NERACA
Jakarta – Industri hasil tembakau (IHT) saat ini tengah mengalami berbagai tekanan terutama dari sisi regulasi. Di antaranya polemik implementasi Pengamanan Produk Tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan implementasi Peraturan Daerah untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Hal ini tidak terlepas karena pasal-pasal pengaturan di dalam regulasi tersebut yang eksesif dan mengancam keberlangsungan IHT.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman Mudhara berharap pemerintah dapat menjaga keseimbangan, mendorong daya saing pertumbuhan dan perlindungan IHT yang menjadi tumpuan 6 juta tenaga kerja.
“Sebagai bagian dari ekosistem pertembakauan, AMTI optimistis dan mendukung capaian program Asta Cita pemerintahan Bapak Presiden Prabowo demi mendorong peningkatan ekonomi sebesar 8 persen guna mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas. Namun, sampai saat ini, berbagai regulasi yang mengelilingi ekosistem pertembakauan, tekanannya sangat bertubi-tubi. Ini bisa berdampak pada serapan pekerja dan menurunnya produktivtias petani yang menggantungkan kehidupannya pada IHT yang meliputi petani tembakau, petani cengkeh, pekerja manufaktur, pedagang asongan, pedagang pasar, hingga pekerja kreatif,” tegas Budhyman.
Budhyman menyayangkan bahwa peraturan yang sedang digodok Kementerian Kesehatan atau R-Permenkes terhadap Produk Tembakau, justru abai terhadap kontribusi ekosistem pertembakauan. Peraturan tersebut dirancang minim keterlibatan dan tidak mengakomodir masukan dari elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
“Sebagai inisiator regulasi tersebut, kami sangat menyayangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tidak memikirkan dan mengkaji dampak panjang dari rancangan aturan tersebut. Apalagi kondisi ekonomi sedang sulit seperti saat ini, PHK marak, pabrikan tutup, dan daya beli masyarakat turun. Apapun peraturan atau kebijakannya, wajib dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi serta melibatkan seluruh pihak terkait,” jelas Budhyman.
Lalu, lanjut Budhyman, yang juga disoroti adalah dorongan kewajiban penyeragaman kemasan rokok polos dalam R-Permenkes yang sedang disusun saat ini. Ia menyebutkan bahwa pasal penyeragaman kemasan rokok polos ini sarat dengan pengaruh oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.
“Mengapa kita, sebagai negara yang berdaulat, harus berkiblat pada FCTC, yang notabene Indonesia sendiri tidak ikut meratifikasinya. FCTC juga bukan landasan hukum kita. Sehingga mengapa dalam menentukan arah kebijakan pertembakauan yang potensi dan kontribusinya begitu besar, harus berkiblat pada asing?” ujar Budhyman. I
Budhyman menilai ada intervensi kepentingan asing dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.
“Pemerintah telah dengan bijak tidak meratifikasi FCTC dengan mempertimbangkan rantai ekosistem pertembakauan di Indonesia sangat kompleks, saling terkait mulai dari hulu hingga hilir, dan sangat berbeda dengan negara-negara yang menjadia acuan FCTC. Jangan lah sampai terkait kesejahteraan masyarakatnya sendiri, sampai kita harus diintervensi asing,” ungkap Budhyman.
“Target yang menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional tentu akan sulit terwujud jika salah satunya tidak ada perlindungan dan keberpihakan terhadap IHT. Tembakau bukan sekadar komoditas andalan petani di musim kemarau, melainkan telah menjadi warisan, dan budaya yang melekat dalam masyarakat kita. Sudah seharusnya IHT dilindungi, diberi kesempatan untuk bertumbuh, mandiri dan berdaya saing,” jelas Budhyman.
Sementara iu, Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) K. Muhdi berpendapat, sebagai bagian dari hulu, ekosistem pertembakauan yang turut memiliki peran strategis di dalam perekonomian Indonesia, ada 2, 5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang terkena imbas dari tekanan peraturan ini.
“Untuk meningkatkan produktivitas petani tembakau, petani membutuhkan pendampingan atau pelatihan pertanian, bantuan pupuk karena subsidi saat ini sudah dicabut, alat-alat yang mendukung mekanisasi pertanian hingga pengaturan proses tata niaga agar berpihak pada kesejahteraan petani,” kata Muhdi.
Sepanjang tahun 2024, IHT telah menyumbang Rp216,9 triliun terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT). Sumbangsih ini mencerminkan porsi lebih dari 10% dari total penerimaan pajak nasional, yang menjadikan IHT sebagai salah satu kontributor utama bagi kas negara. Namun, Dengan besarnya kontribusi IHT terhadap pemasukan negara, penyerapan tenaga kerja, hingga efek domino di tingkat daerah, Budhyman menekankan pentingnya dukungan pemerintah melalui peraturan yang adil, berimbang, dan mendorong ekosistem pertembakauan untuk tetap tumbuh dan berkembang. Keterlibatan para pemangku kepentingan di IHT merupakan keniscayaan untuk mencapai tujuan tersebut.
Rantai Pasok Industri Dirgantara Terus Diperkuat Kementerian Perindustrian mendukung kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan PT Yogya Presisi Teknikatama…
Kemenperin-Dekranas Bersinergi Tingkatkan Daya Saing IKM Kriya dan Wastra Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) aktif bersinergi dengan Dewan Kerajinan Nasional…
Eksplorasi Pertamina di Perairan Natuna untuk Ketahanan Energi Nasional Kepulauan Natuna – Proyek eksplorasi di perairan Laut Natuna Utara tengah…
Rantai Pasok Industri Dirgantara Terus Diperkuat Kementerian Perindustrian mendukung kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan PT Yogya Presisi Teknikatama…
Kemenperin-Dekranas Bersinergi Tingkatkan Daya Saing IKM Kriya dan Wastra Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) aktif bersinergi dengan Dewan Kerajinan Nasional…
IHT Butuh Perlindungan dan Keberpihakan Regulasi Jakarta – Industri hasil tembakau (IHT) saat ini tengah mengalami berbagai tekanan terutama…