Oleh: Achmad Nur Hidayat, Analis Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
BPJS Kesehatan, badan publik yang bertanggung jawab atas asuransi kesehatan di Indonesia, terus menghadapi tantangan keuangan yang signifikan sejak didirikan. Dengan meningkatnya jumlah peserta yang terdaftar, biaya pengobatan yang terus naik, serta pembiayaan penyakit katastropik yang melonjak, BPJS Kesehatan diperkirakan akan menghadapi risiko gagal bayar pada tahun 2026 jika tidak ada intervensi struktural yang efektif.
Skenario gagal bayar ini berpotensi terjadi jika defisit keuangan BPJS terus meningkat, terutama bila tidak ada langkah yang efektif untuk mengatasi biaya yang terus membengkak. Salah satu opsi yang sering muncul dalam wacana publik adalah menaikkan iuran premi peserta.
Namun, menaikkan iuran bukanlah solusi ideal, mengingat beban tambahan bagi masyarakat, terutama golongan menengah dan bawah. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih cerdas dan out-of-the-box perlu diambil untuk mencegah skenario gagal bayar tanpa membebani peserta BPJS secara langsung.
Alasan Gagal Bayar
Ada beberapa faktor utama yang mendorong BPJS Kesehatan menuju risiko gagal bayar di tahun 2026. Di antaranya adalah peningkatan biaya pengobatan untuk penyakit-penyakit katastropik, peningkatan jumlah peserta yang dibiayai oleh pemerintah, dan kurangnya kontribusi dari peserta mandiri.
Penyakit-penyakit katastropik memerlukan biaya tinggi dan cenderung terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pasien dan kompleksitas perawatan. Sebagai gambaran tambahan, neraca keuangan BPJS Kesehatan dari tahun 2019 hingga 2023 menunjukkan tren pengeluaran yang terus meningkat.
Pada tahun 2023, BPJS Kesehatan mengalami defisit karena pengeluaran yang melebihi pendapatan. Kondisi ini terjadi meskipun pendapatan dari iuran peserta meningkat.
Dengan tren yang ada, kondisi ini berpotensi semakin parah pada 2026, terutama jika tidak ada upaya untuk mengurangi pengeluaran atau meningkatkan pendapatan dengan cara yang lebih kreatif.
Berdasarkan data historis, BPJS Kesehatan diproyeksikan akan menghadapi peningkatan pengeluaran yang signifikan pada 2026. Jika tren pengeluaran terus naik sekitar 10%-15% per tahun, maka pada tahun 2026, pengeluaran BPJS diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp200 triliun.
Sementara itu, jika pendapatan hanya meningkat sekitar 5% per tahun, pendapatan BPJS di 2026 diperkirakan hanya akan mencapai sekitar Rp180 triliun. Ini berarti BPJS berpotensi mengalami defisit sekitar Rp20 triliun.
Simulasi ini mencerminkan skenario realistis di mana BPJS mengalami kesulitan untuk menutupi biaya operasional dan pembiayaan kesehatan peserta. Dengan kondisi ini, risiko gagal bayar menjadi sangat nyata, dan BPJS akan kesulitan untuk membayar tagihan rumah sakit, obat-obatan, dan layanan kesehatan lainnya.
Solusi Komprehensif
Menaikkan iuran premi peserta mungkin tampak seperti solusi instan, tetapi ini akan menambah beban masyarakat, terutama di kalangan peserta mandiri yang selama ini sudah merasa terbebani. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang lebih komprehensif dan inovatif, antara lain:
Optimalisasi Dana Investasi: BPJS Kesehatan memiliki dana cadangan yang diinvestasikan dalam instrumen keuangan tertentu. Optimalisasi investasi di sektor yang lebih menguntungkan, tetapi tetap aman, dapat meningkatkan pendapatan tambahan.
Kolaborasi dengan Industri Farmasi: BPJS Kesehatan dapat bernegosiasi dengan produsen obat-obatan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah untuk obat-obatan penyakit katastropik. Kolaborasi ini akan menurunkan biaya pengeluaran untuk obat-obatan mahal yang dikonsumsi oleh pasien dengan penyakit berat.
Peningkatan Efisiensi Operasional. BPJS Kesehatan harus melakukan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi pemborosan dan ketidakefisienan dalam operasional sehari-hari. Optimalisasi penggunaan sumber daya dan pemotongan biaya yang tidak perlu dapat membantu mengurangi pengeluaran tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Pendekatan Preventif. Mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk program preventif atau pencegahan penyakit, terutama untuk penyakit katastropik seperti jantung dan diabetes. Edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup sehat dan deteksi dini dapat mengurangi biaya pengobatan dalam jangka panjang.
Reformasi Skema Iuran. Sebagai alternatif dari kenaikan iuran premi yang sama untuk semua peserta, BPJS dapat mempertimbangkan skema iuran yang lebih fleksibel. Misalnya, skema yang berbasis risiko kesehatan individu atau insentif bagi peserta yang menjaga gaya hidup sehat.
Oleh : Putri Dewi Nathania, Pengamat Sosial Budaya Dalam upayanya untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sekaligus mempercepat…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati UMKM Indonesia saat ini berada pada momentum penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi…
Oleh : Nindia Karina, Pemerhati Investasi dan Industri Proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi salah…
Oleh : Putri Dewi Nathania, Pengamat Sosial Budaya Dalam upayanya untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sekaligus mempercepat…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Analis Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta BPJS Kesehatan, badan publik yang bertanggung jawab…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati UMKM Indonesia saat ini berada pada momentum penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi…