Mengenal Brain Rot yang Bikin Otak Jadi

 

Mengenal Brain Rot yang Bikin Otak Jadi "Busuk" Karena Konten Receh
Akhir-akhir ini istilah baru mulai muncul salah satunya Brain Rot  atau 'Pembusukan otak'. Sebuah kondisi yang  didefinisikan sebagai kemerosotan yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang. Menurut Oxford University, 'Brain Rot' menjadi semakin populer tahun ini sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan. Terutama di media sosial. Istilah tersebut meningkat frekuensi penggunaannya sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024.
Pada tahun 2024, 'Brain Rot' digunakan untuk menggambarkan penyebab dan akibat dari hal ini. Merujuk pada konten berkualitas dan bernilai rendah yang ditemukan di media sosial dan internet. Selain itu dampak negatif selanjutnya yang dianggap terjadi pada individu atau masyarakat akibat mengonsumsi jenis konten ini.
Melansir Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) pakar media sosial Umsida Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom menyebut generasi yang paling banyak terjerat di fenomena Brain Rot ini adalah gen Z.
Fira menjelaskan, generasi Z dan generasi selanjutnya adalah generasi yang didampingi oleh teknologi sejak lahir. Oleh karena itu, mereka tidak bisa dipisahkan dengan kemajuan teknologi.
“Kalau generasi milenial masih cenderung minim sekali menggunakan teknologi, saat itu media sosial juga belum ada. Hal ini berbeda dengan gen Z yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan kehadiran teknologi,” ujar dosen Program Studi Ilmu Komunikasi itu dilansir dari laman Umsida. 
Sehingga, kebiasaan sehari-hari sudah bergantung pada gadget, dan mereka tidak mengenal hal lain seperti yang dirasakan generasi sebelumnya.
Dampak Brain Rot
Fira mengatakan,  bahwa Brain Rot sangat berpengaruh di dunia nyata. Fenomena itu merupakan pelemahan otak dan daya pikir yang membuat pengguna media sosial menjadi malas berpikir berat. Sebagai seorang pendidik, Fira kerap menemui fenomena ini di kalangan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa sering mengeluhkan tentang penugasan yang menurut mereka terlalu berat. Padahal hal tersebut sudah wajar diberikan kepada mahasiswa di generasi sebelumnya.
“Jenis konten berdurasi pendek dan bisa dilewati bila ia tidak suka konten tersebut, maka hal itu bisa terbawa ke kehidupan nyata. Ketika mereka tidak menyukai sesuatu, maka mereka cenderung akan menghindari hal itu daripada menyelesaikannya,” imbuhnya. Selain itu, dengan kecanduan konten receh di media sosial juga membuat tingkat kesabaran gen Z melemah. Jika generasi sebelumnya ingin menikmati sebuah hiburan, maka mereka harus menunggu dalam kurun waktu tertentu. Berbeda dengan generasi sekarang yang semua harus instan. Dan jika mereka terlibat masalah, maka mereka lebih memilih untuk meninggalkannya daripada memperbaiki.
Apa yang Membuat Konten Receh Begitu Digemari?
Menurut Fira, walaupun hanya konten receh berdurasi pendek, tapi jika konten tersebut dinikmati secara berulang-ulang maka bisa menyerang psikis penggunanya dan masuk ke  alam bawah sadar. “Saat ini orang menghabiskan waktu di dunia maya lebih dari satu jam dengan berbagai gempuran konten singkat di dalamnya. Hal itu membuat otak menjadi overload menerima informasi,” ujar dosen yang tengah mengenyam pendidikan doktor di Universitas Sebelas Maret itu.
Oleh karena itulah konten For Your Page (FYP) setiap orang berbeda-beda. Algoritma media sosial bisa membaca ketertarikan pengguna, konten telah disesuaikan oleh kondisi pengguna hingga mereka merasa relate dan bertahan di konten serupa.

 

 

Akhir-akhir ini istilah baru mulai muncul salah satunya Brain Rot  atau 'Pembusukan otak'. Sebuah kondisi yang  didefinisikan sebagai kemerosotan yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang. Menurut Oxford University, 'Brain Rot' menjadi semakin populer tahun ini sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan. Terutama di media sosial. Istilah tersebut meningkat frekuensi penggunaannya sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024.

