Komitmen untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengangkat pertumbuhan ekonomi dari saat ini sekitar 5% menjadi minimal 8%, termasuk salah satunya dengan cara mempercepat penyediaan perumahan bagi rakyat yang belum memiliki tempat tinggal dan utamanya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi alasan kuat pemerintahan Prabowo Gibran meluncurkan inisiasi program 3 juta rumah per tahun.
Program tersebut terdiri dari pembangunan dua juta rumah di pedesaan dan pembangunan satu juta apartemen di perkotaan. Melihat data realisasi pembangunan rumah yang ada, ambisi pemerintah membangun 3 juta rumah per tahun jelas membutuhkan strategi dan inovasi apalagi dengan keterbatasan anggaran. Total anggaran Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman pada 2025 tercatat Rp5,078 triliun, turun dibandingkan tahun 2024 yang mencapai Rp14,3 triliun.
Kata Ketua Umum Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, untuk mewujudkan pembangunan 3 juta rumah perlu menggunakan cara yang tidak biasa. Menurutnya, usaha pengentasan backlog rumah nasional tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa yang sudah terbukti tidak efektif. Apalagi, saat ini jumlah penduduk Indonesia yang tidak punya rumah sudah sekitar 20% dan berpotensi terus bertambah. Oleh karena itu sektor perumahan ini betul-betul diurus dan bahkan dijadikan sebagai program strategis pemerintah.
Joko menyebut, REI mendorong dilakukannya 'rekayasa' pembiayaan perumahan untuk menyesuaikan dengan target pembangunan 3 juta rumah. Di antaranya dengan memperluas likuiditas perumahan yang selama ini hanya dominan mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Lebih lanjut, dirinya juga memacu penggunaan dana pendampingan seperti dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atau dana wakaf untuk ditempatkan di bank sebagai dana pendamping agar cost of fund bisa lebih rendah.
Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, perlu inovasi dalam mencari sumber pendanaan alternatif untuk mengatasi keterbatasan anggaran dan mempercepat pencapaian target 3 juta rumah per tahun. Selain itu, ditambahkan Lasarus, pentingnya memastikan kepastian hukum atas lahan yang digunakan untuk pembangunan perumahan. “Diperlukan langkah-langkah preventif untuk memastikan bahwa status kepemilikan tanah yang digunakan untuk pembangunan rumah tidak menimbulkan masalah hukum di masa mendatang,”ujarnya.
Ya, salah satu upaya untuk merealisasikan program 3 juta rumah, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) memiliki rencana untuk meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 800.000 unit rumah pada tahun 2025 dari saat ini 220.000 unit. Rencana tersebut juga mendapat sinyal dukungan dari Kementerian Keuangan selaku pengatur anggaran negara.
Kata Menteri PKP, Maruarar Sirait, rencana peningkatan kuota FLPP dilakukan untuk memecahkan masalah keterbatasan kuota yang masih dialami hingga kini, padahal permintaan konsumen tinggi. Berdasarkan informasi BTN, saat ini terdapat sekitar 46.000 aplikasi yang sudah mendapat persetujuan KPR dari BTN namun masih mengantri kuota FLPP dari negara.“Program yang selama ini disukai oleh semua stakeholder perumahan adalah FLPP, tapi masalahnya kuotanya terbatas. Padahal, kredit macetnya kecil sekali. Sebetulnya program yang paling bagus adalah melakukan sesuatu yang semuanya senang sehingga kita bekerja dengan gembira. FLPP ini adalah program yang berhasil, dan kalau ada program dari jaman sebelumnya yang bagus, tidak apa-apa kita teruskan,” ujar Maruarar.
Berdasarkan rencana Kementerian PKP, skema pembagian porsi pembiayaan FLPP akan diubah menjadi 50% dari negara dan 50% dari perbankan agar tidak membebani keuangan negara, dengan penambahan masa atau tenor kredit menjadi 30 tahun agar angsuran menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Saat ini, pembagian proporsi dukungan FLPP masih 75% berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 25% dari perbankan, dan tenor selama 20 tahun.
