Warisan Utang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo

 

Oleh: Tim Indef (Institute for Development of Economics and Finance)

 

Menurut Prof Didik J Rachbini, guru besar ekonomi, utang negara dengan utang privat milik warga negara itu berbeda seperti bumi dengan langit. Tapi jika satu institusi, satu lembaga, satu aturan main, satu regulasi yang ada dalam negara, itu adalah satu tanggung jawab yang berbeda satu sama lain.

Jika warga negera secara privat mengambil utang dengan keputusannya sendiri, mau banyak, mau sedikit, mau kenceng, mau lambat, itu tidak ada kaitan dengan siapapun. Karena itu domain pribadi.  Tetapi utang negara, satu kali keputusan mengambil utang sedemikian besar, maka karena harus membayar cicilan utang dan pokok yang pasti semakin besar, dampaknya anggaran pendidikan berkurang, anggaran unuk daerah berkurang. Oleh karenanya seluruh keputusan yang dilakukan oleh pejabat negara soal utang ini akan berpengaruh ke kanan ke kiri.

Dari pengambilan keputusan di domain publik itu, seharusnya menyertakan secara demokratis pihak-pihak yang terkait di dalam utang tersebut, pembayar pajak, masyarakat, demokrasi, dan sebagainya. Dan di dalam proses demokrasi sistem yang kita jalankan harus ada check and balance.

Nah, sekarang setelah 10 tahun Jokowi berkuasa, pura-pura lugu. Pura-pura enggak ngerti apa-apa. Tapi ternyata setelah 10 tahun kelihatan asliya, maka sebenarnya pemerintahan ini dijalankan secara otoriter oleh Raja Jawa. Karena selama ini tidak ada seorangpun di lembaga, DPR, Parlemen yang menjaga dengan check and balance pengambilan keputusan-keputusan itu. Sehingga saat ini utang kita bisa mencapai hampir Rp10 ribu triliun. Dan dampaknya untuk bayar bunga saja sudah sedemikian besar setiap tahun.

Pemerintahan baru Prabowo, pasti akan mewarisi hutang itu. Kalau nanti berutang lagi, dengan menjalankan kebijakan yang sama dengan Jokowi, maka seperti yang dikatakan alm.Faisal Basri, Insyaallah kita akan krisis. Akan lebih dalam krisisnya.

Jika ada pihak lain menyebut rasio utang kita terhadap PDB belum 100%, maka kalau dibandingkan dengan Jepang meskipun utang Jepang 100% tapi kalau bunganya 0,7%-0,9%, maka pembayaran bunga nya saja akan kecil. Dia punya utang Rp500 T hanya membayar Rp30 triliun/years. Kalau Indonesia, dengan utang Rp8500 T sekarang maka kita harus membayar Rp500 triliun untuk bunganya saja.

Sekarang dengan suku bunga yang tinggi BI sudah mengeluarkan SBN. Itu  menyebabkan BI lenggang kangkung saja atas korban dari sektor sektor riil.

Menurut Dr. Eisha M Rachbini, peneliti senior, akar masalah dari kenapa menyimpang defisit, biasanya dari struktur dan  komposisi APBN, didalami lagi, adanya defisit APBN karena antara belanja dan penerimaan menjadi lebih besar belanja. maka utk membiayai operasional diperoleh dari utang.

Secara periodik sejak 2015-2023 sejak jokowi memerintah terlihat bahwa rata-rata defisit fiskal alami pelebaran. selisih penerimaan dan pengeluaran terjadi gap yang sangat lebar. Ditambah ketika terjadi pandemik, selisih rata-rata pendapatan dengan rata-rata pengeluaran sangat besar. Terjadi defisit minus 2,8% yang jika dilihat dari UU Keuangan Negara masih di bawah batas 3%, tapi jika dekat sekali dengan 3% maka implikasinya kita jadi tidak punya ruang fiskal yang memadai, dan rentan alami shock risiko ke depan. Contohnya dulu ketika tibat-tiba terjadi pendemi.

Dari target realisasi penerimaan pajak dan target, antara realisasi dan target selama ini selalu lebih rendah realisasi dibanding targetnya. Hanya pada 2021-2023 usai pandemi, realisasi penerimana pajak menjadi lebih tinggi, karena itu tertolong dari harga komoditas dunia yang booming akibat pengaruh geopolitik.

Dari sisi tinjauan struktural, kenapa bisa menurun penerimaan pajak sekarang, penerimaan pajak di beberapa sektor semakin menurun, terutama industri perdagangan dan sektor perdagangan yang menurun akibat lemahnya daya beli. Penerimaan yang jauh menurun terjadi pada sektor pertambangan, dan harga komoditas mineral yang semakin menurun.

Pada sisi penerimaan Pph Badan mengalami penurunan pertumbuhan yang drastis karena korporasi saat ini alami pertumbuhan negatif. Akibatnya realisasi penerimaan pajak dan target penerimaan terjadi gap yang amat lebar (shortfall). Rasio pajak terhadap PDB juga mengalami tren menurun dari tahun ke tahun. Meski ada harmonisasi pajak pada 2021 namun hanya meningkatkan realisasi pajak terhadap PDB yang sedikit, karena itu tertolong oleh harga komoditas yang meningkat. rasio kepatuhan pajak juga hanya jalan ditempat sekitar 70%-80%.

Jika dibandingkan dengan negara lain, segi rasio penerimaan pajak kita yang hanya 10,9% amat tertinggal jauh dibandingkan Malaysia, Filipina, Vietnam, apalagi China dan Jepang.