Pada tahun 2024, 'Brain Rot' digunakan untuk menggambarkan penyebab dan akibat dari hal ini. Merujuk pada konten berkualitas dan bernilai rendah yang ditemukan di media sosial dan internet. Selain itu dampak negatif selanjutnya yang dianggap terjadi pada individu atau masyarakat akibat mengonsumsi jenis konten ini.

Melansir Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) pakar media sosial Umsida Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom menyebut generasi yang paling banyak terjerat di fenomena Brain Rot ini adalah gen Z.

Fira menjelaskan, generasi Z dan generasi selanjutnya adalah generasi yang didampingi oleh teknologi sejak lahir. Oleh karena itu, mereka tidak bisa dipisahkan dengan kemajuan teknologi.

“Kalau generasi milenial masih cenderung minim sekali menggunakan teknologi, saat itu media sosial juga belum ada. Hal ini berbeda dengan gen Z yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan kehadiran teknologi,” ujar dosen Program Studi Ilmu Komunikasi itu dilansir dari laman Umsida. 

Sehingga, kebiasaan sehari-hari sudah bergantung pada gadget, dan mereka tidak mengenal hal lain seperti yang dirasakan generasi sebelumnya.

Dampak Brain Rot

Fira mengatakan,  bahwa Brain Rot sangat berpengaruh di dunia nyata. Fenomena itu merupakan pelemahan otak dan daya pikir yang membuat pengguna media sosial menjadi malas berpikir berat. Sebagai seorang pendidik, Fira kerap menemui fenomena ini di kalangan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa sering mengeluhkan tentang penugasan yang menurut mereka terlalu berat. Padahal hal tersebut sudah wajar diberikan kepada mahasiswa di generasi sebelumnya.

“Jenis konten berdurasi pendek dan bisa dilewati bila ia tidak suka konten tersebut, maka hal itu bisa terbawa ke kehidupan nyata. Ketika mereka tidak menyukai sesuatu, maka mereka cenderung akan menghindari hal itu daripada menyelesaikannya,” imbuhnya. Selain itu, dengan kecanduan konten receh di media sosial juga membuat tingkat kesabaran gen Z melemah. Jika generasi sebelumnya ingin menikmati sebuah hiburan, maka mereka harus menunggu dalam kurun waktu tertentu. Berbeda dengan generasi sekarang yang semua harus instan. Dan jika mereka terlibat masalah, maka mereka lebih memilih untuk meninggalkannya daripada memperbaiki.

Apa yang Membuat Konten Receh Begitu Digemari?

Menurut Fira, walaupun hanya konten receh berdurasi pendek, tapi jika konten tersebut dinikmati secara berulang-ulang maka bisa menyerang psikis penggunanya dan masuk ke  alam bawah sadar. “Saat ini orang menghabiskan waktu di dunia maya lebih dari satu jam dengan berbagai gempuran konten singkat di dalamnya. Hal itu membuat otak menjadi overload menerima informasi,” ujar dosen yang tengah mengenyam pendidikan doktor di Universitas Sebelas Maret itu.

Oleh karena itulah konten For Your Page (FYP) setiap orang berbeda-beda. Algoritma media sosial bisa membaca ketertarikan pengguna, konten telah disesuaikan oleh kondisi pengguna hingga mereka merasa relate dan bertahan di konten serupa.

BERITA TERKAIT

Lulusan Vokasi Mayoritas Terserap Industri

Kementerian Perindustrian menyatakan lulusan vokasi di bawah naungan Kemenperin yang terdiri dari 11 politeknik, dua akademi komunitas, dan sembilan SMK vokasi…

Tips Mengelola Stres Di Akhir Tahun

  Tips Mengelola Stres Di Akhir Tahun Menjelang pergantian tahun, tekanan untuk menyelesaikan target dan resolusi seringkali meningkat. Hal ini…

Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

  Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti bersama Menteri Kebudayaan, Fadli Zon,…

BERITA LAINNYA DI

Lulusan Vokasi Mayoritas Terserap Industri

Kementerian Perindustrian menyatakan lulusan vokasi di bawah naungan Kemenperin yang terdiri dari 11 politeknik, dua akademi komunitas, dan sembilan SMK vokasi…

Tips Mengelola Stres Di Akhir Tahun

  Tips Mengelola Stres Di Akhir Tahun Menjelang pergantian tahun, tekanan untuk menyelesaikan target dan resolusi seringkali meningkat. Hal ini…

Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

  Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti bersama Menteri Kebudayaan, Fadli Zon,…