Pilkada dan Penetapan

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

KPU RI telah menetapkan 296 kepala daerah terpilih pada Kamis 9Januari 2025 yang terdiri dari Kabupaten/Kota dan Provinsi sebagai hasil dari pilkada serentak pada 27 November 2024 kemarin. Meski demikian, masih ada beberapa daerah yang belum bisa ditetapkan karena masih menunggu keputusan sidang sengketa di MK.

Terkait ini, ada ada empat  kepala daerah di Jawa Tengah yang belum ditetapkan karena masih menunggu di hasil MK. Penetapan 296 Kepala Daerah itu tersebar di 21 Provinsi dan 275 Kabupaten / Kota karena tidak ada pengajuan sengketa pilkada. Artinya, ketika tidak ada sengketa maka KPU Daerah berhak untuk menetapkan pasangan pemenang pilkada. Di satu sisi, penetapan, baik tanpa atau dengan putusan MK memberikan peluang dan tantangan di kemudian hari terutama pasca pelantikan nantinya. Di sisi lain, setelah penetapan lalu pelantikan bukan berarti tahapan pasca pilkada lalu selesai.

Betapa tidak, pilkada sebagai bagian dari proses demokrasi merupakan salah satu tahap pelaksanaan suksesi kepemimpinan, terutama untuk kasus di daerah, baik provinsi atau Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, hasil pilkada diharapkan bisa transparan dan kredibel sehingga memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat. Yang menjadi problem di pelaksanaan pilkada adalah tingkat partisipasi. Padahal tingkat partisipasi tidak dapat  terpisah dari antusiasme publik terhadap pelaksanaan pilkada itu sendiri. Artinya ketika antusiasme publik rendah maka bisa dipastikan tingkat partisipasinya rendah dan fakta ini memicu kasus golput. Oleh karena itu, tingginya golput menjadi sinyal negatif bagi kepercayaan publik.

Meski demikian, golput tidak bisa digeneralisasi karena apatisme dari masyarakat karena sejatinya golput itu sendiri adalah bagian dari pilihan publik. Ini menjadi sinyalemen bahwa semakin tinggi angka golput maka menjadi sentiment untuk legitimasi atau kepercayaan publik kepada semua kandidat petarung pada pilkada.

 Ironisnya, angka golput pada pilkada 2024 cenderung tinggi dan yang lebih parah yaitu ada suara pemenang di beberapa daerah justru suaranya lebih rendah dari angka golput, termasuk misalnya kasus di DKI Jakarta. Oleh karena itu, beralasan jika muncul suara sumbang bahwa sejatinya pemenang pada pilkada 2024 adalah golput karena faktanya tidak ada kandidat yang benar-benar menang mutlak. Konfirmasi bahwa angka golput di pilkada Jakarta 2024 yaitu 3.489.614 orang (42,48% dari DPT) dan perbandingan di pilkada Jakarta 2017 sebanyak 1.654.854 (22,9% dari DPT yaitu 7.218.272). Data lain misal di Pilgub Sumut angka golput 50,68% (partisipasinya 5.312.561 orang dari total DPT 10.771.496 orang). Golput di Jawa Timur 34,67% dari DPT 31.280.418 orang. Data KPU partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024 secara nasional di bawah 70%, sementara di Pilpres dan Pileg 2024 (14 Februari 2024) partisipasi pemilih 81,78%.

Fakta di atas memberikan gambaran bahwa partisipasi publik cenderungrendah dalam pelaksanaan pesta demokrasi dan tentunya ini menjadi tantangan bagi KPU. Salah satu faktor pemicu tingginya golput adalah faktor kejenuhan publik dengan agenda pilpres – pilkada yang rentangwaktunya cenderung pendek, apalagi dalam rentang waktu tahun yang sama.

Kejenuhan dan dampaknya terhadap golput memicu usulan agar pilkada di masa depan kembali ke model lama yaitu dipilih wakil rakyat, meskipun ini ditentang karena dianggap mundur dari kemajuan yang sudah terjadi. Faktor kedua adalah realitas faktor apatisme terhadap kepala daerah. Argumen ini juga tidak bisa terlepas dari fakta maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah. Artinya, apatisme publik terkait dengan fenomena kasus-kasus korupsi kepala daerah sebagai konsekuensi dari besaran modal yang semakin tinggi dalam pilkada.

Konsekuensinya maka bukan tidak mungkin jika kepaladaerah terpilih akan cenderung menuntut secepat mungkin balik modalyang kemudian dilakukan dengan cara korupsi melalui berbagai modus, termasuk tentu aksi jual beli jabatan. Fakta OTT KPK terkait kepala daerah pada dasarnya cenderung klasik yaitu jual beli jabatan dan korupsi pengadaan.

BERITA TERKAIT

Pemerintah Intensifkan Operasi Nasional Berantas Peredaran Narkoba

    Oleh: Ridwan Adiyatma, Pemerhati Lingkungan   Pemerintah Indonesia semakin serius dalam memberantas peredaran narkoba yang terus menjadi ancaman…

Kolaborasi Antar Lembaga Kunci Efektif Pemberantasan Judi Online

    Oleh: Ratna Soemirat, Peneliti Sosial Kemasyarakatan Judi online telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia, terutama dengan tingginya…

Dorong Hilirisasi Sawit untuk Pemerataan Ekonomi Indonesia

    Oleh : Elisabeth Titania Dionne, Pengamat Pertanian   Industri kelapa sawit telah lama menjadi pilar utama perekonomian Indonesia.…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pemerintah Intensifkan Operasi Nasional Berantas Peredaran Narkoba

    Oleh: Ridwan Adiyatma, Pemerhati Lingkungan   Pemerintah Indonesia semakin serius dalam memberantas peredaran narkoba yang terus menjadi ancaman…

Kolaborasi Antar Lembaga Kunci Efektif Pemberantasan Judi Online

    Oleh: Ratna Soemirat, Peneliti Sosial Kemasyarakatan Judi online telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia, terutama dengan tingginya…

Dorong Hilirisasi Sawit untuk Pemerataan Ekonomi Indonesia

    Oleh : Elisabeth Titania Dionne, Pengamat Pertanian   Industri kelapa sawit telah lama menjadi pilar utama perekonomian Indonesia.…