Pemerintah berencana meliburkan sekolah selama bulan Ramadhan atau sekitar satu bulan. Ini sama halnya dengan kebijakan pada tahun 1999 dan 2000 silam. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan wacana pemerintah meliburkan sekolah selama Ramadan.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menyebut bahwa ada banyak dampak yang harus dipertimbangkan pemerintah. Salah satunya, gaji guru sekolah atau madrasah swasta yang terancam terpotong atau tidak dibayar akibat libur satu bulan. Menurutnya ada lima faktor yang perlu dikaji.
1. Layanan pendidikan bagi non muslim
Prinsip utama layanan pendidikan dan pemenuhan hak anak dalam pendidikan. Prinsipnya layanan belajar berlaku untuk semua siswa. Jika libur ini berlaku secara nasional, maka berdampak juga pada siswa agama non-Islam. "Harus dikaji secara holistik, jika libur ini hanya mengakomodir siswa beragama Islam, bagaimana siswa non-muslim? Jika mereka libur, mereka tidak mendapat layanan pembelajaran. Jika mereka tetap sekolah, ini juga mendiskriminasi layanan belajar siswa muslim yang libur,” ucap Satriwan Salim, dilansir dari rilis P2G.
2. Gaji guru berkurang
Para guru sekolah/madrasah swasta khawatir gaji mereka akan berkurang signifikan jika siswa libur sebulan penuh. Karena orangtua pun keberatan membayar iuran SPP karena anaknya libur sekolah. "Guru-guru swasta di daerah khawatir, kalau liburnya full selama puasa, nanti yayasan akan memotong gajinya signifikan. Padahal kebutuhan belanja saat bulan puasa ditambah idul fitri keluarga meningkat," lanjutnya.
Data yang dimiliki, menunjukkan 95 persen madrasah berstatus swasta, dan sebagian madrasah swasta itu dikelola dengan SDM dan anggaran minim. Gaji gurunya pun di bawah satu juta perbulan. Pemerintah mesti memikirkan nasib dan kesejahteraan guru swasta kecil, jika sekolah libur sebulan penuh.
3. Perlu modifikasi jam belajar
Menurut Satriwan, setiap Ramadan jam belajar memang berkurang atau mendapatkan penyesuaian. Jadi sebenarnya bisa tetap masuk sekolah, namun jadwal pembelajaran selama Ramadan dimodifikasi, diatur ulang, lalu dikombinasikan dengan kegiatan sekolah bernuasa pendidikan nilai kerohanian.
“Misal saja, dengan mengurangi jam pelajaran di SMA/MA/SMK dari 45 menjadi 30 hingga 35 menit. Kemudian mengubah jam masuk sekolah lebih siang dan lebih cepat pulang. Atau juga belajar aktif hanya dua minggu pada pertengahan Ramadan. Sisanya sekolah mengadakan program Pesantren Ramadan. Jadi opsinya ada banyak," lanjut Satriwan.
Siswa tetap belajar menuntaskan kurikulum, tapi juga tidak meninggalkan aktivitas spiritual Ramadan. Sekolah membuat program pembelajaran khusus Ramadan. Ramadan menjadi momentum siswa dan guru meningkatkan literasi, baik literasi agama seperti membaca dan mempelajari kitab suci, sejarah Islam, kajian karakter tokoh, atau literasi umum.
Proses pembelajaran intrakurikuler tetap dibutuhkan meskipun bulan Ramadan. Sebab sekolah dan guru sudah merancang perencanaan pembelajaran di awal tahun ajaran baru. "Jika siswa libur selama puasa, akan berdampak negatif terhadap capaian pembelajaran mereka. Kurikulum dan materi pembelajaran akan banyak tertinggal," Satriwan menjelaskan.
4. Bisa memunculkan lemahnya pengawasan
Lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru dan orangtua jika sekolah diliburkan. Jika siswa dan guru sepenuhnya libur, fungsi pengawasan dan kontrol belajar di rumah sepenuhnya di orang tua. “Tapi faktanya orangtua yang bekerja atau punya aktivitas lain, tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur. Orangtuanya tidak libur, tetap mencari nafkah di luar rumah," lanjutnya.
5. Dampak libur berkepanjangan
Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak negatif libur berkepanjangan. Pertama, akan menambah learning loss. Gap terlalu lama tidak belajar di beberapa negara subtropis yang memiliki musim panas, mereka juga meliburkan siswanya. Namun dibarengi dengan kegiatan perkemahan atau kursus intensif di luar sekolah. Harus ada persiapan ketika bulan Ramadan tidak sekolah.
Kedua, waktu libur di rumah akan terporsir untuk screentime. Adiksi remaja pada gawai telah menjadi masalah global sekarang. Alih-alih mengisi Ramadan di rumah, yang terjadi anak asyik bermain media sosial internet seharian penuh. "Jangan sampai libur selama Ramadan menjadi ajang anak lama-lama berselancar di dunia maya, mengakses konten negatif kekerasan, game online, bahkan pornografi," ucap Satriwan.
Ketiga, siklus kekerasan yang dilakukan remaja pada musim liburan. Ini akan menemukan momentumnya saat libur Ramadan, karena memang banyak kasus tawuran dan kekerasan lainnya terjadi pada musim libur. “Apalagi Ramadan itu anak-anak remaja berkesempatan keluar malam lebih lama. Bahkan sampai sahur. Ini perlu pengawasan dan pengaturan yang ketat," lanjutnya. Di beberapa wilayah Indoenesia, sudah dilarang kegiatan Sahur on The Road, karena seringkali menimbulkan perkelahian dan tindak pidana lainnya.
Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin mengatakan bahwa regulasi atau payung hukum berupa peraturan daerah (Perda) untuk mengatur program sekolah…
Kementerian Hukum (Kemenkum) menyebutkan peringatan Hari Braille Dunia merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan hak akses informasi bagi semua…
Pakar kesehatan Prof. Tjandra Yoga Aditama mengingatkan pihak sekolah memastikan siswa mencuci tangan sebelum makan demi cegah penyebaran kuman…
Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin mengatakan bahwa regulasi atau payung hukum berupa peraturan daerah (Perda) untuk mengatur program sekolah…
Pemerintah berencana meliburkan sekolah selama bulan Ramadhan atau sekitar satu bulan. Ini sama halnya dengan kebijakan pada tahun 1999…
Kementerian Hukum (Kemenkum) menyebutkan peringatan Hari Braille Dunia merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan hak akses informasi bagi semua…