Makna Surat Cinta dari Kantor Pajak

 

Oleh: Hening Kirono Hayu, Asisten Penyuluh Pajak di KPP Pratama Salatiga *)

Kemudahan mendaftar atau membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) seringkali membuat masyarakat lupa bahwa ada kewajiban yang terikat saat yang bersangkutan memiliki selembar kartu tersebut. Adalah munculnya fenomena “surat cinta” atau seolah-olah kena “denda pajak”. Padahal tidak demikian pada kenyataannya.

Kewajiban mendaftar NPWP muncul ketika masyarakat telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk melaksanakan kewajiban pajak. Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021, syarat subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Syarat objektif merupakan indikasi seseorang sudah memiliki penghasilan.

Realita yang terjadi banyak masyarakat mendaftar NPWP bukan karena telah memiliki penghasilan, sebaliknya untuk mencari sumber penghasilan seperti mengajukan kredit, mendaftarkan kegiatan usaha, atau syarat mendaftar lowongan kerja. Lantas tentu saja tidak dapat membayar pajak.

Dapat dimaklumi saat masyarakat kaget mendapat “surat cinta” atau surat tagihan pajak (STP) yang memuat rincian denda pajak karena tidak atau terlambat lapor SPT Tahunan. Dari kalimat tadi apabila diulang, yang menjadi penyebab datangnya “surat cinta” ternyata bukanlah karena tidak bayar pajak, tapi karena tidak atau terlambat lapor SPT Tahunan. Ternyata denda karena ‘nggak’ lapor, bukan ‘nggak’ bayar.

Secara garis besar, ada tiga kewajiban bagi masyarakat yang berhasil mendaftar NPWP, yaitu menghitung, membayar, dan melaporkan pajak. Menghitung penghasilan yang dimiliki untuk mengetahui nominal yang dikenai tarif pajak, kemudian membayar pajak. Kewajiban yang terakhir ialah melaporkan pajak penghasilan menggunakan surat pemberitahuan atau SPT Tahunan.

Lantas apabila belum memiliki penghasilan, tidak ada penghasilan yang dihitung, maka tidak membayar pajak. Namun, kewajiban lapor SPT Tahunan tetap melekat selama NPWP yang dimiliki berstatus aktif. Pelaporan SPT Tahunan dilakukan mulai 1 Januari sampai 31 Maret tahun berikutnya sebelum tahun pajak berakhir. “Surat cinta” dari kantor pajak muncul karena pemilik NPWP tidak lapor SPT Tahunan, atau melaporkan SPT Tahunan melebihi jangka waktu yang telah diatur pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tersebut.

Sebagai contoh: Bapak Budi mendaftar NPWP tahun 2024, dan NPWP yang baru saja diterimanya beberapa waktu kemudian tentu berstatus aktif. Tujuan dia membuat NPWP untuk mendaftar lowongan kerja pada perusahaan kue kering. Namun yang bersangkutan belum memiliki penghasilan yang memenuhi ketentuan untuk dikenai pajak, maka Bapak Budi cukup hanya lapor SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024 pada periode 1 Januari hingga 31 Maret 2025. Nah, jika yang bersangkutan telat lapor SPT-nya atau lewat batas waktu 31 Maret 2025, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) segera mengirimkan “Surat cinta” kepada Bapak Budi, yang sudah resmi tercatat sebagai Wajib Pajak (WP).

Untuk antisipasi “surat cinta” yang tidak diharapkan tersebut, maka WP dapat melakukan dengan sinergi dan kesadaran pribadinya. Informasi kewajiban pajak bagi pemegang NPWP diberitahukan di kantor pajak, melalui akun media sosial kantor-kantor pajak, hingga iklan cetak. Namun fiskus juga dapat memberikan informasi langsung secara lebih persuasif, memberikan selebaran tentang informasi singkat kewajiban pajak, atau membagikan pesan pengingat jalur pribadi melalui media sosial seperti chat atau email blast, supaya informasi kewajiban pelaporan SPT Tahunan yang disampaikan lebih ‘nempel’ di benak masyarakat.

Selain itu tentu tidak rugi apabila masyarakat juga ikut proaktif mencari tahu ‘apa yang harus saya lakukan setelah memiliki NPWP?’ sebagai bentuk mitigasi risiko untuk diri sendiri. Sinergi antara petugas pajak (fiskus) yang aktif memberikan informasi bagi setiap pemilik NPWP dan masyarakat yang menerima informasi dengan respon positif. Serta kesadaran masyarakat untuk berusaha mengingat atau mencatat informasi kewajiban pajaknya dan kesadaran fiskus untuk mengingatkan kembali informasi tersebut, sehingga dapat  meminimalisasi perasaan “dizalimi” di hati masyarakat karena tiba-tiba menerima “surat cinta” dari kantor pelayanan pajak (KPP) terdekat. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Optimalisasi Implementasi P3B melalui Prosedur Persetujuan Bersama

  Oleh: Dhia Atikah Ulfa R, Staf Humas Kanwil DJP WP Besar Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menjadi instrumen krusial…

Potensi Pajak Wisata Kampung Heritage

  Oleh: Tis Thanty Wigatecha, Penyuluh Pajak KPP Pratama Malang Selatan   Perombakan kondisi wisata di wilayah kampung kumuh menjadi…

Potensi Pajak Wisata Kampung Heritage

  Oleh: Tis Thanty Wigatecha, Penyuluh Pajak KPP Pratama Malang Selatan   Perombakan kondisi wisata di wilayah kampung kumuh menjadi…

BERITA LAINNYA DI Opini

Optimalisasi Implementasi P3B melalui Prosedur Persetujuan Bersama

  Oleh: Dhia Atikah Ulfa R, Staf Humas Kanwil DJP WP Besar Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menjadi instrumen krusial…

Potensi Pajak Wisata Kampung Heritage

  Oleh: Tis Thanty Wigatecha, Penyuluh Pajak KPP Pratama Malang Selatan   Perombakan kondisi wisata di wilayah kampung kumuh menjadi…

Potensi Pajak Wisata Kampung Heritage

  Oleh: Tis Thanty Wigatecha, Penyuluh Pajak KPP Pratama Malang Selatan   Perombakan kondisi wisata di wilayah kampung kumuh menjadi…