Reformasi Hukum Demi Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan

 

 

Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, BKP., CPA, Akuntan Forensik

 

Presiden Prabowo Subianto telah menggariskan misi besar yang tertuang dalam Asta Cita antara lain, “memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba”. Masalah pemberantasan korupsi sesungguhnya berkaitan erat dengan kepatuhan, kepastian hukum dan keadilan, sehingga menarik untuk dibahas dalam rangka mewujudkan asta cita tersebut, dengan mengangkat kasus Zarof Richard sebagai objek analisis. Mengapa demikian ? Karena menyangkut pejabat Mahkamah Agung yang merupakan lembaga judikatif tertinggi dengan temuan nilai uang dan logam mulia yang sangat fantastis.

Menurut hemat kami, kasus tersebut bagaikan puncak gunung es yang menjadi perhatian publik, baik nasional maupun internasional sekaligus mencerminkan lemahnya kepastian hukum dan keadilan dibumi persada yang kita cintai. Tanpa kepastian hukum, tidak akan ada orang berani investasi (Yusril Ihza Mahendra, Kompas, 16 November 2024), padahal investasi merupakan salah satu faktor penting untuk akselerasi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. 

Teori Sistem Hukum

Untuk membedah masalah di atas, penulis menggunakan pendekatan melalui teori sistem hukum. Friedman (2001) menjelaskan pada tiga unsur, pertama, legal structure, yakni kerangka atau rangkanya sebagai bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur dari sistem hukum ini terdiri dari jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan Presiden. Struktur diidentikan dengan foto diam.

Kedua, legal substance sebagai aturan atau norma, juga berarti produk yang dihasilkan orang yang berada dalam sistem hukum. Penekanan substance tertuju pada hukum yang hidup (living law).

Ketiga, legal culture (budaya hukum), artinya sikap manusia terhadap hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Ketika seseorang suka cepat memperkarakan persoalan diselesaikan ke Pengadilan, itu bicara legal culture. Ketika Mahkamah Agung (MA) dinilai punya wibawa tinggi, artinya sedang bicara budaya hukum. Tekanan budaya hukum terletak pada bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tiga unsur itu digambarkan dengan mengibaratkan “struktur” hukum sebagai mesin, “substansi” adalah hal yang dihasilkan mesin, dan “budaya” hukum adalah siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan (mematikan) mesin itu.

Jika ditarik dalam konteks penegakan hukum, esensi yang dikemukakan Friedman tidak jauh berbeda dengan yang dijelaskan Soerjono Soekanto (2011) mengenai faktor-faktor dalam melakukan penegakan hukum, yang dipengaruhi 5 (lima) hal: (i) faktor hukumnya sendiri, yakni UU; (ii) faktor penegak hukum (pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum); (iii) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (iv) faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum berlaku atau diterapkan; dan (v) faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Terbongkarnya praktik penegakan hukum di Mahkamah Agung (MA) melalui mantan pejabat MA dengan melakukan permainan uang untuk mengatur perkara, telah jelas melanggar hukum yang tidak dapat diterima masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) apalagi nilai uang yang terbukti bernilai sangat besar, sehingga muncul dugaan sudah ratusan bahkan ribuan perkara diputus hakim MA melalui permainan curang didasarkan pada uang yang jadi panduan memutus benar salahnya suatu perkara. Keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan dan dimimpikan dapat diwujudkan hakim dengan gelar “Agung” dan “Mulia” pun menjadi pupus. Akhirnya, MA telah menempelkan cap pada dirinya sendiri sebagai lembaga yang tidak patut dipercaya untuk memperoleh keadilan. Pupus sudah harapan pencari keadilan kepada MA.

Sesungguhnya permainan uang (korupsi) perkara hukum yang terjadi di tubuh MA hanya merupakan pengulangan semata dari kasus-kasus yang sudah muncul yang terjadi dilingkungan MA dengan melibatkan pejabat tinggi termasuk Sekretaris MA dan beberapa hakim agung yang pernah terlibat permainan uang dalam memutus perkara. Karenanya, kata ‘ Agung” yang ditempelkan pada hakim MA menjadi tidak pantas dan tidak layak dipakai. Kata “yang mulia” pun harus dihapuskan karena hakim MA tidak bisa lagi membuktikan kemuliaan seorang hakim saat memutus perkara sebagai wakil Tuhan. Sekalipun hanya dua, tiga, atau empat hakim yang terbukti melanggar hukum, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, memberi pembenaran lembaga MA menjadi lembaga korup dalam memutus sengketa.

Kalau begitu, bagaimana hukum (teori hukum) dapat menganalisis persoalan penegakan hukum yang terjadi di MA? Mengacu pada penilaian teori hukum yang dikemukakan Friedman, keseluruhan unsur dalam sistem hukum yang dikemukakan Friedman menjadi tepat dijadikan teori yang menjadi dasar berpijak melakukan perombakan pada seluruh unsur sistem hukum yang ada. Dalam kaitan dengan substansi, sudah menjadi pemahaman publik betapa buruknya mekanisme hukum acara yang dilakukan hakim MA, karena dilakukan tanpa bisa diketahui publik (Masyarakat). Pertanyaannya, mengapa MA tidak meniru pola sidang terbuka seperti layaknya sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketertutupan sidang di MA dapat menjadi ruang sekaligus peluang bagi hakim untuk merubah putusan dengan pola permainan uang. Pihak yang seharusnya kalah akan menjadi menang disebabkan permainan uang perkara yang tersusun rapi. Sekalipun Pasal 40 ayat (2) UU MA No. 14 Tahun 1985 dan perubahannya menyatakan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, akan tetapi pengalaman penulis dalam mengajukan proses Peninjauan Kembali terhadap kasus pajak, tidak pernah sekalipun penulis mendapatkan undangan menghadiri putusan oleh MA. Bahkan publik tidak bisa langsung mendapatkan putusan begitu usai diucapkan. Lamnaya diperoleh putusan pun amat menjengkelkan serta tidak mudahnya melakukan penelusuran perkara melalui website MA. Artinya, pola persidangan serta produk putusan MA mesti segera dilakukan perubahan, pembenahan dengan mengacu pada persidangan di MK.

