Koaksi Indonesia Ungkap Hilirisasi Nikel Belum Bisa Dikatakan Green Jobs

 

NERACA

Jakarta – Studi Koaksi Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan momentum 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran menyoroti dinamika kepentingan yang kompleks pada kebijakan hilirisasi nikel dan keterkaitannya dengan kemungkinan penciptaan lapangan kerja hijau atau Green Jobs di Indonesia. Studi ini sekaligus mengingatkan kembali komitmen Presiden Prabowo pada pertemuan G20 untuk membawa Indonesia menuju transisi energi hijau yang berkelanjutan sebagai bagian dari kontribusi terhadap pencapaian Net Zero Emission Indonesia dan pembangunan global. 

Hasil studi menunjukkan, pemerintah dan industri memiliki pekerjaan rumah yang signifikan untuk memastikan hilirisasi nikel tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dua komponen kunci, yaitu pelestarian lingkungan dan keadilan sosial termasuk penciptaan pekerjaan yang mengakui hak-hak pekerja serta melindungi keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Keduanya merupakan inti dari Green Jobs yang adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Menegaskan hasil penelitian itu, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs. “Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” katanya, seperti dikutip dalam keterangannya, Kamis (23/1).

Untuk itu, industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab. Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.

Studi ini juga menunjukkan bahwa narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih karena pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara yang menghasilkan emisi GRK tinggi. Dari kapasitas 18 gigawatt (GW) pembangunan PLTU yang direncanakan pemerintah, 13 GW untuk mendukung industri nikel. Akuntabilitas dan transparansi data perlu ditingkatkan agar hilirisasi nikel selaras dengan tujuan transisi energi bersih.

Dari beragam narasi yang berkembang, studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak baik pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil untuk memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan bersama.

Menanggapi geliat industri nikel yang semakin berpeluang menciptakan Green Jobs, Taufik Achmad, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian mengatakan, “Smelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun di dalam proses produksinya kalau tidak melakukan dekarbonisasi ya percuma. Jadi, ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran,” katanya.  Geliat hilirisasi ini, tambah Achmad, masih didominasi sektor energi. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan nonmigas saat ini masih belum tersentuh.

Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri. Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel. “Kebutuhan energi yang besar dalam smelter apabila digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT) tentu akan menciptakan Green Jobs tidak hanya di smelter itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panelwind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,” ujar Reza Rahmaditio, Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia.

Dengan kata lain, hilirisasi nikel ini berpotensi tidak hanya untuk produksi nikel, tapi sebenarnya hilirisasi nikel ini bisa memberikan spill over effect pada industri-industri pendukung, terutama industri smelter.

Rantai pasok nikel secara keseluruhan disoroti oleh Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Dia mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia. Salah satunya paspor baterai yang harus dimiliki nikel Indonesia apabila ingin jalan-jalan ke Eropa, yaitu ESG. Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba.

Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis. Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu.

Dengan situasi saat ini, Meidy dan APNI menegaskan perlunya mencari solusi bersama. “April tahun ini, kami akan menggandeng Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute, pakar-pakar dunia untuk melihat. Jangan membuat daftar yang hanya sesuai untuk Eropa karena beda sekali prosesnya. Kami harus meng-handle 300 tambang yang ada di kepulauan. Tentu, efeknya ada pekerjaan baru, namun perlu ada training yang proper, tunjangannya sudah layak belum, apakah sudah comply dengan kehidupan mereka di sana?” ungkap Meidy.

Sementara untuk tantangan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, Meidy mengajak untuk mencari solusi bersama terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 36 Tahun 2023. Meidy menyampaikan juga, dalam menetapkan RKAB bagi perusahaan tambang nikel, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan permintaan dari industri smelter, namun perlu melihat perkembangan harga dan demand nikel global.

Menanggapi penciptaan pekerjaan layak sebagai salah satu komponen kunci dalam Green Jobs, Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya menjelaskan kebijakan yang berkaitan dengan penutupan pertambangan karena isu kerusakan lingkungan. Namun, pemerintah perlu melihat pekerja yang merasakan. Pekerja merasa bahwa jika ini memang isu yang penting, seharusnya pemerintah akan melakukan sosialisasi yang masif untuk para pekerja bertransisi. Elly menegaskan, pemerintah perlu melihat upah pekerja di industri nikel saat ini jauh lebih rendah dari biaya hidup di sana.

“Begitu pula dengan isu Green JobsGreen Jobs yang sudah lama digaungkan, kabarnya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan dari transisi energi. Namun, pernahkah pemerintah melihat berapa persen pekerja yang sudah memahami isu ini? Lalu, bagaimana dengan ketersediaan infrastruktur atau skill yang dipersiapkan untuk pekerjaan ini?” Pemerintah juga tidak pernah menjelaskan bagaimana peran dan peluang yang bisa diambil pekerja, nyatanya masih banyak pengangguran.

BERITA TERKAIT

Jadikan Konsumen Sebagai Mitra, SNJ Berdayakan Pelaku UMKM

  NERACA Jakarta - Dalam memperkuat jalinan relasi bisnis dengan segenap stakeholder termasuk dengan para konsumennya, PT Suri Nusantara Jaya…

Stok Pangan Dipastikan Aman

Stok Pangan Dipastikan Aman  NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan memastikan stok pangan untuk Imlek…

Dampak Amerika Keluar dari Perjanjian Paris

Dampak Amerika Keluar dari Perjanjian Paris NERACA Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menarik keikutsertaan AS…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Koaksi Indonesia Ungkap Hilirisasi Nikel Belum Bisa Dikatakan Green Jobs

  NERACA Jakarta – Studi Koaksi Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan momentum 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran menyoroti dinamika kepentingan yang…

Jadikan Konsumen Sebagai Mitra, SNJ Berdayakan Pelaku UMKM

  NERACA Jakarta - Dalam memperkuat jalinan relasi bisnis dengan segenap stakeholder termasuk dengan para konsumennya, PT Suri Nusantara Jaya…

Stok Pangan Dipastikan Aman

Stok Pangan Dipastikan Aman  NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan memastikan stok pangan untuk Imlek…