LPPI Ungkap Pentingnya Mengelola Risiko Siber di Jasa Keuangan

LPPI Ungkap Pentingnya Mengelola Risiko Siber di Jasa Keuangan
NERACA
Jakarta - Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menekankan pentingnya pengelolaan risiko siber di sektor jasa keuangan untuk meningkatkan reputasi dan kepercayaan konsumen sekaligus menjaga stabilitas keuangan makro.
"Pada akhirnya, pentingnya pengelolaan risiko siber dapat disimpulkan dalam satu kalimat, butuh waktu beberapa tahun untuk membangun reputasi dan beberapa menit dari insiden siber bisa langsung menghancurkannya," kata Direktur LPPI Edy Setiadi dalam Seminar Indonesia Cyber Risk 2024 - Mitigating Cyber Risk and Building a Trust di Jakarta, Kamis (27/6).
Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian rata-rata tahunan yang dialami sektor jasa keuangan secara global yang disebabkan oleh serangan siber yaitu senilai 100 miliar dolar AS atau lebih dari Rp1.433 triliun. Edy menuturkan pesatnya penggunaan teknologi telah melampaui kemampuan masyarakat, perusahaan dan regulator untuk benar-benar menerapkan prinsip-prinsip safety dan security dalam teknologi.
Dalam menerapkan teknologi terdepan secara bertanggung jawab, penting untuk memperkuat sistem dasar yang diperlukan untuk mendukungnya tidak terkecuali bagi sektor keuangan yang memiliki risiko siber yang besar. "Hal ini menjadi penting karena serangan siber merupakan risiko operasional utama yang dapat mengancam ketahanan operasional lembaga keuangan dan berdampak tentunya buruk terhadap stabilitas keuangan makro secara keseluruhan," ujarnya.
Ia memberikan contoh kasus di mana pada Mei 2023 salah satu bank BUMN mengalami serangan siber sehingga menyebabkan gangguan terhadap akses layanan bank tersebut. Namun, segera layanan bank itu dapat pulih dan normal kembali.
Lebih lanjut Edy mengatakan, dalam kondisi dunia saling terhubung, terdapat hubungan antara keamanan siber dengan keuangan berkelanjutan yang tidak dapat dipisahkan. Keamanan siber memainkan peran penting dalam mendukung dan memajukan keuangan berkelanjutan.
Dengan melindungi investasi, meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan, keamanan siber dapat membantu menciptakan masa depan keuangan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Melalui seminar itu, diharapkan dapat menambah serta memperluas perspektif para pelaku di industri jasa keuangan dalam pentingnya penanganan keamanan siber di era digital sehingga siap dan tangguh menghadapi tantangan yang akan muncul.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa layanan keamanan layanan perbankan di Tanah Air akan tetap aman di tengah adanya serangan ransomware pada Server Pusat Data Nasional (PDN). “Tidak ada (masalah), kita (industri perbankan) tidak masuk ke sistem itu,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae. 
Dian menyebutkan bahwa kesiapan sistem sektor perbankan Indonesia sudah memiliki sistem keamanan yang memadai. Dia menjelaskan, belajar dari kasus PT Bank Syariah Indonesia (BSI), industri perbankan sudah banyak melakukan transformasi ke arah yang lebih kuat. 
"Jadi kan sudah banyak aturan yang ktia keluarkan yang namanya resiliensi sudah kita tangani dengan baik,” jelasnya. Selain itu, pihaknya juga telah menempatkan pengawas IT di lapangan yang bertugas melakukan pengecekan secara rutin terhadap layanan digital perbankan. “Pengawas IT kita juga ada di lapangan untuk cek secara rutin mudah-mudahan tidak ada masalah,” pungkas Dian. 

 

NERACA

Jakarta - Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menekankan pentingnya pengelolaan risiko siber di sektor jasa keuangan untuk meningkatkan reputasi dan kepercayaan konsumen sekaligus menjaga stabilitas keuangan makro.

"Pada akhirnya, pentingnya pengelolaan risiko siber dapat disimpulkan dalam satu kalimat, butuh waktu beberapa tahun untuk membangun reputasi dan beberapa menit dari insiden siber bisa langsung menghancurkannya," kata Direktur LPPI Edy Setiadi dalam Seminar Indonesia Cyber Risk 2024 - Mitigating Cyber Risk and Building a Trust di Jakarta, Kamis (27/6).

Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian rata-rata tahunan yang dialami sektor jasa keuangan secara global yang disebabkan oleh serangan siber yaitu senilai 100 miliar dolar AS atau lebih dari Rp1.433 triliun. Edy menuturkan pesatnya penggunaan teknologi telah melampaui kemampuan masyarakat, perusahaan dan regulator untuk benar-benar menerapkan prinsip-prinsip safety dan security dalam teknologi.

Dalam menerapkan teknologi terdepan secara bertanggung jawab, penting untuk memperkuat sistem dasar yang diperlukan untuk mendukungnya tidak terkecuali bagi sektor keuangan yang memiliki risiko siber yang besar. "Hal ini menjadi penting karena serangan siber merupakan risiko operasional utama yang dapat mengancam ketahanan operasional lembaga keuangan dan berdampak tentunya buruk terhadap stabilitas keuangan makro secara keseluruhan," ujarnya.

Ia memberikan contoh kasus di mana pada Mei 2023 salah satu bank BUMN mengalami serangan siber sehingga menyebabkan gangguan terhadap akses layanan bank tersebut. Namun, segera layanan bank itu dapat pulih dan normal kembali.

Lebih lanjut Edy mengatakan, dalam kondisi dunia saling terhubung, terdapat hubungan antara keamanan siber dengan keuangan berkelanjutan yang tidak dapat dipisahkan. Keamanan siber memainkan peran penting dalam mendukung dan memajukan keuangan berkelanjutan.

Dengan melindungi investasi, meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan, keamanan siber dapat membantu menciptakan masa depan keuangan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Melalui seminar itu, diharapkan dapat menambah serta memperluas perspektif para pelaku di industri jasa keuangan dalam pentingnya penanganan keamanan siber di era digital sehingga siap dan tangguh menghadapi tantangan yang akan muncul.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa layanan keamanan layanan perbankan di Tanah Air akan tetap aman di tengah adanya serangan ransomware pada Server Pusat Data Nasional (PDN). “Tidak ada (masalah), kita (industri perbankan) tidak masuk ke sistem itu,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae. 

Dian menyebutkan bahwa kesiapan sistem sektor perbankan Indonesia sudah memiliki sistem keamanan yang memadai. Dia menjelaskan, belajar dari kasus PT Bank Syariah Indonesia (BSI), industri perbankan sudah banyak melakukan transformasi ke arah yang lebih kuat. 

"Jadi kan sudah banyak aturan yang ktia keluarkan yang namanya resiliensi sudah kita tangani dengan baik,” jelasnya. Selain itu, pihaknya juga telah menempatkan pengawas IT di lapangan yang bertugas melakukan pengecekan secara rutin terhadap layanan digital perbankan. “Pengawas IT kita juga ada di lapangan untuk cek secara rutin mudah-mudahan tidak ada masalah,” pungkas Dian. 


 

BERITA TERKAIT

BI : Cetak Biru Tahap 3 Proyek Nexus Selesai

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI), Bank for International Settlements (BIS), bersama Bank Negara Malaysia, Bangko Sentral ng Pilipinas,…

Allianz Catat Pendapatan Premi Asuransi Umum Meningkat 24,2%

    NERACA Jakarta – Allianz Global Insurance Report 2024 mencatat bahwa pendapatan premi asuransi umum di Indonesia pada tahun…

OJK Setujui Merger BCA Finance dan BCA Multi Finance

    NERACA Jakarta - PT BCA Finance dan PT BCA Multi Finance, dua anak perusahaan PT Bank Central Asia Tbk (BCA),…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

BI : Cetak Biru Tahap 3 Proyek Nexus Selesai

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI), Bank for International Settlements (BIS), bersama Bank Negara Malaysia, Bangko Sentral ng Pilipinas,…

Allianz Catat Pendapatan Premi Asuransi Umum Meningkat 24,2%

    NERACA Jakarta – Allianz Global Insurance Report 2024 mencatat bahwa pendapatan premi asuransi umum di Indonesia pada tahun…

OJK Setujui Merger BCA Finance dan BCA Multi Finance

    NERACA Jakarta - PT BCA Finance dan PT BCA Multi Finance, dua anak perusahaan PT Bank Central Asia Tbk (BCA),…