Dukungan Perbankan
Peran industri keuangan, yakni perbankan dalam mewujudkan program tiga juta rumah masih sangat diperlukan dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) sebagai mitra pemerintah dengan pangsa KPR terbesar di Indonesia tengah menyiapkan strategi komprehensif untuk mendukung realisasi program 3 juta rumah. Terlebih, BTN memiliki kapabilitas untuk mendukung program 3 juta karena telah menjadi tulang punggung bagi program satu juta rumah di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Direktur Utama BTN, Nixon LP Napitupulu mengatakan, mendukung rencana Kementerian PKP menaikkan kuota FLPP. “Kami menyambut baik ada upaya menaikkan kuota KPR Subsidi dari biasanya sekitar 200.000 menjadi 800.000. Kami sedang mendiskusikannya secara teknis untuk pelaksanaannya. Kami harap ini bisa menjadi keputusan presiden,”ujarnya.
Dari sisi pendanaan, Nixon mengungkapkan, kenaikan kuota FLPP menjadi 800.000 unit akan memerlukan lebih dari Rp70 triliun, jauh lebih besar dari pendanaan FLPP saat ini hampir Rp30 triliun. Jika skema pembagian proporsi diubah menjadi 50%-50% antara APBN dan perbankan, maka BTN memerlukan alternatif sumber pendanaan di luar dana pihak ketiga (DPK) reguler.
Salah satunya yakni penerbitan obligasi dan pinjaman luar negeri yang nilainya bisa mencapai sekitar Rp10 triliun hingga Rp12 triliun.“Selain menyiapkan DPK, kami ingin menerbitkan bonds (obligasi), namun usulan kami adalah supaya obligasi tersebut bisa dijamin pemerintah, sehingga akan lebih murah untuk kami dan size yang didapat bisa lebih besar. Kami juga akan mencari kanal-kanal pinjaman luar negeri dan saat ini kami sedang banyak bertemu dengan investor,” ungkap Nixon.
Dirinya mengestimasi program 3 juta rumah butuh dana Rp360 triliun per tahun. Jumlah tersebut, kata dia, tidak mungkin dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga perlu mekanisme pembiayaan lain.“Jadi mesti ada alternatif pendanaan. Kita sudah usulkan alternatif pendanaan ke Kementerian Perumahan dan Kementerian Keuangan,” kata Nixon.
Menurutnya, program 3 juta rumah perlu perubahan skema subsidi dengan jangka waktu lebih panjang. Selain itu, angsurannya juga perlu lebih terjangkau. Mekanisme-mekanisme ini menurutnya terus didiskusikan dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Dirinya juga menyambut baik rencana pemeritah menerapkan bebas pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi lima tahunan. Selain itu, rencana membebaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Daerah untuk mengurangi harga jual rumah,”Pengurangan biaya dapat mencapai total 21% untuk Rumah MBR dan MBT yang terdiri dari pembebasan PPN, pemangkasan PPH dan penghapusan BPHTB akan mampu memicu permintaan akan perumahan karena harga jual rumah menjadi lebih murah,”ujar Nixon.
Disampaikannya pula, BTN telah membantu membangun sekitar 200 ribu rumah per tahun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, biaya yang dihabiskan per tahun dengan jumlah tersebut mencapai Rp24 triliun. “Artinya nggak mungkin APBN dihabiskan hanya untuk sektor perumahan,”tuturnya.
Nixon juga mengungkapkan, problem di sektor perumahan bukan hanya terletak di pendanaan, namun juga memastikan agar sisi supply dan demand dapat terpenuhi dan saling melengkapi. Dalam hal ini, sisi supply yakni produksi dan ketersediaan rumah serta lahan, dan sisi permintaan yang terkait dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen atau end-user.
