Deflasi Berkepanjangan Disebabkan Daya Beli Merosot

Deflasi Berkepanjangan Artinya Daya Beli Menurun
NERACA
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi secara berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 dengan rincian deflasi 0,03% pada Mei, 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% pada Agustus dan 0,12% pada September. Adapun, inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen (year-on-year/yoy) dan inflasi tahun kalender 0,74 persen (year-to-date/ytd).
Deflasi yang berkepanjangan ini menurut Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Prof FX Sugiyanto, diakibatkan oleh daya beli masyarakat yang turun. "Dalam perspektif historis, deflasi berbulan-bulan itu baru memang baru pertama kalinya dialami," katanya, sebagaimana dikutip Antara, kemarin. 
Menurut dia, deflasi yang terjadi dalam satu-dua bulan bisa berdampak baik bagi masyarakat karena mereka bisa berbelanja dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Namun, kata dia, jika deflasi terjadi terlalu lama bisa menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat menahan untuk mengeluarkan uang atau daya beli masyarakat memang turun. "Kalau (deflasi) terlalu lama bisa jadi indikasi kuat ini orang menahan duit mereka untuk belanja atau tidak punya duit. Nah, dua kemungkinan ini bisa terjadi. Ini saya didukung dengan data," katanya.
Dilihat dari kelompok penghasilan, kata dia, 20 persen kelompok penghasilan tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen dengan penghasilan terbawah atau termiskin. "Nah yang (berpenghasilan) tengah ini yang mulai berkurang daya beli, dan ini beresiko. Kedua, orang kemudian lebih baik menahan (belanja) karena khawatir kalau tidak ada perbaikan (pendapatan)," katanya.
Diakuinya, turunnya daya beli masyarakat kelas menengah diakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi. Sebagai akademisi, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip itu mengingatkan bahwa bahaya yang dihadapi sebenarnya bukan pada pengangguran terbuka, melainkan mereka yang setengah menganggur. "Mereka yang bekerja setengah penganggur yang kadang-kadang bekerja tidak lebih dari lima jam," jelasnya. 
Sugiyanto mengatakan bahwa kondisi deflasi berturut-turut saat ini berbeda dibandingkan saat krisis moneter 1998 karena saat itu bersifat mendadak dan hampir semua orang penghasilannya hilang langsung. "Kalau ini kan tidak mendadak, ada sebuah proses yang memang daya belinya menurun dan ternyata daya beli itu lebih banyak dinikmati oleh kelompok atas sehingga indikatornya nanti kalau makro itu di indeks gini (ketimpangan ekonomi) semakin besar," katanya.
Jika tidak segera diatasi dan dibiarkan berlarut-larut, lanjut dia, akan sangat berisiko karena tingkat pengangguran yang tinggi bisa menimbulkan kerawanan secara sosial. Solusi jangka pendek, kata dia, dilakukan pemberian bantuan sosial (bansos) atau bantuan langsung kepada masyarakat untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat, tetapi akan sangat berisiko di momentum politik seperti sekarang. "Solusi jangka panjangnya, ya, membuka lapangan kerja. Jadi, memang mau tidak mau pemerintah yang baru nanti, termasuk pemerintah provinsi itu harus berpikir betul menciptakan lapangan kerja," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa deflasi maupun inflasi sebaiknya harus sama-sama dikendalikan agar tidak merugikan semua pihak. "Apapun yang namanya deflasi maupun inflasi itu dua-duanya memang harus dikendalikan sehingga harga stabil, tidak merugikan produsen, bisa petani, bisa nelayan, bisa UMKM, bisa pabrikan, tetapi juga dari sisi konsumen supaya harga juga tidak naik," kata Presiden Jokowi. 
Presiden menanggapi deflasi yang terjadi selama lima bukan berturut-turut sebagaimana laporan dari Bada Pusat Statistik (BPS). Kepala Negara pun meminta agar terjadinya deflasi tersebut mesti dicek lebih lanjut lagi, apakah karena penurunan harga barang atau memang daya beli masyarakat yang berkurang. "Coba dicek betul, deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi tidak ada hambatan atau karena memang ada daya beli yang berkurang. Pengendalian itu yang diperlukan, keseimbangan itu yang diperlukan,' ucap Presiden.
Lebih lanjut, Presiden juga menyinggung mencatat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) pada September 2024 sebesar 1,84 persen yang dinilainya sudah baik. "Kita saat ini kalau terakhir inflasi year-on-year itu kira-kira 1,8, baik, tetapi jangan sampai itu terlalu rendah juga supaya produsen tidak dirugikan, supaya petani yang berproduksi tidak dirugikan. Itu menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus," tutur Presiden.

NERACA

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi secara berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 dengan rincian deflasi 0,03% pada Mei, 0,08% pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03% pada Agustus dan 0,12% pada September. Adapun, inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen (year-on-year/yoy) dan inflasi tahun kalender 0,74 persen (year-to-date/ytd).

Deflasi yang berkepanjangan ini menurut Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Prof FX Sugiyanto, diakibatkan oleh daya beli masyarakat yang turun. "Dalam perspektif historis, deflasi berbulan-bulan itu baru memang baru pertama kalinya dialami," katanya, sebagaimana dikutip Antara, kemarin. 

