dapat laporan, tadi siang dapat laporan, katanya besok mau datang. Alhamdulillah kalau mereka datang, kita akan usut. Jadi lebih mudah. Tapi intinya tadi saya laporkan begitu, apabila tidak itu menjadi haknya negara,” ungkapnya.
Munculnya HGB
Tidak ketinggalan, munculnya kepemilikan sertifikat SHM dan HGB di kawasan pagar laut pun menimbulkan polemik.
Hal itu pun menjadi perhatian Prabowo untuk kemudian dilakukan pengusutan dugaan adanya pelanggaran hukum. “Secara hukum itu kita harus perbaiki. Jadi sesuai arahan dari Pak Presiden gitu. Pokoknya sesuai dengan koridor hukum, dan kemudian saya bisa sampaikan di sini, Rabu kita akan bersama-sama dengan seluruh pihak, dan pada saat itu kita akan bongkar,” ujar Trenggono.
“Tadi sudah kami laporkan kepada Pak Presiden. Jadi intinya arahan beliau juga sama, agar diusut lah. Diusut secara tuntas siapa (pelaku) dan seterusnya,” ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.
Trenggono menegaskan tidak ada sertifikat untuk dasar laut, khususnya yang telah diterbitkan untuk kawasan pagar laut. Dia menyatakan, sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) yang telah dikeluarkan merupakan dokumen ilegal.
“Saya perlu sampaikan, kalau di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat, jadi itu sudah jelas ilegal juga. Artinya memang ini kan dilakukan proses pemagaran itu tujuannya agar tanahnya itu nanti naik. Semakin lama semakin naik, semakin naik. Jadi kalau ada ombak datang, begitu ombak surut dia ketahan, sedimentasinya ketahan,” tutur dia.
Menurut dia, sertifikat yang terbit itu seolah-olah mengakali, bahwa ketika nanti daratan telah terbentuk akibat sedimentasi, maka kepemilikannya menjadi dikuatkan lewat sertifikat HGB dan SHM.
Sebelumnya Trenggono mengatakan, sudah mendapatkan informasi pihak yang mengklaim memasang pagar bambu yang tertanam di laut Pantura, di Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Dia menuturkan, ada perkumpulan nelayan bernama kesatuan masyarakat nelayan Pantai Utara (Pantura) yang mengklaim memasang pagar laut tersebut. "Kami dapat info, katanya perkumpulan nelayan. Nah itu sedang kami panggil terus," ujarnya, Minggu (19/1).
Dia pun mengungkapkan, kelompok nelayan tersebut, sejatinya sudah dipanggil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, selalu tak kunjung hadir. Karena itu, lanjut Trenggono, pihaknya berencana meminta bantuan kepolisan untuk bisa mengusut kebenaran siapa yang memasang pagar laut Tangerang tersebut.
"Sudah beberapa kali dipanggil oleh Dirjen PSDKP (Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) tapi belum datang. Kami sudah minta kepolisian untuk membantu kami melakukan penyelidikan," tutur dia.
Meski demikian, Trenggono hingga sekarang tak mengetahui alasan kelompok nelayan tersebut tak mau memenuhi pemanggilan dari KKP. Di sisi lain, dia mengklaim juga belum mendapatkan informasi apakah ada perusahaan dibalik kelompok nelayan itu. “Kami sedang melakukan penyelidikan, kan tidak bisa cepat, tidak bisa menuduh banyak orang juga" ujarnya.
Saat ini, pagar laut tersebut telah disegel oleh KKP untuk memudahkan penyelidikan. Meski sekitar dua kilometer pagar laut sudah dibongkar namun proses penyelidikan tidak terpengaruh. "Pencabutan kan tunggu dulu dong, kalau sudah tahu siapa yang menanam kan lebih mudah (penyelidikan)," ujarnya.
Terdampak Parah
Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Miftahul Khausar, mengungkapkan bahwa keberadaan pagar laut tersebut telah mempersulit akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan.
"Pagar laut ini menyebabkan hilangnya akses nelayan tradisional ke wilayah tangkap yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan. Nelayan tidak dapat memasuki area yang telah dipagari, sehingga wilayah tangkap secara efektif lenyap," ujar Miftahul, kemarin.
Karena pagar laut tersebut, nelayan terpaksa melaut lebih jauh untuk mencari ikan. Akibatnya, biaya operasional meningkat tajam, terutama karena kebutuhan bahan bakar yang bertambah.
"Bahan bakar merupakan 75 persen dari komponen biaya operasional. Dengan bertambahnya cadangan bahan bakar yang harus dibawa, risiko keselamatan nelayan di laut juga meningkat," ujar Miftahul.
Menurut dia, hilangnya wilayah tangkap ini menambah beban ekonomi yang sering kali tidak sebanding dengan hasil tangkapan. Kondisi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan mata pencaharian nelayan tradisional, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam penghidupan sehari-hari.
Miftahul menyoroti bahwa pagar laut tersebut diduga dibangun secara diam-diam, tanpa sepengetahuan nelayan maupun masyarakat pesisir. "Informasi dari anggota KNTI Tangerang menyebutkan bahwa pemagaran ini diduga dilakukan pada malam hari, sehingga tidak diketahui oleh nelayan dan masyarakat setempat," katanya.
Lebih lanjut, Miftahul mengungkapkan kekhawatiran bahwa wilayah yang dipagari ini mungkin digunakan untuk reklamasi atau proyek pembangunan lainnya. Jika hal ini dibiarkan, ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan nelayan akan semakin nyata.
"Ketidakjelasan ini memperburuk keresahan dan menjadi ancaman serius terhadap wilayah tangkap nelayan yang secara tradisional telah menjadi tempat penghidupan mereka," tegas dia.
KNTI mendesak pemerintah untuk segera bertindak tegas menghentikan aktivitas pemagaran laut ini. "Ini adalah bentuk privatisasi laut yang melanggar hak-hak nelayan. Pemerintah harus menindak pelaku dan menghentikan pemagaran yang mengancam keamanan teritorial nelayan," ujar Miftahul. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta – Dorong pertumbuhan transaksi bursa karbon di pasar, Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon akan memberikan insentif terhadap perusahaan pembeli…
NERACA Jakarta - Di tengah tantangan ekonomi yang terus berkembang, Pemerintah Indonesia meluncurkan program inovatif yang tidak hanya bertujuan untuk…
NERACA Semarang - Pakar hukum pidana Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Prof Bambang Tri Bawono menyebutkan bahwa "activity of glasses"…
NERACA Jakarta – Dorong pertumbuhan transaksi bursa karbon di pasar, Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon akan memberikan insentif terhadap perusahaan pembeli…
Jakarta-Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum dalam proyek…
NERACA Jakarta - Di tengah tantangan ekonomi yang terus berkembang, Pemerintah Indonesia meluncurkan program inovatif yang tidak hanya bertujuan untuk…