Kartini Masa Kini, Menkeu Kemandirian Finansial?

 

Oleh: Johana Lanjar W,  Staf Kanwil  DJP Wajib Pajak Besar *)

Sebuah ajakan menyalurkan hobi sepeda, "Bro, gak ada rencana ganti sepeda?" Percakapan  melalui Whatsapp itu berbalas, "Sebentar, nanya Menkeu dulu." Kembali ditimpali dengan sebuah pertanyaan, "Menkeu? Siapa tuh?" Dijawablah, "Ya istri lah... yang ngatur stabilitas keuangan rumah, siapa lagi?"

Di satu momen lain, seorang pengoleksi diecast atau mobil mainan ditanya temannya sesama kolektor, "Ini ada diecast unik keluaran baru, jadi mau beli sekalian? Kalau jadi, langsung gas?" Dijawab tawaran itu, "Nggak bisa langsung gas. Harus ijin dulu sama Menteri Keuangan, prosedur. Kalau nggak, anggaran bisa dibekukan mendadak."

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendengar istilah, "Menteri Keuangan" yang disematkan secara simbolis kepada para istri. Julukan ini bukan tanpa alasan, sebab istri sering kali memegang peran strategis dalam mengatur dan menjaga stabilitas keuangan keluarga. Ini juga menegaskan betapa pentingnya peran istri dalam merencanakan, mengelola, dan mengontrol pengeluaran keluarga agar tidak melebihi pendapatan.

Meskipun bersifat kiasan, peran-peran ini menunjukkan betapa besar tanggung jawab yang dipikul oleh seorang istri dalam struktur sosial keluarga. Ia harus cermat membuat prioritas belanja, menabung untuk masa depan, bahkan sering kali menjadi pengambil keputusan darurat dalam situasi keuangan mendesak.

Dalam banyak keluarga, kemandirian dan kecermatan istri dalam mengelola keuangan menjadi salah satu penentu stabilitas ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, gelar-gelar simbolik tersebut sesungguhnya adalah bentuk pengakuan tidak langsung atas kecerdasan, ketelitian, dan kepemimpinan perempuan dalam lingkup domestik yang kerap luput dari sorotan publik, khususnya dalam kemandirian finansial.

Bentuk pengakuan atau pelibatan kaum perempuan ini tidak lepas dari perjuangan Raden Ajeng Kartini. Ia menjadi salah satu sosok emansipasi perempuan. Perjuangannya bukan hanya soal kesetaraan gender dalam makna sempit, melainkan sebuah revolusi pemikiran di tengah kultur patriarki yang kuat.

Kala itu, perempuan mendapatkan keterbatasan ruang gerak dan akses pendidikan. Kartini menjadi saksi betapa perempuan hanya diposisikan sebagai pelengkap dalam rumah tangga, terkungkung adat pingitan, dan jarang diberi kesempatan untuk berkembang secara intelektual. Kartini merasakan ketimpangan ini sejak remaja, terutama saat ia harus menghentikan sekolahnya di usia 12 tahun karena tradisi.

Ia tidak menuntut untuk menjadi “lebih” dari laki-laki, tetapi ingin agar perempuan diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, mandiri, dan berperan aktif dalam membangun bangsa.

Dalam suratnya ia pernah berkata, “Kami ingin sekali menjadi manusia sepenuhnya, bukan setengah manusia.” Kata-kata ini menjadi penegasan bahwa emansipasi yang ia perjuangkan bukan  pemberontakan, tapi panggilan nurani demi kemanusiaan yang adil bagi semua.

Semangatnya tidak padam. Melalui korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini menyuarakan kegelisahan dan harapannya. “Aku ingin sekali bekerja, supaya hidupku ada gunanya. Aku tidak ingin hanya menjadi boneka hidup,” tulisnya dalam salah satu surat kepada Rosa Abendanon.

Kartini tidak hanya berjuang melalui gagasan, tetapi juga berpikir praktis mengenai pemberdayaan perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan bukan satu-satunya kunci, tetapi kemandirian finansial atau ekonomi juga penting agar perempuan tidak selamanya bergantung pada laki-laki. Ia menulis tentang keinginannya agar perempuan bisa terlibat dalam kegiatan produktif, seperti kerajinan tangan dan industri rumah tangga.

Kesadaran Kartini terhadap pentingnya ekonomi dan pendidikan tumbuh seiring pengamatannya terhadap masyarakat sekitarnya. Ia tidak hanya berbicara atas nama dirinya, tetapi untuk seluruh perempuan pribumi yang hak-haknya dikebiri oleh adat dan kolonialisme. Ia memimpikan sekolah untuk anak-anak perempuan, tempat di mana mereka bisa belajar membaca, menulis, dan keterampilan hidup.

Dalam suratnya, ia menulis, “Kami ingin belajar membuat kerajinan agar kami dapat menghidupi diri sendiri, tidak hanya menggantungkan hidup kepada orang lain.” Pandangan ini sangat progresif ketika kala itu perempuan belum dianggap layak menentukan masa depan sendiri.