Dalam konteks struktur, lembaga pengawas internal hakim MA tampaknya tidak mempunyai kekuatan melakukan pengawasan terhadap hakim. Badan Pengawas MA ibarat ‘jeruk makan jeruk’ yang seakan tidak mempunyai “gigi” menindak hakim yang terbukti bersalah. Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal pun tidak terlihat peran nyata dalam tugasnya sekaligus publikasi luas sehingga bisa diketahui masyarakat, padahal KY dibentuk atas dasar konstitusi.

Publik pun meragukan efektifitas tugas KY, terlebih dengan terus terjadinya perilaku menyimpang hakim MA. Karenanya, diperlukan perubahan UU MA secara radikal (mendasar) supaya hukum dalam wujud yang diputuskan hakim MA memiliki nilai hukum serta moral baik yang patut dijadikan rujukan bagi kampus-kampus dan masyarakat peminat masalah-masalah hukum.

Jika demikian, bagaimana peran budaya hukum dalam penegakan hukum guna menegakan ide hukum atau keinginan supaya hukum menjadi kenyataan? Disisi lain, hakim sebagai penegak hukum boleh jadi memiliki kecenderungan menjalankan tugasnya menurut tafsirannya sendiri yang dilatarbelakangi berbagai faktor, seperti kepribadian, asal-usul sosial, tingkat pendidikan, kepentingan ekonomi, keyakinan politik, serta pandangan hidup yang dimiliki.

Poin pentingnya adalah kasus korupsi di MA telah membuktikan bahwa tiga  unsur sistem hukum yang dikemukakan Friedman patut menjadi telaah melakukan kajian lebih dalam untuk melakukan perubahan struktur, substansi maupun budaya hukum. Jika saja budaya hukum sebagai nilai yang mestinya dimiliki secara integral dalam diri hakim telah tertanam kuat, kasus korupsi melibatkan hakim agung dapat dicegah. Hukum pun akan mencerminkan nilai keadilan dan kebenarannya dalam putusan hakim MA, sebagaimana prinsip hukum menyatakan equum et bonum est lex legam – apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum.

Persoalannya, mengapa prinsip hukum di atas tidak muncul? Mengapa hakim malah melakukan pelanggaran hukum? Apakah hakim MA tidak memiliki kesadaran hukum? Apakah karena hakim MA yang memiliki kekuasaan atau kewenangan begitu besar hingga menghilangkan atau mengalahkan kesadaran hukum (legal consciousness) yang sudah dimilikinya?

Boleh jadi, karena kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki hakim MA begitu besar sebagai benteng terakhir pemutus perkara, dapat menyebabkan kesadaran hukum hakim MA menjadi luntur – bahkan punah - akibat kekuatan dari kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki sebagai hakim MA. Nilai kesadaran hukum sebagai wujud budaya hukum hakim, menjadi pertaruhan seorang hakim sejak yang bersangkutan memilih profesi terhormat sebagai hakim.   

Simpulan

Kasus korupsi yang terjadi di MA yang melibatkan pejabat maupun hakim agung MA, telaah hukum pada teori sistem hukum Friedman maupun teori keseimbangan kepentingan Pound, memberi kesimpulan perlunya dilakukan perubahan struktur kelembagaan MA termasuk hukum acara MA sekaligus memperkuat budaya hukum masyarakat akan pentingnya nilai-nilai hukum bagi masyarakat. Hakim MA patut memahami fungsinya menciptakan hukum untuk keseimbangan kepentingan melalui putusan-putusannya.

Dari uraian diatas Presiden selaku Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara dapat melakukan pembenahan hukum secara kongkrit demi Indonesia maju, bangsa yang sejahtera melalui pembenahan peradilan dimulai dari tingkat paling atas. Ingat bahwa ikan busuk dari kepalanya. Koordinasi antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Hukum dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung perlu diefektifkan. Dengan demikian diharapkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat direalisasikan. Itulah hakekat perwujudan dari butir tujuh AstaCita sesungguhnya.

BERITA TERKAIT

Daya Beli Masih Muram, Industri Suram

  Oleh: Tim Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)   Menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024…

Langkah Pemerintah Berantas Judol Buahkan Hasil Positif

  Oleh : Arsenio Bagas Pamungkas, Pengamat Sosial Budaya     Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi…

Program MBG Komitmen Nyata Penuhi Kebutuhan Gizi Nasional

    Oleh : Anindira Putri Maheswani,  Pemerhati Kesehatan Masyarakat   Dalam semangat kebersamaan dan komitmen untuk mencapai Indonesia yang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Daya Beli Masih Muram, Industri Suram

  Oleh: Tim Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)   Menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024…

Langkah Pemerintah Berantas Judol Buahkan Hasil Positif

  Oleh : Arsenio Bagas Pamungkas, Pengamat Sosial Budaya     Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi…

Program MBG Komitmen Nyata Penuhi Kebutuhan Gizi Nasional

    Oleh : Anindira Putri Maheswani,  Pemerhati Kesehatan Masyarakat   Dalam semangat kebersamaan dan komitmen untuk mencapai Indonesia yang…