Di sisi supply, Nixon memaparkan, BTN mendukung dengan cara memberikan pendanaan kepada developer berupa kredit konstruksi, baik untuk landed house (rumah tapak) maupun high rise (rumah vertikal). Sedangkan di sisi demand, BTN menyalurkan kredit kepada konsumen, baik untuk membeli rumah, membangun rumah di lahan yang sudah ada, maupun merenovasi rumah. “Jadi, jika masyarakat di desa, misalnya, sudah punya rumah namun tidak layak huni, BTN memiliki pembiayaan untuk renovasi,”kata Nixon.
Dalam konteks sektor perumahan lebih luas, Nixon mengatakan, BTN turut memberikan masukan kepada Satgas Perumahan dengan skema yang sama agar pemerintah dapat mewujudkan programnya. Di sisi supply, BTN menyarankan agar sejumlah masalah di lapangan yang terkait dengan tata ruang serta sertifikasi tanah dan rumah selama ini dibereskan terlebih dahulu karena terkait dengan beragam institusi dan tumpang-tindih peraturan. Sedangkan di sisi demand, masyarakat perlu diberikan edukasi terus-menerus bahwa memiliki rumah tidak selalu berupa rumah tapak (landed house), melainkan juga hunian vertikal (vertical housing).
Selain itu, di sisi demand, BTN juga telah mengusulkan skema pembiayaan subsidi yang baru kepada Satgas Perumahan agar subsidi yang disalurkan dapat lebih tepat sasaran, efisien, dan tidak membebani keuangan negara. Penyesuaian skema subsidi tersebut dikelompokkan berdasarkan desil (pemeringkatan kesejahteraan) pendapatan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Berpenghasilan Tanggung (MBT).
Disebutkan, BTN mengusulkan 3 skema pembiayaan subsidi untuk program 3 Juta Rumah. Ketiganya memiliki masa tenor yang panjang yakni hingga 30 tahun. VP Subsidized Mortgage Division PT Bank Tabungan Negara (BTN) (Persero), Nur Ridho pernah bilang, skema pembiayaan tersebut di antaranya Rumah Desa Sehat, Rumah Sejahtera, dan Rumah Perkotaan.
Sementara Direktur Consumer BTN, Hirwandi Gafar menambahkan, pihaknya siap untuk mencari sumber dana dari dalam negeri maupun luar negeri (offshore), termasuk dengan mendorong sekuritisasi aset KPR. “Saat ini, nilai sekuritisasi KPR di Indonesia masih kecil sekali. Dengan adanya lebih banyak sekuritisasi, dana murah secara jangka panjang dapat terus tersedia. Selain itu, kita perlu mendorong dana investasi berkelanjutan, yang rencananya juga akan digulirkan oleh pemerintahan baru. Itu semua akan sangat membantu program Tiga Juta Rumah,” papar Hirwandi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Sireger sependapat dan mendorong optimalisasi penggunaan instrumen sekuritisasi efek beragun aset (EBA) untuk mendukung likuiditas program 3 juta rumah yang dicanangkan oleh pemerintah,”Dalam konteks ini, kami mendorong optimalisasi penggunaan efek beragun aset untuk mendukung likuiditas pelaksanaan program 3 juta rumah. Untuk itu, kami siap mendorong sinergi untuk memperkuat skema dan ekosistem EBA itu,” paparnya.
Membuka tahun 2025, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) mendapatkan apresiasi, arahan dan tantangan atas transformasi yang dilakukan dari…
NERACA Jakarta – Mengakhiri perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal tahun 2025, indeks harga saham gabungan (IHSG),…
NERACA Jakarta- Tingkatkan efisiensi bisnis, PT Madusari Murni Indah Tbk (MOLI) mengumumkan telah melakukan penggabungan atau merger atas dua anak…
Membuka tahun 2025, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) mendapatkan apresiasi, arahan dan tantangan atas transformasi yang dilakukan dari…
NERACA Jakarta – Mengakhiri perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal tahun 2025, indeks harga saham gabungan (IHSG),…
NERACA Jakarta- Tingkatkan efisiensi bisnis, PT Madusari Murni Indah Tbk (MOLI) mengumumkan telah melakukan penggabungan atau merger atas dua anak…