Menurut dia, deflasi yang terjadi dalam satu-dua bulan bisa berdampak baik bagi masyarakat karena mereka bisa berbelanja dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Namun, kata dia, jika deflasi terjadi terlalu lama bisa menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat menahan untuk mengeluarkan uang atau daya beli masyarakat memang turun. "Kalau (deflasi) terlalu lama bisa jadi indikasi kuat ini orang menahan duit mereka untuk belanja atau tidak punya duit. Nah, dua kemungkinan ini bisa terjadi. Ini saya didukung dengan data," katanya.

Dilihat dari kelompok penghasilan, kata dia, 20 persen kelompok penghasilan tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen dengan penghasilan terbawah atau termiskin. "Nah yang (berpenghasilan) tengah ini yang mulai berkurang daya beli, dan ini beresiko. Kedua, orang kemudian lebih baik menahan (belanja) karena khawatir kalau tidak ada perbaikan (pendapatan)," katanya.

Diakuinya, turunnya daya beli masyarakat kelas menengah diakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi. Sebagai akademisi, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip itu mengingatkan bahwa bahaya yang dihadapi sebenarnya bukan pada pengangguran terbuka, melainkan mereka yang setengah menganggur. "Mereka yang bekerja setengah penganggur yang kadang-kadang bekerja tidak lebih dari lima jam," jelasnya. 

Sugiyanto mengatakan bahwa kondisi deflasi berturut-turut saat ini berbeda dibandingkan saat krisis moneter 1998 karena saat itu bersifat mendadak dan hampir semua orang penghasilannya hilang langsung. "Kalau ini kan tidak mendadak, ada sebuah proses yang memang daya belinya menurun dan ternyata daya beli itu lebih banyak dinikmati oleh kelompok atas sehingga indikatornya nanti kalau makro itu di indeks gini (ketimpangan ekonomi) semakin besar," katanya.

Jika tidak segera diatasi dan dibiarkan berlarut-larut, lanjut dia, akan sangat berisiko karena tingkat pengangguran yang tinggi bisa menimbulkan kerawanan secara sosial. Solusi jangka pendek, kata dia, dilakukan pemberian bantuan sosial (bansos) atau bantuan langsung kepada masyarakat untuk membantu mendongkrak daya beli masyarakat, tetapi akan sangat berisiko di momentum politik seperti sekarang. "Solusi jangka panjangnya, ya, membuka lapangan kerja. Jadi, memang mau tidak mau pemerintah yang baru nanti, termasuk pemerintah provinsi itu harus berpikir betul menciptakan lapangan kerja," katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa deflasi maupun inflasi sebaiknya harus sama-sama dikendalikan agar tidak merugikan semua pihak. "Apapun yang namanya deflasi maupun inflasi itu dua-duanya memang harus dikendalikan sehingga harga stabil, tidak merugikan produsen, bisa petani, bisa nelayan, bisa UMKM, bisa pabrikan, tetapi juga dari sisi konsumen supaya harga juga tidak naik," kata Presiden Jokowi. 

Presiden menanggapi deflasi yang terjadi selama lima bukan berturut-turut sebagaimana laporan dari Bada Pusat Statistik (BPS). Kepala Negara pun meminta agar terjadinya deflasi tersebut mesti dicek lebih lanjut lagi, apakah karena penurunan harga barang atau memang daya beli masyarakat yang berkurang. "Coba dicek betul, deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi tidak ada hambatan atau karena memang ada daya beli yang berkurang. Pengendalian itu yang diperlukan, keseimbangan itu yang diperlukan,' ucap Presiden.

Lebih lanjut, Presiden juga menyinggung mencatat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) pada September 2024 sebesar 1,84 persen yang dinilainya sudah baik. "Kita saat ini kalau terakhir inflasi year-on-year itu kira-kira 1,8, baik, tetapi jangan sampai itu terlalu rendah juga supaya produsen tidak dirugikan, supaya petani yang berproduksi tidak dirugikan. Itu menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus," tutur Presiden.

BERITA TERKAIT

Customer Service Miliki Peran Krusial dalam Meningkatkan Pengalaman Pelanggan

NERACA Jakarta - Perilaku masyarakat yang terus berkembang, terutama dengan kemajuan teknologi dan akses informasi, telah meningkatkan ekspektasi terhadap layanan…

Peparnas 2024, Bukti Komitmen Pemerintah untuk Atlet Disabilitas

  NERACA Jakarta - Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) ke-17 yang diselenggarakan di Kota Solo pada 6-13 Oktober 2024 menjadi momentum…

Kejar Target Pertumbuhan 8%, Pemerintah Baru Butuh Dana Tambahan Rp300 Triliun

  NERACA Jakarta - Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran Drajad Wibowo menilai perlu tambahan anggaran belanja sebesar Rp300 triliun pada…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Customer Service Miliki Peran Krusial dalam Meningkatkan Pengalaman Pelanggan

NERACA Jakarta - Perilaku masyarakat yang terus berkembang, terutama dengan kemajuan teknologi dan akses informasi, telah meningkatkan ekspektasi terhadap layanan…

Peparnas 2024, Bukti Komitmen Pemerintah untuk Atlet Disabilitas

  NERACA Jakarta - Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) ke-17 yang diselenggarakan di Kota Solo pada 6-13 Oktober 2024 menjadi momentum…

Kejar Target Pertumbuhan 8%, Pemerintah Baru Butuh Dana Tambahan Rp300 Triliun

  NERACA Jakarta - Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran Drajad Wibowo menilai perlu tambahan anggaran belanja sebesar Rp300 triliun pada…