Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangan tangan (OTT) terhadap Bupati Klaten Sri Hartini terkait kasus jual beli atau komersialisasi jabatan beberapa waktu lalu, menunjukkan moral pejabat tinggi itu sudah luntur menjaga integritas dan wibawa pemerintahan di mata masyarakat. Hasil penggeledahan di rumah Sri Hartini, KPK menemukan uang Rp 2 miliar dalam dua kardus yang diduga berasal dari uang suap.
Sri Hartini merupakan kepala daerah keempat selama 2016 yang ditangkap KPK atas dugaan menerima uang suap terkait praktik jual beli jabatan. Bersamaan dengan OTT tersebut, KPK juga menangkap 7 orang lainnya termasuk 3 pegawai negeri sipil (PNS).
Kondisi tersebut menunjukkan pejabat yang korup mudah tergiur dan tergoda nafsu duniawinya untuk melakukan jual beli jabatan di kantor yang dipimpinnya. Artinya, pejabat itu di pusat maupun daerah seenaknya menyalahgunakan jabatannya dengan cara melakukan jual beli, atau dengan cara mengomersialisasi jabatan dan meminta sejumlah imbalan uang atau uang suap kepada (calon) pejabat bawahannya yang akan diangkat, dimutasi, atau dipromosikan ke level jabatan yang lebih tinggi atau lebih strategis di lingkungan kantornya.
Dengan cara begitu, pejabat yang bersangkutan memperkaya diri sendiri dengan jalan tidak benar, tidak legal, dan haram. Penangkapan terhadap Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK mengindikasikan bahwa korupsi dengan segala motif, cara, dan bentuknya tidak saja terjadi di pemerintah pusat, tetapi juga sudah banyak menyebar ke instansi pemerintah daerah.
Di pusat (Jakarta) beberapa menteri, presiden partai tertentu, beberapa petinggi partai tertentu, sejumlah anggota legislatif, sejumlah pejabat negara (eksekutif), dan sejumlah aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) telah divonis dan dijatuhi hukuman karena kasus-kasus korupsi dan perbuatan melawan hukum.
Adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang seharusnya lebih peka mengawasi semua praktik jual beli jabatan seperti itu. Karena hal ini berpotensi terjadi di ratusan kabupaten lain di Indonesia. Dugaan tersebut didasarkan pada banyaknya pengaduan yang masuk ke KASN terkait seleksi jabatan pimpinan tinggi (JPT) di sejumlah daerah.
Data KASN mengungkapkan, sedikitnya ada 230 pengaduan masyarakat dalam setahun, bahkan data lain yang lebih mengerikan memaparkan sekitar 90% atau dari 29.113 jabatan yang dilelang itu terjadi transaksi di belakangnya. Ketua KASN Sofian Effendi pernah mengatakan, banyak potensi jual beli jabatan terindikasi juga di daerah-daerah yang belum melaksanakan seleksi JPT secara fair, terbuka, dan transparan.
Sebelumnya pada 2016 sejumlah bupati diduga terjerat kasus korupsi seperti Bupati Subang Ojang Sohardi, Bupati Rokan Hulu Suparman, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, dan Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian. Ini memperlihatkan banyak kasus korupsi yang menjerat kepala daerah, di samping korupsi juga terjadi di semua lini pemerintahan baik di level eksekutif, level legislatif, maupun di level yudikatif baik di pusat maupun di daerah.
Kita tentu teringat pesan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tahun 1960-an yang menduga bahwa korupsi di negeri ini sudah membudaya. Tentu yang dimaksud Hatta adalah korupsi sudah menggejala sebagai budaya sangat negatif dan perilaku yang sangat buruk. Karena perilaku koruptif itu menggerogoti keuangan negara, masyarakat, dan bangsa. Korupsi merupakan pertanda tingkat moralitas para pelakunya yang sangat rendah imannya.
Tidak heran, jika Hatta mengingatkan dan memperingatkan masyarakat pada waktu itu agar korupsi sebagai budaya sangat negatif dan perilaku yang sangat buruk itu harus dicegah dan ditanggulangi agar tidak meluas dan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tahun yang sama, mantan Wapres Mohammad Hatta juga menyerukan agar komersialisasi atau jual beli jabatan harus dihentikan dan dicegah. Waktu itu fenomena jual beli jabatan sudah mulai terjadi di beberapa kantor dan instansi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Bagaimanapun, sebagai sosok pemimpin baik di pusat maupun daerah harusnya bersih, agamais, moralis, dan taat hukum. Karena, praktik jual beli jabatan sangat bertentangan dengan aturan hukum, etika jabatan, agama, dan moral. Karier dan promosi jabatan hendaknya ditempuh dan diraih secara wajar dan sesuai aturan kepegawaian dan kepangkatan yang berlaku. Semoga!
Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja, khususnya di tengah meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja…
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Timur Tengah pada April 2025 menandai babak baru dalam diplomasi luar negeri Indonesia yang lebih…
Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta wacana penyusunan ulang Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) kini menjadi sorotan…
Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja, khususnya di tengah meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja…
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Timur Tengah pada April 2025 menandai babak baru dalam diplomasi luar negeri Indonesia yang lebih…
Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta wacana penyusunan ulang Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) kini menjadi sorotan…