R.A. Kartini juga dikenal sebagai pelopor awal pengarusutamaan gender di Indonesia, bahkan sebelum istilah itu dikenal luas. Dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabat di Belanda, Kartini menunjukkan kesadaran kritis terhadap ketimpangan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Ia mempertanyakan struktur sosial yang menempatkan perempuan di posisi subordinat dan membatasi ruang geraknya, terutama dalam pendidikan dan kehidupan publik. Baginya, perbedaan jenis kelamin tidak seharusnya menjadi alasan untuk membatasi hak dan potensi seseorang. "Alangkah besarnya bedanya antara gadis Eropa dan gadis Jawa," tulis Kartini, menyoroti ketidakadilan sistemik yang ia saksikan sendiri.

Pengarusutamaan gender, dalam pemahaman modern, adalah upaya sistematis untuk memasukkan perspektif kesetaraan gender dalam seluruh aspek kehidupan – mulai dari kebijakan, pendidikan, hingga budaya.

Kartini melihat pentingnya peran perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Ia mendorong keterlibatan perempuan dalam pekerjaan dan usaha-usaha mandiri agar mereka memiliki posisi tawar dalam keluarga dan masyarakat. “Aku percaya, apabila perempuan diberi kesempatan, mereka akan dapat membuktikan bahwa mereka pun mampu,” tulisnya penuh keyakinan.

Kaitannya dengan kemandirian finansial, Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya Rich Dad Poor Dad, menyatakan bahwa kemandirian finansial dicapai ketika seseorang memiliki cukup aset yang menghasilkan pendapatan pasif (seperti investasi atau usaha) untuk menutupi seluruh kebutuhan  hidupnya tanpa harus bekerja secara aktif. Menurutnya, “Kebebasan finansial adalah ketika uang bekerja untukmu, bukan kamu bekerja untuk uang.” 

Sejalan dengan pemikiran itu, pakar akuntansi dan etika bisnis Indonesia Sujoko Efferin menekankan bahwa kemandirian finansial tidak hanya soal kemampuan menghasilkan uang, tetapi juga tentang pengelolaan keuangan yang bijak, termasuk membuat anggaran, menabung, dan menghindari utang konsumtif. Ia menyebut bahwa literasi finansial adalah kunci awal menuju kemandirian finansial.

Kaum perempuan menjadi aktor utama dan penting dalam kemandirian finansial. Secara umum, perempuan cenderung lebih teliti dan hemat dalam pengelolaan keuangan dibanding laki-laki meskipun tentu hal ini juga dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan tingkat pendidikan finansial masing-masing individu.

Studi dari Fidelity Investments (2017) menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki performa investasi yang sedikit lebih baik daripada laki-laki. Ini disebabkan karena perempuan lebih berhati-hati, tidak impulsif dalam mengambil risiko, dan lebih konsisten dalam strategi investasi jangka panjang.

Laporan dari Global Financial Literacy Excellence Center (GFLEC) dan Standard & Poor’s (2015) menunjukkan bahwa perempuan di banyak negara lebih sadar akan pentingnya menabung dan cenderung lebih hemat. Mereka lebih sering membuat anggaran dan menghindari utang konsumtif.

Dengan begitu, sebagai kaum laki-laki atau kepala rumah tangga, mari kita percayakan pengelolaan finansial atau keuangan keluarga kita kepada istri kita, istri berperan sebagai ”Menteri Keuangan” dalam kemandirian finansial. *) Tulisan ini  merupakan pendapat pribadi   

BERITA TERKAIT

Sekolah Rakyat Langkah Nyata Pemerintah untuk Pemerataan Pendidikan

  Oleh: Salsha Putri, Pemerhati Pendidikan   Pemerintah terus memperlihatkan keseriusannya dalam mengatasi ketimpangan akses pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin…

Danantara: Entitas Baru Ekonomi Nasional Siap Go Internasional

  Oleh : Gavin Asadit, Pengamat Sosial Kemasyarakatan    Indonesia tengah memasuki era baru dalam lanskap ekonomi nasional melalui peluncuran…

Belasungkawa Wafatnya Paus Fransiskus

  Oleh: Prof. Didik J. Rachbini MSc., Ph.D., Rektor Universitas Paramadina Dengan duka yang mendalam, kami menyampaikan belasungkawa atas wafatnya…

BERITA LAINNYA DI Opini

Sekolah Rakyat Langkah Nyata Pemerintah untuk Pemerataan Pendidikan

  Oleh: Salsha Putri, Pemerhati Pendidikan   Pemerintah terus memperlihatkan keseriusannya dalam mengatasi ketimpangan akses pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin…

Danantara: Entitas Baru Ekonomi Nasional Siap Go Internasional

  Oleh : Gavin Asadit, Pengamat Sosial Kemasyarakatan    Indonesia tengah memasuki era baru dalam lanskap ekonomi nasional melalui peluncuran…

Kartini Masa Kini, Menkeu Kemandirian Finansial?

  Oleh: Johana Lanjar W,  Staf Kanwil  DJP Wajib Pajak Besar *) Sebuah ajakan menyalurkan hobi sepeda, "Bro, gak ada…