Sementara itu utang diambil memang tidak produktif Karena dilihat komponen belanja modal, untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Digunakan bukan pada sektor produktif seperti akumulasi barang modal dan teknologi, dll. Komponen belanja hanya besar di belanja pegawai/barang. Jadi hal hal itu tidak bisa mendorong produktivitas pada jangka panjang.

Melihat porsi utang terhadap PDB, sisi penerimaan yang jauh dari pengeluaran sehingga terjadi defisit. Defisit ditutup oleh utang. Perolehan utang terbesar untuk membayar bunga utang. Narasi yang menyebut rasio utang vs PDB masih jauh dari 60%, namun harus dilihat secara proporsi utang kita dibagi pada utang jangka pendek dan jangka panjang, di mana utang jangka panjang ada di 90% sementara utang jangka pendek di rentang 1%.

Adapun komponen lain yang harus diperhatikan adalah, meski di bawah negara-negara lain pada rasio tax vs PDB namun jika dilihat yield imbal hasil obligasi Indonesia ada di 7,2%, itu tinggi sekali dibanding negara-negara lain. Singapura hanya 3,2%, Vietnam dan Thailand di 2,7%. Itu menunjukkan bahwa bunga yang kita harus bayar pasti lebih besar dari negara lain.

Menurut Dr. Tauhid Ahmad, peneliti senior, dari 8 Ásacita Prabowo, ada empat yang menggambarkan kondisi ekonomi, yang menjadi landasan untuk mengubah transisi dari era Jokowi ke Prabowo. Tapi ada lompatan baru, seperti target pertumbuhan ekonomi di 6%-7% bahkan dijanjikan ke 8%. Padahal Bappenas paling optimis 5,6%-6,1%. persis sama dengan hitungan Bappenas pada 2019 ketika rumuskan pertumbuhan ekonomi era Jokowi (tapi max hanya 5,1% rata-rata)

Kemudian target pertumbuhan 6%-7% memang ambisius tapi secara fondasi riilnya amat berbeda. Pertama, perubahan transisi kebijakan. Era jokowi, meski porsi utang cukup besar dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran di Jawa dan luar Jawa, ternyata tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai target. Selalu di bawah target.

Ada transisi dari infrastruktur ke pengembangan SDM dan memperkuat sains, teknologi, pendidikan, hingga penguatan peran penyandang disabilitas. Pada APBN 2024 terlihat ada alokasi anggaran PU yang turun drastis, juga tidak ada anggaran untuk penjaminan infrastruktur sebesar Rp800 T tiap tahun yang dihilangkan. Isu-isunya bergeser ke SDM, makan siang gratis, industri pangan dsb. Sedangkan isu SDM lainnya, pemerataan pembangunan, lapangan kerja, teknologi atau kemandirian bangsa yang filosofinya melalui pengembangan SDM

Untuk memperkuat ketahanan pangan dengan membangun desa, memberantas kemiskinan struktural, swasembada pangan, energi,  ekonomi hijau. Adapun kajiannya, memang ada perubahan kebijakan. Ada 14 prioritas RPJMN yang kemungkinan akan diubah dengan perubahan kebijakan di atas terutama hilirisasi industri, swasembada pangan ataupun pembangunan desa. Dari itu semua, sepertinya agak berat jika harus sampai 7% pertumbuhan ekonomi 2025-2029.

Skenario perpajakan hingga 2029 juga agaknya berat untuk mencapai 23% penerimaan pajak, ataupun hanya lebih dari 12%-13% hasil pengolahan Kemenkeu atau tarikan PBB. Maksimal hanya 11,48% dari pajak atau lebih rendah dari 2014 yang pernah mencapai 14,21%.

Dengan kondisi itu akan sulit melakukan lompatan luarbiasa tax income dan tax rasio sd 2029. Faktor defisit APBN menjadi hal amat berpengaruh. Apalagi ketergantungan thd utang masih cukup tinggi ketika penerimaan pajak tidak mengalami lompatan (2024 diperkirakan hanya 10,2% atau 10,3% tax rasio).

BERITA TERKAIT

Komitmen Jokowi Percepat Proses Perizinan dan Investasi melalui UU Ciptaker

    Oleh: Winda Hapsari Putri, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan   Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) adalah langkah baru yang…

Berkantornya Jokowi di IKN Buktikan Keberlanjutan Program Pembangunan

  Oleh: Zulfikar Borneo, Pengamat Sosial Ekonomi Keputusan Presiden Joko Widodo untuk berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) selama lebih…

Amanah Fasilitasi Pengembangan Keterampilan Generasi Muda

  Oleh: Tengku Rahman Hidayah, Mahasiswa Teknik UTU Dalam upaya untuk memajukan ekonomi daerah dan memperkuat keterampilan generasi muda, Aneuk…

BERITA LAINNYA DI Opini

Komitmen Jokowi Percepat Proses Perizinan dan Investasi melalui UU Ciptaker

    Oleh: Winda Hapsari Putri, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan   Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) adalah langkah baru yang…

Berkantornya Jokowi di IKN Buktikan Keberlanjutan Program Pembangunan

  Oleh: Zulfikar Borneo, Pengamat Sosial Ekonomi Keputusan Presiden Joko Widodo untuk berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) selama lebih…

Amanah Fasilitasi Pengembangan Keterampilan Generasi Muda

  Oleh: Tengku Rahman Hidayah, Mahasiswa Teknik UTU Dalam upaya untuk memajukan ekonomi daerah dan memperkuat keterampilan generasi muda, Aneuk…