Trump dan Kemaritiman

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Bisnis kemaritiman (khususnya sektor pelayaran) langsung beraksi negatif begitu kontestasi pemilihan presiden AS diumumkan dengan pasangan Donald J Trump dan JD Vance sebagai pemenangnya. Namun, publik di Tanah Air secara umum tidak terlalu aware terhadap kaitan yang ada di antara keduanya. Kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS ke-47 akan menjadi masa yang cukup sulit bagi dunia pelayaran karena ia diprediksi oleh berbagai kalangan akan mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap barang-barang yang masuk ke AS (sebagian pihak menyebutnya tarif agresif yang menurut mencakup 20 persen untuk barang dari berbagai negara di luar China. Sementara China sendiri akan dikenakan tarif 60 hingga 100 persen).

Bagi bisnis pengangkutan melalui laut hal ini jelas tidak baik. Karena impor tadi – juga ekspor– hanya dapat dilakukan dengan efisien, murah dan masif bila menggunakan kapal dibanding moda transportasi lainnya. Sekarang praktik ini kemungkinan besarnya bakal tersendat dengan rencana kebijakan tarif impor agresif yang akan diterapkan oleh Trump. Parahnya, sebelum ia diberlakukan, bisnis pelayaran global sudah mulai “parno” dengan rencana yang ada; ditandai dengan naiknya charter rate.

Sektor pelayaran yang mengalami kenaikan harga sewa kapal tersebut adalah pelayaran peti kemas. Adapun pemicunya adalah permintaan atas ruang muat kapal kontainer yang tinggi demi mengejar pengiriman kargo menjelang Natal dan Tahun Baru 2025. Dan, itu tadi, mengejar masa awal pemerintahan Trump yang akan dilantik pada 20 Januari 2025 namun tidak diketahui kapan pastinya tarif impor agresif itu akan diberlakukan oleh sang presiden.

Sekedar catatan, saat dia menjadi presiden periode 2016-2020, di mana dia juga mengenakan tarif impor tinggi, charter rate kapal peti kemas mencapai lebih dari 70 persen. Dari berbagai sumber yang ada, saat ini harga sewa kapal kontainer berkisar di angka 150.000 dollar AS per hari. Konsekuensinya, pelayaran peti kemas merupakan sub-sektor usaha pelayaran yang tergolong menghasilkan cuan relatif tinggi dibanding yang lainnya, terutama pasca-pandemi Covid-19.

Di sektor pelayaran kontainer, negeri Paman Sam boleh dibilang “berdarah-darah”. Dikutip dari National Retail Federation (NRF), total impor manufaktur AS mencapai 21,8 juta twenty foot equivalent unit/TEU pada 2018. Pada 2019, angkanya, diperkirakan, menyundul 22 juta TEU. Tidak ada data terbaru yang penulis dapatkan setelah dua periode di muka. Peti kemas sebanyak itu berasal dari berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia. Lagi-lagi, karena perang dagang AS vs China-nya Trump, arus peti kemas yang ada terhenti.

Sebagai gantinya, kala itu, Trump memilih menggenjot bisnis pelayaran tanker. Dia memacu industri perminyakan agar berproduksi lebih banyak untuk pasar ekspor. Trump juga melarang armada besar tanker (dengan kapasitas angkut di atas 1 juta barel) beroperasi dari dan ke AS. Peluang bisnis operator tanker kelas menengah (di bawah 1 juta barel) pun akhirnya terbuka lebar dengan kebijakannya. Sepertinya presidensi Trump kedua akan menempuh jalur kebijakan ini kembali.

Rencana kebijakan Presiden Donald J Trump yang akan mengenakan tarif impor tinggi juga akan berdampak kepada dunia kepelabuhanan. Bila importasi dibatasi masuk ke AS, pelabuhan muat di berbagai negara pengekspor dengan sendirinya akan mengalami perlambatan kinerja. Handling kargo ekspor menurun volumenya karena pabrik mengurangi produksinya. Singkat cerita, bisnis kepelabuhanan memasuki masa suram pula seperti bisnis pelayaran peti kemas.

Di samping itu, kargo-kargo tadi dikirim tidak dalam jadwal yang teratur ketat; ia amat tergantung dengan kebutuhan pembelinya. Kondisinya berbeda dengan barang manufaktur yang dikapalkan dalam jadwal yang teratur/ketat. Karena itu, dalam khazanah pelayaran, pelayaran peti kemas sering juga disebut dengan istilah liner (yang dimaknai salah satunya sebagai keteraturan). Sementara pelayaran curah acap disebut tramper yang berkonotasi “tidak berjadwal tetap”. 

Seluruh mata dunia terus mencermati perkembangan yang terjadi menjelang pelantikan Donald J Trump termasuk dunia kemaritiman. Bendera “Stars and Stripes” sudah tidak berseliweran lagi di delapan penjuru mata angin namun AS tetap memiliki peran penting dalam bisnis ini. Dulu, bendera AS dikibarkan di atas kapal-kapal, salah satunya, American President Lines (APL). Kini, kebijakan perdagangannya yang masih sangat berpengaruh terhadap bisnis kemaritiman, pelayaran dan pelabuhan.

BERITA TERKAIT

Kerumitan BUN Jelang Tutup Anggaran

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pengelolaan anggaran pendapatan, belanja negara, serta pembiayaan defisit anggaran, berlangsung sejak 1…

IKM Kuasai Pasar Domestik

Oleh: Faisol Riza Wakil Menteri Perindustrian Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong industri kecil dan menengah (IKM) untuk bisa lebih berdaya…

Teknis Hapus Kredit Macet UMKM?

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pada 5 November 2024 Presiden Prabowo Subianto, menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47…

BERITA LAINNYA DI

Kerumitan BUN Jelang Tutup Anggaran

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pengelolaan anggaran pendapatan, belanja negara, serta pembiayaan defisit anggaran, berlangsung sejak 1…

IKM Kuasai Pasar Domestik

Oleh: Faisol Riza Wakil Menteri Perindustrian Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong industri kecil dan menengah (IKM) untuk bisa lebih berdaya…

Trump dan Kemaritiman

Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Bisnis kemaritiman (khususnya sektor pelayaran) langsung beraksi negatif begitu kontestasi…